1,142 views

AKU CINTA CORONA

*Agus Nurcholis Saleh[1]

https://photo.kontan.co.id/photo/2020/01/27/1525921626p.jpg

Kepada corona, ada sedikit ilmuwan yang telah berkenalan. Kepada Allah pun, pasti ada sedikit kalangan yang merasa berdekatan. Kenapa logika ini tidak dijadikan vaksin untuk kesehatan? Manusia harus menjaga sehat badan, sehat pikiran, dan sehat perasaan. –Agus Nurcholis Saleh–

Entah kenapa, saya malah cinta Corona, karena Corona adalah makhluk ciptaan-Nya sebagaimana status untuk kita semua, MAKHLUQ. Mencintai Corona adalah mencintai-Nya. Diinfeksi oleh Corona adalah diinfeksi oleh-Nya. Jika harus benar-benar di ujung usia, apakah manusia bisa menolak terhadap kuasa-Nya? Tak ada satu pun yang mampu menghindar dari-Nya kalau sudah harus terkena. Apakah tidak boleh kalau kita tidak mengindari Corona?

Selalu ada kemungkinan dalam setiap permasalahan. Apakah menghindari corona itu takdir? Bukankah menerima corona pun sebagai sebuah takdir? Jika ingin mendapatkan nilai A dari dosen, berarti membaca buku dan mengikuti kuliahnya adalah kewajiban. Jika kewajibannya tidak diikuti, apakah boleh menuntut nilai A? Ketika ingin diberi nilai A, kemudian tidak diikuti dengan usahanya, kenapa harus menjadi terdakwa?

Ketika dihidupkan ke dunia, salah satu tugas utama manusia adalah mencintai Allah dalam suka dan duka. Kedua rasa ini bisa dipisah, juga bisa dicampur, tergantung kemampuan dan suasana. Bagi banyak manusia, corona adalah duka. Oleh karena itu, mencintai Corona sama dengan mencintai duka. Dari duka kita akan tahu bahwa ada rasa yang sempurna dalam mencintai-Nya.

Rumus cinta ini sangat sederhana. Alquran memberitahukan bahwa kita semua makhluk-Nya adalah milik Allah SWT. Semua yang di langit, semua yang di bumi, semua yang berada diantara langit dan bumi, pemiliknya tunggal, yaitu Allah SWT. Secara mudahnya, Corona adalah milik Allah dan manusia yang diinfeksi Corona pun milik Allah. Sebagai sesame makhluk Allah, adakah kemungkinan saling mengganggu?

Tentu, segala kemungkinan itu bisa terjadi. Tapi biasanya, yang hobi mengganggu itu manusia. Allah pun menyatakan demikian dalam Alquran. Ada banyak rantai makhluk hidup yang terganggu dan terputus karena polah manusia. Hal itu karena keserakahan, seakan-akan selamanya hidup di dunia. Banyak manusia merasa tahu dan bisa. Senyatanya, manusia hanya sok tahu dan sok bisa.

Dalam sudut pandang itu, Corona adalah konsekuensi yang harus diterima. Apakah ada konspirasi atau tidak, perdebatan itu tidak mengganggu stand point penulis. Siapa berbuat, dialah harus menerima. Sayangnya, yang berbuat hanya segelintir manusia, tapi akibatnya merambah kemana-mana. Inilah yang menjadi tantangan bagi manusia, apakah cinta kepada-Nya itu hanya slogan saja, atau benar-benar menyerap ke jiwa.

Kenapa sih harus cinta pada-Nya? Itu karena corona hari ini menggila. Air ludah sebagai perantara. Kalau masuk ke saluran pernafasan, maka manusia akan meriang dengan segera. Ia cepat membelah dalam kelipatan 10. Pertanyaannya, siapa yang tahu bahwa jalan yang kita lewati itu bebas dari droplet corona? Tidak ada yang tahu kecuali dugaan dan menduga. Jadilah negative thinking dimana-mana.

Ada sebuah kampong, penduduknya saling curiga. Katanya ada rantauan yang pulang kampong. Seisi rumah jadi terbawa-bawa. Padahal, sedikit pun keyakinan tidak ada. Hanya dugaan dan jangan-jangan. Tetangga pun dikirimi emosi. Hadiah mah tidak pernah sekalipun. Hari ini, hadiah buruk sangka dikirimkannya setiap hari. Tidak ada lagi persaudaraan. Setiap hari hanya stres dan tekanan karena kecurigaan. Enak mana sih jika merdeka saja?

Artinya, lepaskan dari segala keduniaan. Meskipun ahli kesehatan telah habis-habisan. Katanya untuk meyakinkan. Tapi kepada Allah, kenapa tidak habis-habisan? Ah bertengkar lagi deh dengan radikalis jabariyah-qadariyah. Padahal, ketakutan kepada Allah itu syarat ketenangan. Jika tidak punya (rasa) takut kepada Allah, terima saja hadiahnya. Apapun. Bisa jadi, banyak manusia akan tergopoh-gopoh dalam dag-dig-dug der ketakutan.

Wahai manusia, apa sulitnya melepaskan kebencian? Ya mudah-mudah susah. Tapi penulis hanya memiliki dendam kepada oknum. Seluruh oknum akan diberi tuntutan. Nanti akan disampaikan di hari penghitungan. Di dunia, kalian (oknum) boleh merasa tenang, dan bisa jadi diabaikan. Saya beritahukan saja lewat telepati. Saya sebutkan dari hati yang terdalam. Semoga di sana ada receiver yang peka sekali.

