Kemakmuran, kekuatan, dan kemegahan Sungai Brantas dengan pelabuhan dalamnya merupakan pengejawantahan dari Paduka Sang Naranatha Raja Jayabhaya, Raja Kedhaton Panjalu, Kedhaton Kediri atau terkenal pula dengan sebutan Kedhaton Dhaha.
–M. Syahrul Ulum–
Air ini begitu bening seolah-olah menunjukkan kejernihannya dalam berpikir. Aliran lajunya amat tenang setenang dalam setiap pengambilan keputusannya. Ia juga banyak dicari, dimanfaatkan sekaligus sebagai tempat pembuangan akhir, namun tetap teduh seakan-akan ia pun ingin menjelaskan kepada dunia tentang wibawa, kharisma, dan keuletannya di setiap perputaran roda kehidupan. Air ini juga menjadi saksi bisu bahwa di sinilah dahulu pernah berfungsi sebagai tempat bersandar jung-jung besar menjajakan barang perniagaan dari berbagai penjuru. Di seluruh wilayah aliran air yang dilaluinya pun, maka di situ terdapat kehidupan gemah ripah loh jinawi. Air yang tidak pernah kering, air yang tidak pernah berubah rasa, air yang selalu menerima segala macam perlakuan, namun tetap tenang dan menyejukkan.
Sebutlah dengan nama Brantas, Sungai Brantas, Kali Brantas atau Bengawan Brantas, sebuah sungai besar yang konon dipakai oleh sang Prabu Airlangga dari Kedhaton Medhang sebagai batas geografis untuk membelah daerah kekuasaannya menjadi dua bagian, Jenggala dan Panjalu. Brantas juga dikenal sebagai pelabuhan dalam artinya pelabuhan yang didirikan di daerah pedalaman atau jauh dari laut dan samudra. Ujung Galuh, Gresik, dan Tuban merupakan pelabuhan luar yang sangat dekat dengan jalur lepas pantai. Kedua pelabuhan tersebut sama pentingnya, terlebih untuk kedhaton yang kenyataannya tidak ada batas pantainya. Pelabuhan dalam sangat diperlukan sebagai jalur alternatif pendistribusian barang dari pelabuhan luar untuk dikirim ke wilayah dalam atau bisa juga sebaliknya.
Kedhaton Panjalu dengan ibu kotanya Dhaha sangat bergantung pada keberadaan Sungai Brantas berikut dengan pelabuhan dalamnya. Sungai Brantas bukan saja dimanfaatkan sebagai saluran irigasi, tetapi juga sebagai simbol kemakmuran dengan perniagaan dan benteng pertahanan kedhaton. Konon Kedhaton Dhaha menjadikan pelabuhan dalamnya menjadi dua bagian, utara dan selatan. Pelabuhan dalam selatan diperuntukkan berlabuh bagi tamu-tamu penting negara, sedangkan sisi utara khusus untuk bersandar jung-jung perniagaan. Tak terbayangkan betapa megahnya pelabuhan dalam Sungai Brantas saat itu. Daerah Jong Biru merupakan saksi bisu bahwa dahulu di situ pernah didirikan pelabuhan kedhaton dalam.
Kemakmuran, kekuatan, dan kemegahan Sungai Brantas dengan pelabuhan dalamnya merupakan pengejawantahan dari Paduka Sang Naranatha Raja Jayabhaya, Raja Kedhaton Panjalu, Kedhaton Kediri atau terkenal pula dengan sebutan Kedhaton Dhaha. Pelabuhan adalah kekuatannya, sungai adalah kebesarannya, dan air adalah sifatnya. Namun, tidak berarti air itu selalu jernih, tetapi tatkala air itu masuk ke sungai betapa pun kotornya air itu tetap akan terlihat bersih. Sang Naranatha adalah raja yang tangguh, kuat, dan digjaya, namun tetap ada noktah hitam yang mengubah sifat dari air itu. Akan tetapi, semuanya bisa tertutupi oleh kebesaran yang disandangnya. Noktah hitam itu adalah jerat fitnahyang pernah dibuatnya sendiri hingga sempat memperkeruh arus air sungai kehidupan dari sang Naranatha.
