1,152 views

Carut Marut Pendidikan Di Tengah Pandemi Covid-19

*Lailatul Muharramah

Sumber gambar: suarajogja.id

Dampak adanya covid-19 menyumbang besar resiko kemunduran pendidikan di Indonesia. Sistem pembelajaran online ini berpotensi menimbulkan kesenjangan ekonomi yang terjadi menjadi semakin meluas. –Laila Muharramah–

Persebaran covid-19 yang semakin meluas dan tidak menentu kapan berakhirnya, membuat banyak perubahan terjadi pada masayarakat. Salah satunya dalam bidang  pendidikan, seperti pada proses belajar mengajar.

Proses pembelajaran yang pada awalnya normal dengan metode tatap muka dalam ruang kelas, saat ini bergeser dan mengharuskan menggunakan metode daring atau dalam jaringan.

Kebijakan pemerintah dengan menggunakan metode daring memaksa semua jenjang sekolah menerapkan kebijakan tersebut. Dari mulai jenjang TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan tinggi, mau tidak mau, bisa tidak bisa, harus menerapkan sistem pembelajaran daring.

Pada satu sisi ada resiko yang harus ditanggung di balik penggunaan media daring dalam proses pembelajaran saat ini. Namun momen ini menjadi saat yang tepat untuk memikirkan kembali solusi efektif, jika di masa yang akan datang muncul bencana non alam maupun kemungkinan munculnya pandemi gelombang kedua.

Dalam hal ini peran pemerintah diharapkan tetap fokus pada pendidikan, memberi teladan dan pengaturan. Sebagaimana ungkapan Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarsa Sung Tuladha Ing Madya Mangun Karsa Tut Wuri Handayani” yang artinya di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan. Dari semboyan di atas sebagai pemimpin, pemerintah perlu memberi contoh.

Lalu apakah pesan di atas sudah tidak relevan dalam kondisi saat ini?, Apakah dengan diterapkannya pembelajaran melalui sistem daring sudah sesuai dengan kondisi di tengah pandemi ini? Mari kita renungkan masing-masing.

Bukan hanya murid yang menjadi stres dengan kebijakan ini, orang tua juga terlibat langsung dalam keadan ini. Orang tua menjadi pendorong besar untuk anak tetap serius dalam sekolah dan tak heran banyak orang tua yang mulai mengeluh dengan sistem pembelajaran ini.

Orang tua dipaksa turut aktif dalam mendampingi anaknya terkhusus dalam jenjang TK, SD dan SMP. Peran kedua orang tua menjadi ganda, mengasuh dan mengerjakan tugas anak, –meskipun menjadi tugas orang tua, mengawasi proses belajar pada anak. Bagaimanapun tetap ada beban tambahan.

Dampak nyata akibat covid-19 adanya kebijakan baru pada perguruan tinggi seperti seminar proposal skripsi, sidang skripsi, sampai wisuda, harus dilakukan secara online. Penulis tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan mahasiswa yang meraskan hal tersebut, wisuda yang dinanti setelah 4 tahun kuliah berakhir hanya dengan wisuda via online. Entahlah, antara sedih dan seneng, semua bercampur.

Yang lebih parah, dampak kebijakan pendidikan secara daring adalah kasus meninggalnya mahasiswa Universitas Hasanuddin yang terjatuh dari menara masjid saat mencari jaringan internet,(Tribun news.com). Belum lagi nasib mahasiswa di daerah-daerah pedalaman, yang pasti akan merasakan kesuliatan dalam mengakses internet. Semoga pemerintah tanggap akan hal ini.

Jika masih hidup, mungkin Ki Hajar Dewantara akan menangis melihat kondisi ini. Betapa susahnya mengakses sinyal, mencari tempat yang tinggi dengan berjalan kaki jauh demi mendapat sinyal yang bagus untuk melaksanakan kewajibannya sebagai mahasiswa.

Beberapa kasus di atas seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk bahan evaluasi dalam kebijakan ini. Namun nampaknya hal ini tidak begitu menarik untuk diselesaikan. Pemerintah terlalu fokus menangani urusan covid-19 hingga terkesan abai pada kondisi pendidikan yang terjadi.

Hal ini menjadi PR penting pemerintah ketika nanti pasca covid 19 akan memunculkan masalah baru dalam dunia pendidikan. Dampak adanya covid 19 menyumbang besar resiko kemunduran pendidikan di Indonesia. Sistem pembelajaran online ini berpotensi menimbulkan kesenjangan ekonomi yang terjadi menjadi semakin meluas.

Kemenaker mencatat sudah lebih dari dua juta buruh dan pekerja formal informal yang dirumahkan atau di-PHK. Hal yang sangat memberatkan, karena di saat yang sama orang tua dituntut mampu memberikan pendidikan anak secara optimal.

Pendidikan adalah kunci bagi Negara untuk maju atau malah mengalami kemunduran. Seorang aktivis pendidikan asal Brazil Paulo Freire, mengatakan, pendidikan harus mampu mendekontruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik serta merekonstruksi untuk menyelesaikan problem masyarakat. (Paulo Freire, Politik Pendidikan).

Dalam hal ini pendidikan mempunyai tanggung jawab yang besar dalam hal menyelesaikan problem-problem di dalam masyarakat.

Semoga.


*Laila Muharramah adalah mahasiswa program studi Sosiologi Agama IAIN Kediri
(Visited 1 times, 1 visits today)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *