(late post) Jumat, 4 Juni 2021 program studi Sosiologi Agama mengadakan diskusi rutinan dengan tema “Merefleksikan Cinta Erich Fromm di Tengah Kapitalisme Lanjut” yang disampaikan oleh Ika Silviana, M.A dengan didampingi oleh Gigih Wahyu Pratomo, M.A sebagai moderator.
Masih dalam suasana Lebaran kala itu, sebagai bentuk rasa saling memaafkan dan upaya untuk membangun kasih sayang yang lebih bermakna, maka makna Cinta Erich Fromm menjadi layak untuk dikupas.
Dalam presentasinya Ika Silviana merujuk pada konseptual Erich Fromm menyampaikan bahwa objek dalam cinta tidak dapat disamaratakan sebab ini termasuk sebagai kebutuhan (selera) individu. Nah, sebagai individu, manusia menginginkan sesuatu yang menarik. lebih lugas lagi, mencintai dengan menentukan prasarat objek merupakan bentuk mencintai yang mudah rapuh.
Namun kebanyakan orang terjebak dalam pengalaman orgiastik yang mewujud dalam bentuk seksual dan ritus-ritus bersama atau sebagian lain memilih menenggelamkan diri dalam pengaruh alkohol dan obat-obatan, sehinga menjadi candu.
Banyak manusia yang mengganggap bahwa mencintai adalah persoalan mencari objek yang menarik untuk dimiliki, bukan sebagai sebuah kemampuan untuk menerima, memahami, dan berbagi. yaitu persoalan mencintaibukan terletak pada keinginan untuk dicintai dan memiliki, melainkan sebuah wujud nyata untuk memberi
cinta yang matang adalah bentuk kesatuan dengan seseorang di bawah kondisi saling tetap mempertahankan integritas dan individualitas masing-masing atau Fromm menegaskannya dengan ungkapan fenomena di mana dua sosok menjadi satu namun tetap dua.
Diakhir presentasinya, Ika menegaskan sekali lagi bahwa Fromm sebenarnya menolak cinta sebab bentuk aktivitas yang dapat dan memungkinkan adanya afeksi pasif sebab cinta bagi Fromm selalu bersifat berusaha berdiri di dalam (standing in) dan bukan jatuh untuk (falling for).
Menarik untuk direfleksikan, kira-kira dimanakah cinta yang sejati??? (adm)