Kedhaton Dhaha masa pemerintahan sang Naranatha selalu terliputi akan kebesaran, kegagahan, dan kemakmuran untuk rakyatnya. Namun, usut punya usut bahwa kebesaran dari kedhaton tersebut tidak diperoleh begitu saja, seperti halnya pada kerajaan lain yang berdirinya melalui aksi invasi dan militansi, maka Kedhaton Dhaha tidaklah berbeda.
Kebesaran dan ketenaran Kedhaton Dhaha dengan rajanya yang terkenal sang Naranatha Jayabhaya di samping diperoleh dari invasi ke luar juga beliau sanggup memenangkan konflik internal warisan turun-temurun semenjak Medhang dengan rajanya Prabu Airlangga membagi kekuasaanya menjadi dua bagian yaitu Jenggala dan Panjalu.
Niat baik dari sang Prabu Airlangga terlihat rasional mengingat beliau mempunyai dua penerus tahta yang sama-sama berhak untuk menjadi raja, Mapanji Garasakan dan Samarawijaya. Untuk menghindari pertikaian dari dua saudara kakak adik tersebut, maka dengan bantuan kawisesan Mahawiku Mpu Bharadah, kaum brahmana yang selalu menjadi rujukan Sang Prabu untuk memutuskan setiap kebijakan, wilayah kerajaan Medhang dibelah menjadi dua untuk kedua putranya dengan Sungai Brantas sebagai batasnya.
Jenggala-Panjalu merupakan trah warisan Medhang dengan Mataram Kuno sebagai masa periodisasi waktu berjalannya struktur pemerintahan kerajaan. Tersebutlah Dinasti Syailendra sebagai simbol sintesis-kolaboratif persatuan dan kesatuan antar heterogenitas masyarakat. Banyak peninggalan Mataram Kuno saat itu yang menunjukkan bahwa merawat heterogenitas masyarakat adalah suatu keniscayaan. Candi Borobudur dan Candi Prambanan merupakan salah satu saksi bisu bahwa “embrio” ke-bhinneka-an sudah terbentuk sejak lama. Keberagamaan hidup bermasyarakat tersebut berlangsung cukup lama sampai pada pemerintahan Prabu Airlangga. Sang Prabu yang dalam simbol lencana kerajaannya adalah sebagai penunggang Garuda dipercaya sebagai titisan Dewa Wisnu yang turun ke bumi, tapi tidak berarti kepercayaan yang lain menjadi terpinggirkan justru semakin dirawat sebagai infrastruktur utama kekuatan kedhaton saat itu. Baru di saat wilayahnya dibagi dua, maka di sinilah celah konflik mulai terbentuk.
Jika ditelusuri lebih mendalam, sebenarnya di sinilah letak awal pertikian berkepanjangan Jenggala-Panjalu hingga menjadi trauma mendalam sampai anak turunnya. Alhasil dari pembelahan wilayah tersebut, bukannya menjadi rukun, tetapi masing-masing tidak sepenuhnya menerima bagian yang sudah didapatkan, justru berupaya untuk saling merebut demi mendapatkan kekuasaan wilayah yang utuh tanpa ada sekat pemisah lagi.
Pada perkembangan lebih lanjut bukan lagi masalah luas wilayah saja yang diperselisihkan, melainkan juga mengarah ke praktik keagamaan yang berujung pada rasa cemas berlebih dengan yang lainnya.
Konon Jenggala lebih mengarah ke praktik Syiwapaksha dan Budhamarga, sedangkan Panjalu sangat erat dengan Wisnupaksha-nya. Aliran kepercayaan inilah yang sering digodok menjadi kambing hitam sedemikiaan rupa untuk saling mengalahkan di mana masing-masing wilayah bagian tidak ingin agamanya meredup hanya karena agama di wilayah satunya berkembang pesat.
Ketiga kepercayaan tersebut telah hidup lama berdampingan sejak era Mataram Kuno dan Prabu Airlangga merupakan tokoh sentral adanya duri tajam di tubuh masyarakat. Artinya Sang Prabu yang mencoba bereksperimen menerapkan pola sintesis-kolaboratif heterogenitas masyarakat, namun ia sendiri yang menghancurkannya hingga pada akhirnya program kepemerintahan internal bagi kerajaan-kerajaan pasca-Airlangga tidak jauh dari upayanya hanya untuk kembali menyatukan perbedaan yang sempat hancur.
bersambung…