*Khaerul Umam
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-mu yang telah menciptakan (berkarya). (Q.S. Al-Alaq: 1)
Menulis bagi kaum akademisi “harusnya” bukanlah perkara yang sulit. Bagaimana tidak, seorang akademisi sejak memulai petualangan intelektualnya, ketika TK, ia sudah dikenalkan dengan huruf dan juga pengetahuan.
Huruf, kata, kalimat hingga paragraf, membentuk satuan makna dalam sebuah pesan yang ingin disampaikan. Hal ini sudah dilatih sejak awal, dari mulai yang terkecil (menghafal huruf) hingga membuat karya tulis saat berada di tingkat atas.
Saat menginjak bangku perkuliahan, intensitas menulis semakin tinggi, karena hampir di semua mata kuliah mengharuskan mahasiswanya membuat laporan ilmiah semacam esai, makalah, artikel hingga laporan penelitian.
Intensitas serta lamanya waktu yang ditempuh dalam melatih diri untuk menulis, “mestinya” membuat seorang akademisi tidak lagi alergi dengan menulis, karena ia sudah menjadi habitus.
Menurut Pierre Bourdiou, habitus adalah akumulusai dari berbagai modal, salah satunya modal sosial. Dalam hal ini lingkungan penedidikan secara sosial dan kurikulum telah menempa peserta didiknya menjadi manusia yang terbiasa dalam berpengetahuan, dalam hal ini, menulis.
Namun kenapa, tradisi menulis menjadi sesuatu yang tidak familiar dalam benak kaum akademisi di Indonesia. Menulis menjadi satu momok yang menakutkan.
Dari mulai tugas SMA dalam membuat makalah hingga tugas kuliah, semua dikerjakan melalui sistem “copy paste”, alias comot tulisan orang lain lalu diklaim tulisan sendiri.
Begitupun pada saat presentasi makalah, kemampuan analitis dari apa yang ditulis menjadi tidak muncul, tentunya hal ini karena proses dalam menyusun makalahnya tidak maksimal, apalagi dengan sistem “copas”. Kebanyakan presentasi adalah dengan membaca, bukan menjelaskan ide-ide yang tertuang dalam makalah.
Sebagai bagian dari sivitas akademik, saya melihat banyak keluhan mahasiswa kesulitan untuk menulis. Mereka bingung harus memulai dari apa dulu untuk dituangkan dalam tulisan. Bagaimana mengembangkan ide, belum lagi permasalahan dalam menyusun kata menjadi kalimat utuh yang mudah dipahami dan tidak banyak “bersayap”.
Seabreg soal tersebut hampir dialami oleh seluruh kaum akademisi. Tak terkecuali para dosen. JIka pun banyak karya dosen yang terpublish, hal tersebut lantaran mereka terdorong mendapatkan insentif baik anggaran penelitian maupun nilai untuk kenaikan pangkat.
Jika merujuk pada fenomena mahasiswa yang hampir mencapai jenjang akhir pendidikan, tentu ada persoalan dari sistem pendidikan kita. Salah satu diantaranya adalah budaya literasi yang masih rendah. Pangkal dari budaya literasi adalah membaca dan melatih diri pada kemampuan kritis. Ini yang belum banyak diakomodir sistem pendidikan kita di setiap jenjangnya.
Terbukti, masih sedikit sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas perpustakaan yang memadai, dengan jumlah buku yang layak baca dan ruang yang nyaman. Selain itu, berapa banyak pula guru yang menjadikan perpustakaan tempat favorit bagi siswa selain ruang belajar di kelas.
Jika pun semua fasilitas sudah lengkap, pertanyaan berikutnya apakah guru sudah memberi teladan menjadi contoh agen literasi bagi siswa-siswanya. Hal ini menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Maka berbicara tradisi akademik yang ideal adalah dengan menciptakan iklim dalam sistem pendidikan kita yang dapat mendukung hal tersebut.
Namun, mengandalkan lembaga pendidikan saja rasanya tidak bijak. Karena pendidikan adalah perkara kompleks yang berkait-kelindan dengan lembaga yang lain seperti lingkungan sosial, media massa, politik, dan sebagainya.
Masyarakat menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya menciptakan budaya literasi ini. Mereka bisa menciptakan sistem yang dapat diakses oleh anak-anak seperti menciptakan taman baca di masjid-masjid, di taman warga, dengan akses internet dan panduan memperoleh bacaan yang sesuai dengan kebutuhan.
Selain masyarakat, media massa menjadi institusi yang tidak kalah pentingnya. Berbagai macam tayangan hendaknya tidak hanya berorientasi pada profit semata, tetapi juga harus seimbang dengan muatan pendidikan terutama yang mendukung budaya literasi. Dalam hal ini Kemenkominfo dan KPI menjadi lembaga pengontrol. Negara jangan tunduk pada “hasrat” pasar dengen menyerahkan ruang media pada mekanisme mereka.
Negara harus bisa menjernihkan segala komponen yang ada di bawahnya untuk bersama mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanah undang-undang. Ajak seluruh stake holder terkait untuk duduk bersama membuat perencanaan kebijakan yang saling berkait dalam meningkatkan budaya literasi.
Jika hal di atas masih sulit dilakukan karena kuatnya ego sektoral masing-masing pihak, di mana orientasi profit lebih dominan ketimbang orientasi meningkatkan pengetahuan, maka, media masa, politik, sekolah dan bahkan kampus yang melahirkan kaum akademisi, hanya jadi institusi yang menjadi hiburan dan beban semata, minim literasi dan kering makna. Buktikan saja!