Adelia Titania Arsani*
Merujuk pada konflik segitiga Galtung dapat tergambarkan bahwa konflik terjadi akibat perbedaan kepentingan karena pengabaian jarak aman dan limbah atau polusi peternakan dari pemilik usaha peternakan, sehingga memunculkan sikap kekhawatiran warga bahwa limbah atau polusi dari kotoran ayam akan menimbulkan penyakit yang berdampak langsung bagi masyarakat sekitar.
–Adelia Titania Arsani–
Banyaknya kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam menjadikan kebutuhan pangan masyarakat semakin meningkat. Tingginya permintaan pasar terhadap daging ayam ini tentunya membuka kesempatan besar bagi para pengusaha untuk memanfaatkan peluang bisnis. Akhir-akhir ini usaha ternak ayam mulai menjamur hingga ke daerah pedesaan, hal ini karena didorong dengan adanya sistem kemitraan. Pola kemitraan dalam hal ini berarti peternak cukup menyediakan kandang ayam dan peralatan serta tenaga kerja. Sedangkan untuk sarana penunjang produksi seperti bibit, pakan, vaksin, dan obat-obatan ditanggung oleh mitra yang biasanya perusahaan besar. Namun, ketika sudah mencapai hasil panen, maka peternak wajib untuk menjual hasil produksi ayam kepada mitra perusahaan tersebut dengan perjanjian sesuai harga pasar.
Namun, biasanya yang menjadi masalah atau konflik antar peternak dan masyarakat adalah lokasi peternakan yang dipilih kurang tepat. Dulu lokasi peternakan berada di tepi kota-kota besar, tetapi kini sudah banyak para peternak yang membangun kandang ayam di daerah pinggiran pedesaan. Padahal lokasi untuk peternak ayam seharusnya jauh dari keramaian, jauh dari lokasi perumahan atau suasana yang tenang juga sangat diperlukan dalam peternakan ayam ras yang umumnya mudah stress.
Menurut SK Dirjen Peternakan Tahun 1993 NO.77 jarak aman untuk pemeliharaan unggas dari pemukiman minimal berjarak 250 meter. Karena letak kandang yang berdekatan dengan rumah penduduk akan memicu ketegangan antar pemilik kandang dan masyarakat sekitar. Pasalnya limbah dari peternakan tidak bisa dianggap remeh karena hal ini bisa memicu kesehatan pada masyarakat, apabila membuang limbah bangkai ayam secara sembarangan dan bau kotoran yang tidak sedap akan menimbulkan berbagai penyakit.
Hal ini seperti rencana pembangunan sebuah kandang ayam paking dan brading di Dusun Jungkit, Desa Watudakon, Jombang yang menuai protes dari warga setempat. Di mana kandang ayam yang akan didirikan di lahan seluas lima hektar tersebut berada dekat dengan lokasi pemukiman warga. Minimnya sosialisasi membuat masyarakat takut akan dampak limbah maupun bau dari kandang ayam itu nantinya. Sebab hal ini akan berdampak sangat buruk terutama bagi kehidupan masyarakat sekitarnya. Pasalnya warga belum mendengar adanya perkumpulan atau sosialisasi mengenai lahan yang akan dibangun untuk kandang ayam tersebut. Warga hanya diperintahkan untuk tanda tangan oleh kepala dusun tanpa tahu maksud dari penggalangan tanda tangan yang dilakukan.
Beberapa keluhan atau ketidaknyamanan yang dialami oleh masyarakat sekitar adalah polusi akibat banyaknya debu yang masuk ke rumah warga karena pembangunan kandang yang masih berada pada tahap pengurukan tanah. Selain itu, kekhawatiran warga apabila terdapat kandang ayam ini adalah polusi udara yang disebabkan oleh bau dan banyaknya lalat yang sangat mengganggu aktivitas masyarakat, di mana hal ini juga bisa berdampak pada kesehatan masyarakat. Hal inilah yang memicu konflik yaitu protes masyarakat mengenai rencana pembangunan kandang ayam tersebut kepada pemilik kandang.
