Jumat 9 Oktober 2020 program studi Sosiologi Agama mengadakan diskusi rutinan dengan tema Pekerja Migran Indonesia yang disampaikan oleh Dr. Khaerul Umam, M.Ud dengan didampingi oleh Gigih Wahyu Pratomo, M.A sebagai moderator.
Dalam UU No. 18 tahun 2017, Pekerja Migran Indonesia adalah setiap WNI yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia. Keberadaan PMI (Pekerja Migran Indonesia), setiap tahunnya meningkat (kecuali musim pandemi covid-19). Era 90-2000an tujuan PMI adalah negara Timur Tengah hingga 2015 pemerintah melakukan moratorium PMI ke Timur Tengah dengan alasan merendahkan nilai kemanusiaan (hukuman mati), pada era 2000an sampai sekarang tujuan PMI adalah negara-negara di Asia Timur seperti Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, China, serta bagian Asia Tenggara lainnya seperti Singapura dan Malaysia. Diperkirakan Indonesia menyuplai 2,5 juta warga negara Indonesia setiap tahunnya.
Melalui pandangan Strukturalisme, berangkat dari Ferdinand de Saussure, dan Levi Strauss membicarakan strukturalisme ada tiga hal yakni 1) inter connectedness, keterkaitan/ keterhubungan antar unsur. 2) innate structuring capacity, kekuatan pembentuk. 3) binary opposition, gejala yang bertentangan.
Strukturalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan. Struktur sosial berkaitan dengan dan berkontribusi terhadap struktur sosial yang lebih besar. Adanya kecenderungan dari struktur sosial tertentu untuk melakukan adaptasi dan penyesuaian terhadap perubahan internal dan eksternal sistem serta kebutuhan adanya nilai.
Dengan perspektif ini Dr. Khaerul Umam, M.Ud menjelaskan bahwa Pekerja Migran Indonesia (PMI) sebagai struktur, PMI adalah bagian dari struktur masyarakat Indonesia yang lebih besar. Sebagai sebuah struktur PMI memiliki substruktur tersendiri yang diatur dalam UU No. 18 tahun 2017 yakni: para PMI, keluarga, lembaga penyalur, mitra usaha (agency), pemberi kerja (lembaga perseorangan), pemerintah (dari pemerintah pusat, daerah, hingga pemerintah desa.
Anomie dan Deviasi dalam PMI berdasarkan fakta sosial yang ada dalam masyarakat terdapat beberapa hal seperti perselingkuhan, perceraian akibat hubungan yang jauh, kenakalan remaja, eksploitasi, dan diskriminasi. Perselingkuhan menjadi hal yang paling tinggi atau sering terjadi dalam studi kasus pekerja migran, hal ini bisa terjadi disebabkan beberapa hal seperti, kebutuhan biologis yang tidak tersalurkan akibat salah satu pasangan menjadi seorang migran. Kurangnya komunikasi, sehingga bisa mengakibatkan perceraian. Banyak dari tenaga kerja Indonesia yang mengakhiri hubungan pernikahannya dan lebih memilih fokus terhadap keluarga. Sehingga banyak dari hubungan perceraian ini berdampak pada tumbuh kembang anak yang mengakibatkan kenakalan remaja disebabkan faktor perceraian dari kedua orang tuannya.
Cara mencegah anomie dalam struktur PMI bisa dilakukan dengan cara mempengaruhi subsistem yang lain (strukturalisme), di antaranya melalui fungsi budaya dan agama, hal ini penting karena agama adalah salah satu pondasi utama agar tidak terjadi suatu bentuk perselingkuhan dalam suatu hubungan. Kembalikan fungsi sosial. Kembalikan fungsi ekonomi, jika perekonomian di negara sendiri mampu mensuport masyarakat. Pekerja migran akan berkurang sehingga bisa meminimalkan bentuk anomie dan deviasi yang terjadi. Dan kembalikan fungsi pendidikan, pendidikan yang baik serta setara akan memajukan kelompok masyarakat untuk kreatif dan produktif, hal ini tentu sangat mempengaruhi anomie yang terjadi dalam masyarakat.
