Taufik al Amin*
Indikasi adanya calon tunggal dilatarbelakangi oleh besarnya pengaruh kekuatan politik petahana, adanya simpul politik dinasti, serta terjadinya koneksi dengan posisi seseorang atau lembaga yang masih menjabat di kabinet atau istana.
–Taufik al Amin–
Pilkada serentak menurut rencana akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020. Terdapat 28 daerah yang berpotensi menjadi calon tunggal. Adapun Pilkada serentak tahun ini rencananya akan digelar sebanyak 270 wilayah di Indonesia yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Di Jawa terdapat 8 calon tunggal yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah ada terdapat 6 daerah kabupaten/kota yaitu: Kebumen, Wonosobo, Sragen, Boyolali, Grobogan, dan Kota Semarang. Sementara di Jawa Timur terdapat 2 calon tunggal yakni di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Ngawi. Sementara 20 calon tunggal yang lain ada di propinsi luar Jawa yang meliputi; Sumatera utara terdapat 4 calon tunggal, Papua Barat terdapat 3 calon tunggal, Adapun propinsi yang terdapat 2 calon tunggal antara lain: Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur. Sedangkan sisanya adalah satu calon tunggal yang terdapat di 7 propinsi yang meliputi: Bali, Bengkulu, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Jambi, dan Kepulauan Riau.
Indikasi adanya calon tunggal dilatarbelakangi oleh besarnya pengaruh kekuatan politik petahana, adanya simpul politik dinasti, serta terjadinya koneksi dengan posisi seseorang atau lembaga yang masih menjabat di kabinet atau istana. Salah satu indikatornya, dari 28 pasangan calon tunggal tersebut terdapat 12 pasangan calon yang diusung oleh partai penguasa. Adapun rinciannya, 10 orang sebagai kandidat kepala daerah dan 2 orang sebagai kandidat wakil kepala daerah.
Berdasarkan faktar tersebut, Akhirnya KPU memperpanjang masa pendaftaran calon. Ketentuan mengenai perpanjangan masa pendaftaran pencalonan diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 tahun 2015 tentang pencalonan Pilkada. Dalam pasal 89 Ayat (1) menyebutkan, “Dalam hal sampai dengan akhir masa pendaftaran Pasangan Calon hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon atau tidak ada Pasangan Calon yang mendaftar, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota memperpanjang masa pendaftaran Pasangan Calon paling lama 3 (tiga) hari”.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, fenomena calon tunggal terus bertambah dari tahun ke tahun. Sebelumnya pernah muncul calon tunggal sejak pilkada serentak pertama pada tahun 2015 yaitu terdapat 3 calon tunggal. Kemudian pada Pilkada 2017 terdapat 9 calon tunggal, dan Pilkada 2018 terdapat 16 calon tunggal. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pragmatisme dalam kepengurusan partai politik.
Dari berbagai survei dan penelitian yang telah dilakukan oleh banyak pihak, mayoritas masyarakat sebenarnya sangat menyayangkan munculnya calon tunggal dalam pilkada. Alasan publik karena hal tersebut membatasi pilihan yang ditawarkan. Hal ini berarti bahwa partai politik tidak lagi menempatkan pilkada sebagai momentum untuk menguji kader dan strukturnya dalam ajang demokrasi lokal. Tetapi, yang terjadi parpol justru lebih cenderung mengedepankan cara berpikir untung-rugi dibanding menjadikan pilkada sebagai ajang untuk memberikan ruang bagi masyarakat dalam memilih kader-kader terbaiknya menjadi calon pemimpin di daerahnya. Pada titik ini fungsi kaderisasi parpol gagal dilakukan.
Adapun yang menyebabkan munculnya calon tunggal adalah Pertama, munculnya calon tunggal tersebut merupakan perwujudan dari makna kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi yang berkedaulatan rakyat, posisi calon benar-benar memiliki kekuatan otonom dalam masyarakat dan biasanya akan sangat dicintai masyarakatnya, sehingga mereka tidak mau memilih pemimpin yang lain. Karakter yang melekat seperti ini dapat kita temui pada diri Tri Rismaharini Walikota Surabaya yang benar-benar bekerja untuk rakyatnya. Kecintaan rakyat kepadanya akhirnya membuat “gentar” calon pesaing, sehingga tidak ada yang berani untuk maju dalam pilkada serentak tahun 2015. Walaupun akhirnya setelah perpanjangan masa pendaftaran tahap kedua akhirnya ada calon pesaing yang muncul. Hal ini terjadi karena mereka beranggapan akan sulit mengalahkan petahana yang mempunyai tingkat elektabilitas yang tinggi seperti Tri Rismaharini.
