1,481 views

TREN GOWES : SOLIDARITAS TANPA BATAS

M. Syahrul Ulum*

Solidaritas dalam komunitas gowes masuk kategori solidaritas mekanik yang mana di dalamnya didasarkan atas persamaan, kepercayaan, dan kekeluargaan. –M. Syahrul Ulum–

Pagi itu pukul 6 bebarengan dengan suara cericit burung puter yang saling bersahutan nan syahdu terdengar suara kringg… kring… kringgg… secara bergantian menandakan pengguna jalan sudah mulai ramai. Bunyi nyaring tersebut terdengar seperti bel kendaraan kecil, benar itu adalah suara bel sepeda ontel yang saling menyapa antara goweser satu dengan lainnya. Dari kejauhan tampak arah barat dan timur jalan terlihat beberapa orang mengayuh ontelnya, baik sendiri ataupun secara berkelompok dengan bermacam-macam asesoris yang dikenakannya.

Bersepeda ontel atau dikenal dengan gowes sedang tumbuh menjamur akhir-akhir ini. Bentuk fisiknya sederhana, tidak pakai mesin, perawatan mudah, dan juga harga terjangkau oleh bebagai kelas sosial menjadi pilihan utama banyak orang untuk sedikit mengurangi kejenuhan di rumah akibat adanya himbauan stay at home, work from home yang gencar digalakkan oleh pemerintah. Kedua jargon yang digaungkan pemerintah tersebut mengharuskan warganya untuk tidak keluar rumah kecuali dalam keadaan terdesak. Pola hidup yang dirasa baru tersebut sangat berat untuk dilakukan, sehingga perlu untuk adaptasi dengan kebiasaan baru terhadap tatanan kehidupan baru saat pandemi covid-19 sedang merebak. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan banyak lembaga-lembaga pemerintah, institusi pendidikan, tempat perbelanjaan, tempat wisata sampai tempat ibadah membatasi hingga meliburkan aktivitasnya sementara dengan maksud untuk menerapkan protokol kesehatan physical distancing maupun social distancing. Hal tersebut memicu ketidaknyamanan ketika berada di rumah, sebagai salah satu cara mengurangi keadaan demikian, maka goweslah menjadi pilihan utama yang dianggap bisa mewakili bentuk penerapan kedua protokol kesehatan tersebut. Di samping ikut menyukseskan program pemerintah dalam usaha memerangi penyebaran covid-19, gowes juga berdampak pada konstruksi hubungan sosial di antara penggunanya.

Gowes tidak hanya dilakukan oleh olahragawan, di jalan raya kota juga di gang-gang desa mulai digemari oleh banyak golongan baik itu anak-anak, pemuda, orang tua, laki-laki perempuan sampai pada kelas menengah atas pun ikut berpartisipasi di dalamnya. Hal ini berarti bahwa gowes bukan monopoli milik golongan tertentu. Stigma bahwa gowes melekat kepada golongan masyarakat menengah ke bawah yang selama ini mendengung di telinga tidak mengurangi hasrat para pencari imun kesehatan dari bebagai macam status sosial untuk menggunakan moda transportasi tersebut. Hal ini menandakan bahwa gowes bisa mengurangi sekat jurang pemisah oposisi biner sosial masyarakat antara yang atas-bawah, muda-tua, kaya-miskin menjadi satu tujuan bersama sehingga menjadi tren, lebih tepatnya adalah tren (menuju) gaya hidup baru. David Chaney di dalam Lifestyle menjelaskan gaya hidup sebagai gaya, tata cara, atau cara menggunakan barang, tempat, dan waktu khas kelompok masyarakat tertentu yang sangat bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan meskipun bukan merupakan totalitas pengalaman sosial. (Piliang, 2011: 322). Sifat umum gaya yang juga menjadi sifat gaya hidup, yaitu: pertama, gaya hidup sebagai pola, yaitu sesuatu yang dilakukan atau tampil secara berulang-ulang, kedua mempunyai massa, ketiga mempunyai daur hidup (life-cycle) yaitu ada masa kelahiran, tumbuh, puncak, surut, dan mati (Walker dalam Piliang, 2011: 323). Kemunculan komunitas gowes belakangan ini telah memasuki era kelahiran dan tumbuh. Era “kelahiran” tepat ketika badai pandemi menerjang kehidupan masyarakat sedangkan era “tumbuh” mulai tampak saat masa transisi menuju tahap new normal diberlakukan. Menarik untuk dinanti kapan akan terjadi masa “puncak” dalam gowes tersebut, sehingga benar-benar menjadi tren gaya hidup masyarakat.

