*M. Syahrul Ulum
Wacana postkolonial dari perjalanan Sunan Bonang ke tanah Kediri juga masih bisa dirasakan dampaknya sampai sekarang di mana penduduk sangat sulit menerapkan sistem nilai ke-Jawa-an seperti sebelum kedatangan Sunan Bonang dan beralih ke sistem nilai yang diajarkan Sunan Bonang kepada penduduk Kediri sampai pada akhirnya segala bentuk hukum, tradisi, dan perilaku masyarakat pun selalu berkaca pada ajaran Sunan Bonang.
–M. Syahrul Ulum–
Serat Babad Kadhiri
Serat Babad Kadhiri adalah salah satu dari sekian banyak peninggalan kesusastraan kebesaran Jawa di mana dunia mitos dan kepercayaan mampu menggeser dunia nyata. Serat Babad Kadhiri ini menceritakan legenda Kota Kediri yang disusun oleh Mas Ngabehi Poerbawidjaja yaitu seorang beskal atau Jaksa Ageng di Kota Kediri pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan cerita dari Ki Buta Locaya, datu atau dhanyang Kota Kediri yang jiwanya masuk ke raga Pak Sondong untuk berwawancara dengan dalang wayang klitik bernama Ki Dermakanda.
Hal menarik yang terjadi dalam isi Serat Babad Kadhiri adalah masuknya agama Islam ke tanah Kediri. Hal ini merupakan rekaman dari realitas yang dihadirkan kembali oleh Mas Ngabehi Poerbawidjaja sebagai kecaman terhadap kesewenang-wenangan Sunan Bonang dan para laskar serta prajurit Demak Bintara. Narasi dimulai dengan dialog antara Mas Ngabehi Poerbawidjaja dengan Buto Locaya yang didasarkan pada kesaksian-kesaksian lisan dan diartikulasiakan pada sebuah teks yang nantinya akan menstrukturkan sebuah realitas. Oleh karena itu, membaca Serat Babad Kadhiri sama halnya membaca sebuah realitas yang distrukturkan oleh teks.
Relasi Subjek Objek
Retorika dualitas hitam-putih, penindas-tertindas, gambaran yang men-generalisasikan dan merendahkan sekaligus menyiratkan posisi hierarkis yang memandang terhadap objek pandangannya, bukanlah barang baru dalam kesusastraan, seperti protes Buto Locaya dalam serat Babad Kedhiri tentang kesemena-menaan Sunan Bonang, “Mengapa paduka mengganggu anak cucu adam, menyabdakan orang sini sulit mendapat jodoh, menjadi perawan tua dan jaka (joko, Jawa) tua, serta mengganti nama kota Gedah, memindahkan aliran sungai Brantas sehingga menerjang dusun, hutan, sawah, dan membuat banyak kerusakan, ini karena kutukan paduka. Selamanya susah air dan sumurnya kering. Paduka menganiaya, tidak tahu tata krama, menghukum tanpa perkara” (Poerbawidjaja dan Mangoenwidjaja, 2006: 68).
Sunan Bonang berkata, “Mengapa di sini aku ganti namanya kota Gedah karena orang di sini agamanya tidak hitam dan tidak putih tetapi agama abu-abu yaitu agama Kalang. Mengapa aku kutuk sulit air karena aku minta air tidak diberi, kemudian sungainya aku pindah alirannya dan aku kutuk susah air. Adapun aku mengutuk perawan tua dan perjaka tua, karena yang kumintai air tidak memberi, itu adalah seorang perawan” (Poerbawidjaja dan Mangoenwidjaja, 2006: 69).
Dialog antara Buto Locaya dan Sunan Bonang telah menyiratkan relasi subjek-objek, memandang-dipandang. Sunan Bonang sebagai subjek penutur bersikap superior, menempatkan diri lebih tinggi, lebih memiliki pengetahuan yang memberikannya otoritas untuk menggambarkan atau menerangkan objeknya. Stigmatisasi yang dilontarkan hanya untuk mencari sebuah alat legitimasi kebenaran dengan proses dialektika yang menempatkan perbedaan dalam posisi yang tidak seimbang, sehingga selalu ada supremasi “subjek” sebagai penutur yang merepresentasikan “objek” yang akhirnya membunuh keberadaan objek.
Ketegangan antara subjek-objek tersebut akhirnya melahirkan stereotipe-stereotipe. Pendefenisian orang-orang Jawa yang belum memeluk agama Islam sebagai agama Kalang, menyembah berhala adalah kafir-kufur lahir batinnya sesat. Pendefinisian sesat oleh Sunan Bonang itu adalah bentuk stereotipe, umumnya negatif dan merendahkan. Ini adalah suatu cara mencari alat pembenaran untuk mengontrol sekaligus menjinakan objek stereotipnya. Sejauh mana penggunaan stereotipe itu terlihat dalam wacana tentang orang-orang yang perlu dikontrol dalam teks sastra.