Kedua, calon tunggal ini lahir karena mahalnya mahar dari partai pengusung. Maka secara rasional, jika ada calon petahana yang kuat, calon lain pasti akan berkalkulasi secara rasional. Daripada hilang segalanya, lebih baik mengurungkan niat untuk jadi calon. Karena untuk menjadi calon saja mereka sudah harus membayar mahar. Belum lagi dana yang akan digunakan untuk kampanye, dana untuk meraih suara pemilih, dana untuk mengamankan suara mulai dari tingkat TPS sampai mengamankan suara di KPU, KPU Kabupaten/ Kota, KPU Provinsi, KPU pusat bahkan sampai di tingkat MK jika terjadi sengketa.
Ketiga, Calon tunggal ini dapat juga lahir karena mesin partai yang berfungsi dalam memberikan pendidikan politik bagi kader tidak berfungsi dengan baik. Karena partai selain wajib memberikan pendidikan politik kepada masyarakat juga wajib untuk memberikan pendidikan politik kepada kader-kadernya, termasuk dalam hal ini adalah dengan menyiapkan kader terbaik untuk menjadi pemimpin di daerah masing-masing serta menyiapakan kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin di kancah nasional.
Keempat, faktor lain yang juga dapat menyebabkan lahirnya calon tunggal adalah kriteria yang diatur dalam undang-undang mengenai syarat dukungan dari jalur parpol yang naik menjadi 30% dan syarat dukungan pencalonan perseorangan yang dinaikkan lebih dari 65%. Oleh karenanya, hal tersebut perlu ditinjau ulang karena masyarakat kita adalah masyarakat yang baru belajar berdemokrasi, sehingga fenomena calon tunggal dalam pesta demokrasi belum siap untuk memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang, sehingga hal ini membuat parpol dan calon perseorangan sulit untuk maju sebagai calon dalam pilkada.
Selain persoalan munculnya calon tunggal sebagaimana di atas, dalam pelaksanaan pilkada 2020 di era pandemi ini dimungkinkan akan muncul 2 persoalan yang cukup serius. Pertama, adalah minimnya tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada. Selama ini partisipasi pemilih selalu dikaitkan dengan hal-hal yang terkait dengan teknis kepemiluan. Misalnya tentang daftar pemilih, tata cara pemilihan, aturan-aturan kampanye, penetapan calon terpilih, dan lain sebaginya. Karena pilkada nantinya dilaksanakan masih dalam kondisi pandemi, tentu hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan maksimal. Selain protokol kesehatan yang harus diterapkan dengan ketat, masyarakat kita juga sebagian masih takut untuk berkumpul dengan yang lain. Hal tersebut tentu akan menjadi salah satu kendala kehadiran pemilih ke TPS.
Adapun aspek non teknis yang terkait dengan tingkat partisipasi adalah tentang pendidikan politik itu sendiri. Selama ini berkembang anggapan bahwa tingkat kehadiran pemilih di TPS sangat tergantung dari upaya KPU dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat. Padahal di sisi lain, kehadiran pemilih juga ditentukan oleh seberapa besar tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam melek politik. Hal tersebut tentu sangat berkaitan dengan pendidikan politik dan proses-proses politik yang telah dilakukan oleh elit dan pengurus partai politik selama ini. Akhirnya, pilkada sebagai agenda politik lokal lima tahunan ini menjadi hal yang sangat menarik dan ditunggu-tunggu masyarakat atau sebaliknya menjadi ritus politik yang beku dan membosankan..
Persoalan kedua adalah adanya politik uang. Hubungan antara politik dan uang atau uang dan kekuasaan sudah lama muncul dalam dinamika politik di tanah air. Sejak pilkada diselenggarakan tahun 2005 di Indonesia, permainan politik uang telah ikut mencoreng wajah demokrasi kita. Lebih-lebih dengan munculnya calon tunggal, aroma adanya permainan politik uang yang dilakukan oleh elit partai politik begitu menyegat dan telah menjadi bahan rasan-rasan masyarakat. Mengapa hal tersebut terjadi, sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya.
Di tingkat masyarakat atau pemilih, permainan politik uang juga masih memungkinkan terjadi, mengingat munculnya calon tunggal tidak dengan sendirinya dimaknai bahwa “pesta” telah usai. Meskipun tidak ada kompetitor lain dalam calon tunggal, “ketakutan” atas dominannya suara yang memilih bumbung kosong juga perlu diantisipasi. Dari titik krusial inilah posisi pemilih menjadi penting untuk dipastikan kehadirannya. Maka, cara-cara memobilisasi pemilih dengan menggunakan uang dan barang perlu diantisipasi dan diawasi oleh Bawaslu dan masyarakat itu sendiri. Belum lagi bentuk-bentuk intimidasi kepada pihak-pihak tertentu dengan tujuan memanfaatkan sumberdaya, birokrasi, dan jabatan yang terkoneksi dengan anggaran negara juga merupakan modus yang sering digunakan selama ini dalam setiap pelaksanaan pilkada.
sumber gambar: radioidola.com