Vaksin Covid-19 merupakan salah satu alternatif solusi untuk menghentikan pandemi yang telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan manusia. Namun vaksin tentunya bukan satu- satunya senjata untuk memerangi Covid-19.
_Nadiyah_
*Nadiyah
Dari berbagai penelitian di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, China dan Indonesia, sebagian besar masyarakatnya (rata-rata berkisar antara lebih dari 50-60 persenan) bersedia di vaksin. Namun (mau divaksin) dengan catatan, sudah ada rekomendasi dari health care providers, keamanan vaksin terjamin, tidak membahayakan kesehatan, efektivitas vaksin telah teruji berdasarkan bukti klinis, kecenderungan politik mendukung, kehalalan vaksin terjamin.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kelompok anti-vaksin yang terus menyebarkan berita hoaks yang tidak bisa dipercaya kebenarannya.. Sejumlah opini dibentuk, antara lain tentang bahaya vaksin baru ini, terutama menyangkut efek samping jangka panjang yang belum berbasis bukti hingga terkesan terburu-buru. Pendapat lain adalah keraguan yang muncul akibat informasi tentang tingkat efektivitas yang hanya berkisar antara 50-60 persen, sementara uji coba ataupun uji klinis, masih terus berlangsung.
Adanya konspirasi politik dengan tujuan untuk kepentingan bisnis, adanya pelanggaran hak kebebasan publik apabila terjadi ‘pemaksaan’ untuk wajib divaksin, dan lain sebagainya, merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat keyakinan masyarakat untuk mau divaksin.Caranya dengan sosialisasi dan edukasi yang masif dan tepat sasaran, secara terus menerus, sehingga yang terbentuk adalah kesadaran dan bukan pemaksaaan.
Di sisi lain, kelompok pro-vaksin juga gencar menyampaikan kepublik tentang pentingnya vaksin Covid-19 sebagai solusi untuk menghentikan pandemi Covid-19 dan untuk meminimalisir keraguan dan penolakan terhadap vaksin, sehingga bisa untuk menciptakan herd immunity atau kekebalan komunal.
Vaksin Covid-19 merupakan salah satu alternatif solusi untuk menghentikan pandemi yang telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan manusia. Namun vaksin tentunya bukan satu- satunya senjata untuk memerangi Covid-19.
Vaksin Covid-19 jika dipandang dalam kacamata ekonomi politik bukan sekadar obat atau alat peningkat imunitas tubuh dari penularan Covid-19 semata. Vaksin Covid-19 juga berasosiasi dengan kepentingan ekonomi politik banyak negara. Di dalamnya terkandung dominasi kekuasaan, bahkan hegemoni dan infiltrasi kepentingan pasar suatu negara.
Dalam refleksi kapitalisme, vaksin Covid-19 berkorelasi terhadap kepentingan negara dalam kerangka menciptakan sumber-sumber kekayaan baru dan meningkatkan pendapatan. Sebab dalam hal ini negara membangun relasi kekuasaan dengan entitas swasta (perusahaan, kapitalis, dan organisasi pekerja dan konsumen) untuk sama-sama memproduksi dan mendistribusikan kekayaan.
Sejauh ini vaksin Covid-19 yang akan didatangkan oleh pemerintah Indonesia, porsi terbesarnya adalah impor. Meski ada penyertaan perusahaan dalam negeri (BUMN) di dalamnya, khususnya dalam aspek transfer teknologi dan pengetahuan (transfer of technology and knowledge), namun produksi secara masif masih terbatas dan butuh effort yang konsisten. Dengan kondisi begini, Indonesia tidak memiliki tawar- menawar yang kuat meski pangsa pasar Indonesia sangat besar. Di tengah pandemi Covid-19 yang terus meningkat, Indonesia tidak punya pilihan selain menerima apa adanya. Kalaupun ada negosiasi, paling hanya tipis-tipis.
Dalam kondisi yang membutuhkan, ditambah kelangkaan produk dan permintaan yang sudah pasti tinggi, maka mekanisme pasar memang berlaku. Persoalan di dalam negeri adalah bagaimana agar ketersediaan vaksin juga terjaga. Maka dari itu, langkah untuk membeli di awal dan menjalin kontrak pembelian dengan perusahaan asing menjadi pilihan pemerintah.
Fungsi pemerintahan memang seperti itu, yakni memiliki tanggung jawab domestik untuk menjamin kebutuhan masyarakat. Namun, pemerintah tidak seharusnya hanya memikirkan soal ketersediaan. Ada hal krusial lain yang tak kalah genting, yakni memastikan bahwa pemerintah tidak menjadikan rakyat sebagai pangsa pasar untuk meraih keuntungan yang sebesar- besarnya dan bertindak selayaknya perusahaan yang berupaya memperoleh kekuasaan pasar (market power).
Jangan sampai pemerintah juga mengeluarkan kebijakan setengah arah yang mengonstruksikan tujuan penyelesaian Covid-19 dengan memaksakan logika pasar kepada rakyat. Negara harus mengambil peran besar untuk memastikan kebijakan lebih terarah dan tuntas. Mengapa? Karena rakyat masih dalam kondisi terpuruk akibat dampak Covid-19 ini. Kenormalan baru hanya mengubah budaya keseharian atas perilaku dan aktivitas, tanpa bisa membawa ekonomi masyarakat pada kenormalan yang layak.
*mahasiswi Psikologi Islam IAIN Kediri
sumber gambar: nasional.sindonews.com