Semakin tumbuh suburnya komunitas gowes, meminjam istilah Emile Durkheim tentang teori solidaritas sosialnya, maka komunitas gowes merupakan bentuk sebuah “solidaritas” yang merujuk pada satu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama (Johnson, 1994: 181). Solidaritas dalam komunitas gowes masuk kategori solidaritas mekanik yang mana di dalamnya didasarkan atas persamaan, kepercayaan, dan kekeluargaan. Persamaan dibuktikan dengan tidak adanya sekat pemisah antara status sosial tinggi dan status sosial rendah yang berarti bahwa di dalam komunitas gowes tidak ada yang diistimewakan, semua berada dalam satu tujuan bersama. Di dalam komunitas gowes terdapat satu kepercayaan yang kuat bahwa meskipun berbeda status sosial, akan tetapi tetap menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap siapa saja yang lebih berpengalaman terutama dalam hal bersepeda karena tidak semuanya mempunyai pengalaman yang sama. Kepercayaan ini perlu untuk diterapkan mengingat mobilitas para anggotanya sering berada di lintasan jalan raya sehingga diperlukan sosok anggota yang mampu menguasai keadaan demi keselamatan bersama. Jiwa kepemimpinaan dari yang berpengalaman inilah yang kemudian akan dipatuhi oleh anggota lainnya. Hal terpenting selain persamaan dan kepercayaan dalam komunitas gowes adalah tumbuhnya rasa kekeluargaan di antara para anggotanya. Bentuk kekeluargaan ini terjalin erat semisal salah satu anggota mengalami kerusakan onderdil, maka anggota lainnya akan membantu secara suka rela. Adanya kebiasaan bercanda, saling memancing gelak tawa, ngopi bareng, cangkruk bareng, dan saling bertukar pikiran terhadap suatu masalah menjadi prinsip utama dalam membangun sekaligus menguatkan rasa kekeluargaan di antara anggota komunitas.

Kebersamaan di dalam komunitas gowes lambat laun tidak hanya berlaku di satu komunitas aja. Namun, di manapun mereka berada dan saat berpapasan dengan komunitas gowes yang lain mereka akan selalu menyapa dengan bergantian membunyikan bel kring.. kring.. kring.. sambil menganggukkan kepala. Itu adalah bentuk simbol kebersamaan, dengan cara demikian tersebut, maka rasa solidaritas di antara mereka cepat terbangun dengan melupakan perbedaan yang ada satu dengan yang lain, dan berusaha menguatkan persamaan nasib sebagai pecinta gowes.

Rasa solidaritas tersebut muncul dari setiap individu masing-masing walaupun tidak semua terikat dalam satu komunitas yang sama. Semua bentuk solidaritas komunitas gowes ataupun nonkomunitas dilatarbelakangi oleh beberapa faktor intern dan ekstern. Faktor intern berisi rasa cinta dan hobi dalam mengayuh sepeda, namun jika dikaitkan dengan perkembangan pandemi covid-19 ini maka sifat intern lebih melebar lagi dengan keinginan bagi individu untuk berusaha meningkatkan daya imun terhadap penyakit sekaligus mengurangi kejenuhan di rumah. Sedangkan faktor ekstern berkaitaan dengan adanya kesadaran kolektif bagi tiap-tiap anggota komunitas maupun non komunitas bahwa sifat dasar manusia adalah sebagai makhluk sosial serta ingin mewujudkan eksistensinya dengan cara berbaur dengan yang lainnya lewat perantara gowes. Sruput kopi ‘ginascer’ dengan 234 nya… sungguh manstaaabbb.. !!!!!


*pegiat gowes Ngreco, tergabung dalam komunitas gowes KONSEPAN (Komunitas Sepedah Arek Ngreco)

(Visited 2 times, 1 visits today)