*Nikmatul Sa’adah[1]
Saat konsumerisme meningkat, karena iming-iming media yang sedemikian merajalela, saat itu manusia terperangkap dalam dunia hiperrealitas. –Nikmatul Sa’adah–
Menjadi kebiasaan, dalam menyambut hari raya idul fitri berbagai macam rutinitas dilakukan masyarakat kita, salah satunya berbelanja pakaian di pusat-pusat perbelanjaan.
Hal tersebut dilakukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan agar dapat tampil berbeda pada perayaan hari raya, sebuah identitas baru yang mampu memberikan kepuasan bagi pelakunya.
Budaya berbelanja menjelang hari raya idul fitri menjadi berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sejak maraknya wabah covid-19 masyarakat diharuskan untuk menahan diri dari segala aktivitas yang biasa dilakukan, seperti berkumpul di tempat umum, bertemu sanak saudara dan segala hal yang mengharuskan berinteraksi langsung secara tatap muka.
Selama masa pandemi, ada kewajiban pembatasan interaksi sosial demi mencegah penyebaran virus covid-19.
Kebijakan pemerintah dengan adanya physical distancing, social distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan upaya pencegahan penyebaran virus covid-19 yang harus masyarakat patuhi.
Covid-19 merupakan musuh yang tak kasat mata sehingga semua masyarakat harus mampu beradaptasi dengan situasi normal yang baru (new normal) ini dan mendukung upaya pemerintah dalam mencegah penyebaran covid-19 dengan tidak saling berinteraksi di keramaian, dan tetap dalam himbauan protokol kesehatan.
Akan tetapi, dalam kenyataannya masih terdapat masyarakat pada pusat-pusat perbelanjaan yang tidak tanggap dengan himbauan pemerintah tersebut. Mereka berkerumun seolah covid-19 bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan harus diperangi bersama.
Terlebih menjelang Idul Fitri tahun ini. Masyarakat tidak bisa lepas dari kebiasaan lamanya. Mereka memenuhi kebutuhan dengan berbelanja pakaian baru, aksesoris baru, dan berbagai macam kebutuhan hari raya lainnya. Sesuatu yang tidak bisa masyarakat tinggalkan, meski, saat ini dalam masa pandemi.
Bahaya penyebaran covid-19 seolah tak mampu menghalangi pemenuhan dahaga mereka akan aktivitas berbelanja. Tentu karena idul fitri merupakan momen spesial bagi mereka.
Fenomena tersebut menjadi perhatian filsuf Prancis, Jean Baudrillard tentang masyarakat di era modern. Menurutnya, telah terjadi pergeseran dari masyarakat produksi ke masyarakat konsumsi. Dia menyebut fenomena ini sebagai simulakra.
Masyarakat yang berada pada tatanan simulakra adalah yang tidak mampu membedakan antara realitas dengan citraan, fakta dengan informasi, kenyataan dengan bayangan. Semuanya bercampur aduk dalam satu gambaran realitas, —hiperrealitas.
Praktik Konsumsi
Jika dicermati menggunakan konsep Baudrillard tentang masyarakat konsumsi, fenomena gaya hidup masyarakat yang terjadi saat ini, menggambarkan gaya hidup konsumtif, atau masyarakat konsumen. Hal tersebut memiliki arti bahwa segala sesuatu dijual dan dipertukarkan masyarakat hanya untuk sekedar pemenuhan pada satu hal, yakni hasrat ingin memiliki suatu barang.
Apa yang dilakukan masyarakat dalam membeli segala kebutuhan menjelang idul fitri memperlihatkan bahwa masyarakat telah beranjak dari sebuah masyarakat yang didominasi oleh mode produksi ke sebuah masyarakat yang didominasi oleh kode produksi (Ritzer, 2012:1087).
Masyarakat hidup dalam zaman simulasi, yaitu sebuah gambaran tentang bagaimana kegiatan berbelanja merupakan fenomena konsumtif masyarakat. Proses simulasi mengarah pada apa yang disebut Baudrillard, penciptaan simulakra.