Menurut Johan Galtung konflik bisa diartikan sebagai benturan fisik dan verbal. Terdapat dimensi penting dalam teori konflik Galtung yang disebut segitiga konflik Galtung yaitu sikap, perilaku, dan kontradiksi. Sikap merupakan persepsi tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan pihak lain. Perilaku biasanya berupa kerjasama, persaingan, persahabatan atau permusuhan. Dan kontradiksi adalah munculnya situasi yang melibatkan sikap atau perilaku yaitu sikap melahirkan perilaku selanjutnya mengacu pada kontradiksi dan melahirkan ketegangan (Galtung, 2003: 161).
Jika merujuk pada konflik segitiga Galtung dapat tergambarkan bahwa konflik terjadi akibat perbedaan kepentingan karena pengabaian jarak aman dan limbah atau polusi peternakan dari pemilik usaha peternakan, sehingga memunculkan sikap kekhawatiran warga bahwa limbah atau polusi dari kotoran ayam akan menimbulkan penyakit yang berdampak langsung bagi masyarakat sekitar. Dari sikap tersebut terwujud perilaku permusuhan atau ketegangan saling membenarkan kepentingan masing-masing pihak. Di mana sikap dan perilaku tersebut memunculkan kontradiksi antara peternak ayam dan masyarakat, sehingga dalam hal ini perlu adanya tindak lanjut untuk penyelesaian masalah agar masalah tidak semakin besar.
Dari sini dapat tergambarkan bahwa akar dari permasalahan di atas adalah perbedaan kepentingan di mana masyarakat ingin beraktivitas dengan baik tanpa adanya gangguan polusi seperti debu yang masuk ke rumah akibat pengerukan lahan yang dilakukan dan kekhawatiran polusi dari bau kotoran ayam yang akan mengganggu kesehatan mereka, sedangkan peternak atau pemilik kandang menginginkan agar mereka tetap membangun kandang ayam di area tersebut tanpa adanya tuntutan atau protes dari warga. Namun, jarak kandang ayam dengan pemukiman masyarakat yang tergolong dekat yakni kurang dari 250 meter, sehingga hal inilah yang memicu ketegangan antar mereka.
Melihat permasalahan di atas maka perlu adanya manajemen konflik dalam penyelesaian masalah. Mengacu pada penyelesaian konflik Johan Galtung yaitu dengan cara peace keeping (menjaga perdamaian) artinya penyelesaian masalah dengan melibatkan aparat keamanan atau militer, Peace building (membangun perdamaian) artinya membangun jembatan komunikasi antara pihak yang terlibat dan peace making (menciptakan perdamaian) yaitu negosiasi antara kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dan kepentingan, maka dalam hal ini berdasarkan laporan keluhan atau protes warga yang melapor ke kantor Dusun Jungkit, perangkat desa dengan didampingi aparat keamanan mulai menindaklanjuti konflik dengan cara mengundang masyarakat dengan pemilik kandang untuk menyelesaikan konflik di mana hasilnya mereka akan berkomunikasi secara langsung dan proses bernegosiasi secara kekeluargaan mengenai solusi yang tepat dan menguntungkan untuk kedua belah pihak. Di mana dalam hal ini warga akan mengizinkan proses pembanguan kandang ayam dilanjutkan dengan beberapa syarat yaitu adanya sosialisasi mengenai rencana pembangunan kandang, kompensasi akibat debu dan polusi yang ditimbulkan jika nantinya kandang ayam tersebut didirikan dan adanya lowongan kerja yang disediakan oleh pihak pemilik kandang untuk warga. Dalam hal ini, selain pemilik kandang juga tetap bisa mendirikan usahnya di lahan tersebut, masyarakat juga bisa mendapatkan keadilan terhadap area mereka.
sumber gambar: pngwing.com
* Mahasiswa Sosiologi Agama IAIN Kediri