Akan tetapi penggunaan stereotipe tersebut dengan mudahnya memancing pihak yang tidak setuju dengan penggambaran itu untuk melemparkan stereotip balasan. “Tidaklah masuk akal, jika seorang diperlakukan baik, ia membalas dengan kejahatan. Ia menyalahi kitab pegangan orang Jawa, karena orang Jawa mengerti mana yang kasar dan halus. Orang Jawa yang diperlakukan dengan tidak baik, tentu ia akan membalas dengan tidak baik pula. Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas dengan jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka, mereka menyebut nama Allah, Ala (jahat, jelek) hati orang Islam. Mereka halus lahirnya saja, pada hakikatnya hatinya jahat. Amat beda dengan zikir orang Budha, mereka menyebut dewa agung jagad (dunia). Jagad (dunia) itu badannya sendiri, Dewa” (Poerbawidjaja dan Mangoenwidjaja, 2006: 69).
Antagonisme antara dua kubu yang saling kontradiksi tidak lagi menampilkan objek sebagai satu-satunya yang tertindas dan subjek sebagai penindas. Tetapi lebih dari pada itu; si tertindas sekaligus menindas, di mana posisi objek sebagai tertindas pada waktu yang bersamaan ditampilkan Mas Ngabehi Poerbawidjaja sebagai subjek, menindas. Dari dipandang balik memandang, didefenisikan balik mendefenisikan. Kekuasaan dan penguasaan tidak datang dari satu arah, tetapi secara bersamaan bisa dimiliki oleh satu pihak: dan tersusun oleh kondisi-kondisi yang kompleks.
Sehingga menghasilkan ranah-ranah yang saling bertumpang tindih sekaligus bersaing dan ini merupakan pandangan yang menarik. Dengan demikian, untuk melihat keterlibatan dan keterkaitan di dalam proses sejarah sebagai pertarungan kolektif bukan pertarungan yang dimenangkan oleh subjek yang mencoba memahami seluruh sejarah dengan segala kompleksitasnya, melainkan sebuah pertarungan kolektif di mana berbagai kepentingan berinteraksi memperebutkan situs-situs yang memilki intensitas dan ranah-ranah yang bersaing.
Wacana (Post) kolonial
Menurut Said (dalam Sutrisno, 2004:7-30) berbagai pengetahuan tentang “Timur” diciptakan Eropa untuk memproyeksi mimpi buruk dan sisi dirinya sendiri (Timur) yang tidak diinginkan; “Timur” yang primitif dipakai sebagai cermin untuk membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban. Lebih jauh lagi, mitos dan stereotipe tentang Timur dimanfaatkan sebagai sarana pembenaran Eropa untuk melakukan kolonialisasi: menguasai, menjinakkan, dan mengontrol keberadaan others. Jadi, yang disebut dengan kenyataan itu sendiri bagi kritikus postkolonial – mengikuti asumsi teori “postmodernisme”, merupakan bangunan yang tersusun oleh berbagai narasi.
Dalam serat Babad Kadhiri ini terlihat bagaimana “Barat” dalam hal ini adalah perwujudan Sunan Bonang telah mendominasi kehidupan bangsa “Timur” yaitu Buto Locaya beserta pengikutnya. Sunan Bonang telah mendekonstruksi aturan-aturan dan sistem nilai pengikut Buto Locaya dengan menganggap bahwa selain Sunan Bonang adalah suatu yang dianggap kotor, bodoh, dan aus sehingga perlu untuk diubah sesuai dengan aturan-aturan dari ajaran Sunan Bonang.
Wacana postkolonial dari perjalanan Sunan Bonang ke tanah Kediri juga masih bisa dirasakan dampaknya sampai sekarang di mana penduduk sangat sulit menerapkan sistem nilai ke-Jawa-an seperti sebelum kedatangan Sunan Bonang dan beralih ke sistem nilai yang diajarkan Sunan Bonang kepada penduduk Kediri sampai pada akhirnya segala bentuk hukum, tradisi, dan perilaku masyarakat pun selalu berkaca pada ajaran Sunan Bonang. Dengan demikian, apabila ada perilaku yang bertentangan dengan ajaran Sunan Bonang, maka akan dianggap sebagai bentuk penyelewengan sehingga harus ditindaklanjuti, meskipun perilaku itu pun merupakan manifestasi dari kebudayaan asli masyarakat setempat.
Seperti semakin tertindasnya seni pertunjukan tradisi semisal kuda lumping, tayuban, bantengan, dan lain-lain karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Sunan Bonang yang pada dasarnya kesenian itu adalah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur terhadap Sang Hyang Wisesa. Maka, dengan demikian bisa dianggap menyeleweng dan harus didekonstruksi sesuai dengan ajaran Sunan Bonang.
Dari paparan sastra tersebut terlihat bahwa sunan Bonang mempunyai kepentingan untuk mengubah dan menciptakan strategi kontrol terhadap penduduk Kediri. Bersamaan dengan itu ditunjukan pula keadaan orang-orang Jawa yang dieksploitir oleh sunan Bonang. Pemberian ini menempatkan Buto Locaya sebagai tokoh yang tertindas yang menjadi objek dan fokus sorotan.
Daftar Pustaka
Poerbawidjaja, M.S dan Mas Ngabehi Mangoenwidjaja. 2006. Serat Babad Kadhiri. Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie.
Sutrisno, Mudji. 2004. “the other” dalam Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Kanisius. hal. 7-30