1,000 views

KPU Goes to Campus: “Quo Vadis” Pemilih Kritis

Rabu, 21/10/2020 Program Studi Sosiologi Agama (SA) IAIN Kediri menerima kunjungan KPU bertajuk “KPU Goes to Campus”. Kegiatan yang merupakan program kerja KPU dan sebagai bentuk kerja sama antara prodi dan KPU diadakan secara offline di Gedung Rektorat lt.4 dan juga online pada kanal zoom meeting dan youtube KPU dalam bentuk talkshow yang dihadiri oleh dua narasumber yaitu Dr. Nia Sari, M.Kes selaku Komisioner KPU Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Taufik Alamin selaku sosiolog IAIN Kediri. Acara semakin menarik dengan dipandu oleh dua host kenamaan prodi SA Gigih Wahyo Pratomo, M.A. dan kompatriotnya Jati Pamungkas, M.A., keduanya merupakan dosen pengampu mata kuliah Sistem Politik Indonesia. Talkshow mengangkat tema “ ‘Quo Vadis’ Pemilih Kritis’ ” yang berarti ke manakah arah pemilih kritis?

Sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pengertian pemilihan umum diuraikan secara detail.

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Dengan kata lain, pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatan dan merupakan lembaga demokrasi. Dari perspektif narasumber Taufik Alamin, M.Si, sosiolog dan juga Kaprodi SA IAIN Kediri, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Dalam pergelaran atau hajatan demokrasi ini, rakyat diharapkan memilih calon secara rasional, sehingga yang dilihat adalah gagasan, bukan atribut atau citra dari calon yang kadang sudah di-setting oleh tim pemenangan.

Begitu juga Taufik Alamin, M.Si, berbicara mengenai pemilu, pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik. Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan dalam proses pemerintahan. Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi (keabsahan). Pemilu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus merupakan sarana untuk melakukan pergantian pemimpin secara konstitusional (menurut perundang-undangan). Partisipasi pemilih dalam setiap pemilu selalu mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Partai politik hanya berfungsi lima tahun sekali yakni saat pemilu digelar. Proses pendidikan politik bagi masyarakat tidak tertangani secara baik yang menyebabkan masyarakat dengan mudah dimobilisasi dan bukan partisipasi sebagaimana yang diharapkan yaitu sebagai pemilih loyal dan siap digerakkan untuk mendukung kandidat atau partai.

Ada beberapa tipe pemilih yang sangat unik, tetapi kita juga harus memilih pilihan rasional Berdasarkan pada teori ekonomi neo-klasik, Etzioni (1986) mengatakan bahwa manusia disebut “homoeconomicus” atau “rationalman” yaitu manusia selalu ingin memaksimalkan utility (perolehan manfaat). Dalam menentukan pilihan pada pemilihan umum, pemilih akan mempertanyakan figur terlebih dahulu baru melihat latar belakang partai tokoh tersebut. Munculnya pemilih yang rasional terkait dengan beberapa kondisi. Pertama, tingkat pendidikan yang memadai karena berhubungan dengan kemampuan pemilih melakukan pertimbangan berdasarkan akal sehat dan logika politik yang lazim. Kedua, kondisi ekonomi yang memadai yaitu kesungguhan pemilih untuk berkonsentrasi pada pertimbangan politiknya tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain. Ketiga, kondisi yang kondusif terkait dengan keadaan lingkungan sekitar yang mendukung pemilih untuk memberikan suara politiknya saat pemilu. Kita tahu, semua politisi pasti akan melakukan pencitraan. Tidak salah memang, dalam banyak hal ini diperlukan para politisi, setidaknya untuk menarik perhatian publik, apalagi di musim kampanye seperti saat ini.

Tidak terlalu sulit sebetulnya bagi publik untuk menilai seorang kandidat, apalagi yang sudah dikenal publik di waktu sebelumnya. Publik sudah tahu apa yang telah terjadi pada partai-partai itu dan para tokohnya, juga kinerjanya di parlemen. Lima tahun terakhir ini, publik lebih banyak disuguhi drama-drama menyesakkan dan mengecewakan. Ada partai yang jargonnya antikorupsi, nyatanya tokoh-tokoh utamanya terlibat korupsi.

Berbicara mengenai korupsi disini Dr. Nia Sari, M.Kes. selaku perwakilan narasumber KPU mengatakan ada partai yang mengaku religius dan bersih, nyatanya tersangkut kasus korupsi juga. Dan hampir seluruh partai ada anggotanya yang tersangkut kasus korupsi. Publik jangan lagi terjebak pada slogan dan jargon dahsyat partai-partai politik yang punya rekam jejak buruk di masa sebelumnya. Jika publik marah dan kecewa, inilah waktu yang tepat untuk “menghukum” dengan tidak memilihnya. Karena di sini juga terkadang masyarakat termakan oleh janji-janji yang terkadang kecewa ketika si calon sudah terpilih menjadi jabatan yang diinginkan.

Bangsa ini perlu para politisi yang segar dan punya spirit membangun dan memajukan bangsa dengan tulus dan sungguh-sungguh, melalui program-program visioner yang solutif dan progresif, mengedepankan kepentingan rakyat, bangsa dan negara, di atas kepentingan pribadi, golongan, apalagi kepentingan asing. Kunci utama saat ini ada di tangan publik pemilih. Jika publik memilih bukan karena pertimbangan rasional, bangsa ini kembali akan diisi para politisi yang sama-sama mengecewakan, dan pemilu tidak punya makna apa-apa selain kesia-siaan. Ini tentu tidak dapat diharapkan.

Afirmasi juga sempat dibahas tentang keterwakilan perempuan semakin bebas dan adil saat Pemilu, maka akan semakin ramah pemilu tersebut bagi perempuan, Bentuk afirmasi : menyertakan 30% perempuan dalam kepengurusan parpol, menyertakan 30% ada dalam bakal calon (paling sedikit 1 dari 3), memperhatikan 30% perempuan sebagai penyelenggara pemilu.

Dr. Nia Sari, M.Kes berpesan kepada mahasiswa/mahasiswi untuk memberikan informasi kepada teman-temannya yang lain mengenai pendidikan pemilu ini, diharapkan semua bisa memahami bahwa setiap komisioner KPU selalu terbuka lebar menerima pengaduan informasi tentang penyelenggaraan pemilu yang ada di Kota Kediri.

Rofi & Kahfi (pen)

(Visited 1 times, 1 visits today)