Masyarakat dikendalikan oleh pengetahuan dan adat, di mana selama bulan ramadan, masyarakat disajikan tampilan-tampilan di media; semarak iklan-iklan produk dari industri modern, menjadi sponsorship tayangan-tayangan hiburan di media masa yang secara langsung dan secara (tidak) sadar disaksikan oleh masyarakat.
Spanduk diskon besar-besaran, iklan-iklan baju baru dan promosi jajanan terpampang secara jelas di berbagai sudut jalanan. Fenomena ini melembaga, menjadi adat baru bagi masyarakat.
Saat konsumerisme meningkat, karena iming-iming media yang sedemikian merajalela, saat itu manusia terperangkap dalam dunia hiperrealitas. Mereka tidak mampu keluar dari jeratan iming-iming untuk memenuhi hasrat konsumtif. Meski terdapat halangan dan rintangan, semua akan diterabasnya. Ibarat seorang penulis yang terbiasa menggunakan pena, dia tidak akan mengganti pena meskipun sudah ada larangan menulis menggunakannya.
Sama seperti fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini. Berbelanja menjelang idul fitri sudah menjadi budaya masyarakat pada umumnya. Meskipun adanya larangan untuk tidak berada di tengah keramaian demi mencegah penyebaran virus covid-19, tidak menghalangi mereka untuk tetap memenuhi kebutuhan dan memuaskan diri.
Konsumerisme akan tetap ada, dan orang akan terus membeli baju serta kebutuhan lainnya karena sudah terikat dengan sebuah “kode”, yang serba baru. Cara menunjukkan bahagia dan merayakan lebaran pada orang lain adalah dengan simbol (kode) yang serba baru. Karena sudah terkonstruk dalam fikirannya bahwa lebaran identik dengan segala sesuatu yang baru. Hal ini menjadi nalar massa, dan masyarakat akan sulit keluar dari konstruk tersebut.
Bagaimana agar dapat keluar dari jeratan simulasi (simulakra) yang digambarkan Baudrillard di atas?
Jalan Islam
Dalam hal ini Islam menjadi satu jalan ideal dalam menghindari jebakan-jebakan realitas yang kita temui di sekitar kita. Dengan kembali pada idealitas ajaran Islam yang dikontekstualisasikan dengan fenomena kekinian, maka segala iming-iming hiperrealitas dapat kita kendalikan.
Islam melihat fenomena masyarakat yang tunduk pada nalar konsumtif sebagai upaya penghamburan harta atau pemborosan. Dalam Islam dijelaskan, sebagaimana tercantum pada ayat tentang menghambur-hamburkan (harta) yang terdapat pada pada surat al-Isro’ ayat 26:
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Artinya: Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Dari penjelasan ayat di atas, terlihat bahwa konsep masyarakat menurut Islam adalah bukan masyarakat yang gemar menghamburkan harta, akan tetapi yang diidealkan Islam adalah gambaran masyarakat yang memiliki kepedulian kepada sesama.
Islam tidak mengajarkan sikap boros dan berlebihan, karena merupakan sikap individualistik dan tidak peduli pada penderitaan orang lain. Pada saat yang sama, Islam menganjurkan suatu kondisi masyarakat ideal, di mana kelebihan harta yang dimiliki oleh seseorang harus terdistribusi (sebagiannya) kepada keluarga terdekat dan orang-orang yang sangat membutuhkan.
Menutup tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa sikap yang ditunjukkan masyarakat dalam menghadapi perayaan idul fitri yang berlebihan di tengah pandemi tidak mencerminkan masyarakat yang peduli terhadap keselamatan orang lain dan tidak berempati menghargai para tenaga medis yang telah berjuang mati-matian untuk menyelamatkan mereka yang terpapar.
Selain itu, pada sisi ekonomi, hal tersebut merupakan sikap boros dan menghamburkan harta yang tidak perlu dilakukan, karena hanya akan menyakiti mereka yang kekurangan, sebagaimana yang telah Al-Qur’an gambarkan.
Comments are closed.