Mpu Sedhah hidup dan dibesarkan di Pashraman Lemah Tulis. Sebuah padepokan yang didirikan oleh kakeknya, Sang Mahawiku Baradhah dan masih masuk dalam wilayah kekuasaan Jenggala
–M. Syahrul Ulum–
Sebutlah di saat Panjalu dipimpin oleh sang Naranatha Jayabhaya yang kemudian bertransformasi menjadi Kerajaan Kediri atau Kedhaton Dhaha, Wisnupaksha berkembang sangat pesat sehingga Syiwapaksha dan Budhamarga menjadi terpinggirkan. Bahkan di masa pemerintahan sang Naranatha, Mpu Sedhah seorang keturunan dari Sang Mahawiku Baradhah, sang purohita Medhang masa pemerintahan Prabu Airlangga sampai menjadi korbannya. Mpu Sedhah adalah putra Mpu Bahula dengan Dyah Ratna Manggali. Mpu Bahula adalah putra dari sang Mahawiku Baradhah. Sedangkan Dyah Ratna Manggali adalah putri dari Putri Shantika Mahadewi atau terkenal dengan nama Randeng Girah Calonarang atau Calonarang saja. Seorang janda Raja Mpu Kuturan yang sempat bergelut di dunia hitam dengan Tantra Bhairawa sebagai alirannya, namun sudah disucikan menjelang ajal menjemputnya oleh seorang mahawiku yang tidak lain adalah besannya sendiri Mpu Baradhah. (baca juga: Calon Arang ). Dalam diri Mpu Sedhah mengalir darah brahmana utama. Mpu Sedhah juga mewarisi ajaran-ajaran rahasia Tantrayana yang bersumber dari Budhamarga ayahnya, Mpu Bahula. Serta Syiwapaksha yang mengalir deras dari darah ibunya, Ratna Manggali. Sehingga dalam diri Mpu Sedhah tersimpan rahasia Syiwa-Buddha.
Mpu Sedhah hidup dan dibesarkan di Pashraman Lemah Tulis. Sebuah padepokan yang didirikan oleh kakeknya, Sang Mahawiku Baradhah dan masih masuk dalam wilayah kekuasaan Jenggala. Di Padepokan tersebut para sisya di samping dididik ajaran suci Syiwapaksha dan tentunya juga Budhamarga, ilmu kanuragan, beladiri, dan sastra menjadi kurikulum utama yang harus dikuasai oleh para sisya. Mpu Sedhah adalah salah satu sisya yang mempunyai bakat unggul dalam bidang tulis sastra, sehingga banyak karya sastranya menjadi rujukan dalam membantu proses belajar mengajar di padepokan. Selain itu, karena kemahirannya yang luar biasa lalu ditunjang oleh nama besar keluarganya, maka karyanya cepat menyebar ke segenap padepokan di Jawa dan senantiasa dilantunkan oleh setiap sisya padepokan, terutama padepokan yang mengajarkan Budhamarga dan Syiwapaksha.
Kemasyhuran dan kemahiran Mpu Sedhah dalam berolah kata ternyata tercium juga sampai wilayah Dhaha. Muncullah rasa cemas dan khawatir di pihak Dhaha bukan disebabkan oleh kepiawiannya dalam karya sastra, melainkan lebih pada pengaruh agama yang dianutnya dari sastra yang sudah tersebar luas di pelosok Tanah Jawa. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Dhaha berpegang teguh pada ajaran Wisnupaksha, sedangkan Jenggala mempunyai basis penyebaran agama Syiwapaksha dan Budhamarga dengan Padepokan Lemah Tulis menjadi lelajer Syiwa-Budha. Para ksaria Dhaha mulai berandai-andai jika hal tersebut dibiarkan terus-menerus, maka kebesaran Dhaha tidak lama lagi akan segera menemui titik kesuraman. Keberadaan sosok Sedhah dengan Padepokan Lemah Tulis-nya disinyalir bisa menjadi penyebab Jenggala semakin muncul ke permukaan. Jika para ksatria, weisya, sudra mengagungkan nama Sedhah berikut Padepokan Lemah Tulis-nya, maka hal tersebut menjadi ancaman serius yang bisa mengganggu eksistensi Dhaha. Itu yang tidak boleh terjadi. Sesegera mungkin Sedhah harus dilenyapkan!
Namun, menurut sintesis-mistis kepercayaan umum bagi pemeluk agama masa kuno, menyingkirkan seorang brahmana adalah suatu kemustahilan. Melakukan brahmahatya atau membunuh seorang brahmana adalah sebuah dosa besar yang tidak hanya memiliki sanksi kemalangan, tetapi juga hilangnya dukungan masyarakat.
Jika hal tersebut terpaksa dilakukan oleh Raja Dhaha, maka hilanglah sudah kepercayaan masyarakat akan pemerintahannya. Seorang brahmana baik dari Syiwapaksha maupun Wisnupaksha tetap dianggap suci oleh masyarakat Jawa. Barang siapa yang nekat menyakiti, menentang, menggores luka bahkan sampai menghilangkan jejaknya tanpa ada alasan yang pasti, maka hal tersebut merupakan perbuatan murka, lebih murka dari membunuh seratus orang biasa sekali pun. Bahkan seorang maharaja pun tidak dibenarkan untuk melakukan perbuatan keji dan hina tersebut.
Sedhah tidak bisa disingkirkan tanpa alasan yang benar sesuai dengan ketentuan dharma. Sedhah hanya bisa disingirkan apabila dirinya kapatita dari warna brahmana. Seorang brahmana yang melakukan kapatita haruslah dia telah melakukan pelanggaran berat. Membunuh seorang manusia, memperkosa, menculik wanita merupakan salah satu pelanggaran berat. Para pembesar Dhaha mulai mencari-cari cara agar Sedhah terdorong untuk melakukan pelanggaran berat. Jika kapatita tersebut berhasil menemui sasarannya, maka tiada halangan lagi bagi seorang raja untuk menjatuhkan sanksi yang berat kepada Sedhah. Noktah hitam pun mulai menetes ke kejernihan air.
bersambung…