Hari ini, corona lagi corona lagi. Seperti tiada lagi bahan untuk diingat manusia. Jangan-jangan ada yang merasa cemburu, “Kok kenapa kamu yang terus-menerus dibicarakan? Kamu laksana artis, Aku kan yang menciptakanmu, kenapa manusia tidak meminta tolong pada-Ku? Salahkah jika Aku gaib? Padahal, corona pun bersifat gaib bagi sebagian besar orang. Ayo digali lagi lebih dalam.

Kepada corona, ada sedikit ilmuwan yang telah berkenalan. Kepada Allah pun, pasti ada sedikit kalangan yang merasa berdekatan. Kenapa logika ini tidak dijadikan vaksin untuk kesehatan? Manusia harus menjaga sehat badan, sehat pikiran, dan sehat perasaan. Tapi apakah manusia mampu menyediakan vaksin untuk ketiga macam kesehatan tersebut? Kalau memiliki keterbatasan, jangan membatasi orang untuk memiliki keluasan.

Ketika terjadi wabah virus, semua orang berlomba mencari anti virusnya. Masalahnya, apakah untuk benar-benar menolong, ataukah untuk keuntungan dalam kerugian. Hanya mereka dan Allah yang Tahu. Katanya perlu waktu dua tahun untuk menemukan, at least. Padahal bagi Allah, sedetik pun Maha Mampu. Sayangnya, statistik request kepada Allah sedikit sekali. Bahkan media untuk ibadah pun dikunci mati.

Di hari-hari terlewati, Allah ingin sekali didekati. Tapi hal itu sudah terkunci dalam sejarah. Sedetik yang lalu dan waktu-waktu sebelumnya, apakah  tabungan kita sudah cukup besar untuk menghadap-Nya? Kita lihat saja nanti buku yang telah diarsipkan. Di hari ini, Allah juga mau sekali dihampiri. Manusia dipanggil lima kali setiap hari. Apakah bosan? Jawab saja dengan kesadaran dalam kemanusiaan.

Hal itu untuk menuju “Kepada siapa harus menggantungkan?” Tentu hanya kepada Allah. Dialah satu-satunya yang bisa disandari, dinding-Nya tidak akan roboh. Dialah the one only to hang, talinya tidak akan pernah putus. Dialah yang setiap hari mengizinkan bumi untuk diinjak, ditinggali, digali-gali, bahkan dijual-jual yang hasil penjualannya tidak pernah ditransfer kepada-Nya. Wahai corona, gegara inikah kalian menggedor manusia?

Kami memahami bahwa musibah itu harus dihadirkan. Musibah adalah pengingat kepada mereka yang melupakan. Sesekali alarm itu harus dibunyikan keras-keras, supaya bebal-bebal yang menggumpal terpecah dan meluber di arus yang deras. Apakah corona ini musibah? Of course. Apakah manusianya menjadi mengingat-Nya? Nah ini yang menjadi persoalan inti kehidupan. Kalau tidak ada corona, apakah masih cinta pada-Nya?

Saya menjadi saksi bahwa ketika musibah gempa Jogja. Ingatan kepada-Nya itu hanya bertahan enam jam saja. Setelah mulai mereda, banyak yang tak ingat lagi pada-Nya. All back to laptop. Apakah menjadi rajin berdzikir? Apakah basmallah dan hamdalah diikrarkan dalam setiap pekerjaan? Apakah bersemangat memenuhi panggilan shalat? Apakah infaq menjadi intensif sebagai kafarat? Ini pertanyaan untuk bersiap-siap menghadapi kematian.

Melalui corona, kematian hari ini sudah di angka. Bagi Allah, hal itu biasa-biasa saja. Bagi orang beriman, tentu mengikuti apa firman Tuhan-Nya. Sami’na wa atho’na. Secara dunia, ada angka statistic untuk membantu. Ada juga banyak pengetahuan untuk “membebaskan”. Tapi yang memberikan ketenangan kepada perasaan, hanya Allah yang seorang. Tapi ketenangan itu hanya diberikan Allah kepada hati yang beriman.

Oleh karena itu, sejak awal kegemparan, saya berlatih untuk mencintai Corona dalam segala keterbatasan yang ada. Allah sengaja membatasi kemampuan manusia. Tapi batasan itu dalam koridor kenyamanan manusia. Di perut ibunya, manusia itu sendirian dan dibatasi hanya dalam Rahim saja. Ketika waktunya pulang, jasad manusia dibatasi oleh lahad kuburan. Tapi di dunia, kenapa manusia serasa dipenjara kalau ada batasan?

Dalam kebaikan perdugaan, Corona itu penyeimbang. Allah menghadirkan. Manusia membuka jalan kehancuran. Kehidupan manusia sudah kebablasan. Equilibriumnya sudah dihancurkan. Saatnya kembali diseimbangkan. Wahai manusia jangan berteriak kesakitan. Ini semua akibat kebodohan, keserakahan, dan kebencian. Oleh karena itu, simple way to solve this shock is love. Hanya Allah lah satu-satunya yang layak dan harus dicinta.

Pak presiden, saya dengan corona, bukan lagi berdamai lho… Saya tidak mengetahui siapa itu corona. Saya belum bertemu, apalagi berkenalan. Andaikan ia datang, semoga saya sedang memuji-Nya (hamdalah) mensucikan-Nya (tasbih) meneriakkan kebesaran-Nya (takbir) dan mengosongkan Aku untuk diisi oleh-Nya (tahlil). Oleh karena itu, atas izin-Nya saya pun mencintai Corona.

Wallahu a’lam


[1] Agus Nurcholis Saleh adalah Magister Religious Studies, tinggal di Provinsi Banten

(Visited 1 times, 1 visits today)