Dari sisi analisa gender oleh Dr. Hj. Sardjuningsih, M.Ag. Pekerja migran Indonesia yang sering mendapat sorotan adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW), terkhusus adalah wanita desa yang sering bahkan banyak menjadi pahlawan devisa. Berbagai faktor telah mendorong para wanita untuk menjadi seorang TKW, beban perempuan yang banyak baik dari segi domestik, maupun ekonomi mengharuskan para wanita untuk bekerja ke luar negeri, banyak diantaranya menjadi pembantu rumah tangga karena memang pendidikan yang rendah tidak ada pilihan selain menjadi pembantu rumah tangga. Di balik sisi negatif yang tercermin dari seorang TKW, faktor positif sering kali terabaikan. Bahwa jelas banyak hal positif dari seorang migran untuk dipublikasikan. Misalnya seperti Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing (bule). Selain itu banyak diantaranya menjadi seorang pembantu rumah tangga, mereka berjualan di sela-sela kegiatan kerjanya pada hari libur, justru TKW banyak yang memiliki pekerjaan lebih ringan daripada di Indonesia, misalnya dalam merawat orang sakit, atau sebagai baby sister, pekerjaannya hanya sebatas itu saja, tidak menggabungan beberapa pekerjaan dalam satu orang. Selain itu, banyak TKW yang memiliki kecerdasan emosional yang bagus dengan majikan, hal ini tentu mempengaruhi pendapatan serta kesejahteraan mereka. Fenomena-fenomena seperti ini yang menjadi pendorong bahwa migran tak selamanya mendapati kesengsaraan, kebahagiaan bisa mereka perjuangkan melalui versi dirinya masing-masing dalam menjalani kehidupan.
Berbeda dengan Taufik Alamin, M.Si, jika pada pembahasan ini mengacu terhadap strukturalisme, di sini beliau justru melihat persoalan pekerja migran berdasarkan perspektif konflik. Mulai dari konflik dalam rumah tangga, konflik dalam diri, dan lain-lain yang membuat individu berangkat meninggalkan negeri ini walaupun tanpa berbekal pengetahuan dan hanya menjadi buruh di luar negeri. Disebutkan salah satu fenomena di Trenggalek bahwa ada kampung TKW, di sana rumahnya mewah dan bagus. Karena saat mereka mendapatkan gaji banyak uang tersebut dipakai untuk membangun rumah, tapi saat mereka sudah berada di Indonesia dan tidak lagi bekerja mereka akan memulai lagi dari nol, artinya mereka tidak memiliki suatu investasi untuk mengembangkan bakat serta keahliannya di Indonesia. Alih-alih menikmati masa tua dengan bergelimang harta, namun yang terjadi justru bingung dalam menafkahi dirinya sendiri juga keluarga karena tidak ada bakat untuk membuat suatu usaha atau karya tertentu. Seperti yang diperkuat oleh M. Zuhdi, M.A dengan mengibaratkan bahwa “Hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan emas di negeri orang”. Maka peran negara di sini harus membangun potensi daerah agar masyarakat tidak lagi bekerja sebagai migran.
Dari sini kita bisa melihat akar dari struktur Pekerja Migran Indonesia (PMI), diantaranya :
- Bahwa struktur satu mempengaruhi struktur lain.
- Tuntutan agen (Negara), Negara harus mampu menstabilkan permasalahan ekonomi masyarakat karena memang tugas dari pemerintah untuk menyejahterakan setiap warganya.
- Masing-masing berbuat pada diri sendiri, bisa melalui lembaga atau organisasi yang mampu membawa suatu perubahan sosial masyarakat untuk lebih baik.
- Produksi pengetahuan adalah tugas dari akademisi untuk mengkritik, menyaring, mencari, dan memberi pengetahuan secara ilmiah dari setiap praktik sosial masyarakat termasuk persoalan Pekerja Migran Indonesia.
“Buat migran semoga bisa menjadi batu mutiara sebab ibarat struktur konstruksi bangunan, ia hanya menjadi batu bata, sesuatu yang dibutuhkan namun selalu ditutupi”
Vita Yuliana (pen)