Di tahun 2020 ini terjadi satu insiden yang membuat resah warga Indonesia terkhusus kaum perempuan yaitu tertundanya kembali pengesahan RUU PKS (Pelecehan Kekerasan Seksual) yang seharusnya ditarget oleh pemerintah akan disahkan pada bulan Agustus 2019 lalu. Tetapi tertunda karena masa kerja DPR akan segera berakhir pada periode 2019.
Berbicara tentang angka kekerasan perempuan yang sedang tren di negara kita hingga saat ini sangatlah menyedihkan. Bagaimana tidak, setelah ditelusuri dari data yang diperoleh Komisi Nasional (Komnas) perempuan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun angka kekerasan perempuan bisa meningkat delapan kali lipat. Dilihat dari meningkatnya angka korban di setiap tahunnya menunjukkan betapa rendahnya pandangan masyarakat terhadap perempuan, seakan-akan perempuan disamakan dengan ikan-ikan kecil di laut yang selalu menjadi incaran santapan “predator” besar seperti hiu dan paus. Berita tentang pelecehan seksual juga sudah menjadi berita yang umum di kalangan masyarakat. Sebagian besar masyarakat menganggap jika pelecehan seksual sudah menjadi hal wajar yang sering dialami oleh perempuan, baik di bawah umur maupun dewasa. Lebih mirisnya lagi terkadang negara lebih melindungi si predator pelecehan seksual daripada si korban. Setelah dilihat dari beberapa data kasus pelecahan seksual yang terjadi di negara Indonesia ini, tidak sedikit predator pelecehan seksual yang dikategorikan usianya masih dibawah umur. Inilah salah satu alasan yang membuat negara lebih melindungi si predator dari pada si korban. Terlebih tentang persepsi masyarakat jika terjadi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak usia di bawah umur pasti mereka berfikir kasus ini dapat terjadi karena sang perempuan yang menggoda terlebih dahulu. Persepsi masyarakat yang seperti ini dapat timbul dikarenakan budaya patriarki dan bias gender yang sudah melekat pada lingkungan mereka dan memunculkan anggapan bahwa seakan-akan tidak ada ruang gerak lagi bagi perempuan. Dari persepsi masyarakat inilah yang memberikan kesempatan luas bagi sang predator seksual, mereka merasa bahwa kaum merekalah yang berkuasa.
Di awal tahun 2020 negara Indonesia terpapar Covid-19, sehingga membuat kacau kondisi negara dan juga cukup membuat risau warga Indonesia. Akan tetapi, lebih mengejutkan lagi di tahun 2020 ini terjadi satu insiden yang membuat resah warga Indonesia terkhusus kaum perempuan yaitu tertundanya kembali pengesahan RUU PKS (Pelecehan Kekerasan Seksual) yang seharusnya ditarget oleh pemerintah akan disahkan pada bulan Agustus 2019 lalu. Tetapi tertunda karena masa kerja DPR akan segera berakhir pada periode 2019. Marwan Dasopang selaku Wakil Ketua Komisi VIII DPR angkat bicara bahwa RUU PKS akan dilakukan pembahasan kembali pada periode pemerintahan tahun 2019-2024, padahal rancangan tentang RUU ini sebenarnya telah diinisiasi di tahun 2017 silam. Akhirnya, pengesahan RUU PKS diundur kembali hingga saat ini. Lebih anehnya lagi RUU ini tidak hanya ditunda pengesahannya, akan tetapi dikeluarkan dari daftar Prolegnas sehingga otomatis pembahasan tentang RUU PKS akan dihentikan lagi dikarenakan pembahasannya dirasa sangat sulit dan akan dilakukan pembahasan kembali di tahun 2021.
Sungguh keputusan yang sangat mengherankan bagi masyarakat Indonesia terlebih oleh kaum perempuan. Bagaimana tidak, pengesahan RUU ini sebenarnya sudah lama dinantikan karena inti dari RUU PKS adalah memberikan rasa aman setiap warga negara dan bebas dari segala bentuk pelecehan dan kekerasan. Tetapi, pihak yang berwenang dalam perumusan dan pengesahan RUU PKS menganggap RUU ini sangat sulit dalam pembahasannya, terlebih untuk bentuk pidana yang akan diberikan kepada pelaku. Di sini para petinggi negara tidak memikirkan juga betapa sulitnya perempuan mencari keamanan untuk dirinya saat ini. Setelah kejadian ini, bisa dikatakan dapat menjadi faktor pendukung para pelaku kekerasan seksual lebih bebas melakukan pelecehan seksual. Kita kembali lagi melihat kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di tahun 2016 silam di mana terjadi satu kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh tiga orang laki-laki kepada seorang perempuan. Ketiga pelaku tersebut bersekongkol akan melakukan pemerkosaan pada korban ketika tengah malam. Mirisnya, sang pelaku tidak hanya bergiliran saat melakukan pemerkosaan pada korban, lebih tragisnya lagi salah seorang pelaku melakukan tindakan kekerasan yaitu berniat ingin membunuh sang korban dengan gagang cangkul yang dimasukkan ke dalam alat kelamin sang korban sampai menusuk ke paru-paru korban. Sungguh ulah para predator seksual ini sangat kejam dan mengerikan.
Dilihat dari beberapa kasus pelecehan seksual di tahun lalu, tidak menutup kemungkinan pelecehan seksual akan berkurang, bahkan terhenti di tahun ini jika RUU PKS segera ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Apalagi di masa pandemi yang saat ini, kasus pelecehan seksual malah merambah ke banyak kalangan. Baik di bawah umur maupun orang dewasa, di lingkup rumah tangga atau bahkan di lingkup pacaran. Di masa pandemi yang seharusnya menjadi sarana berkumpul dengan keluarga karena sistem social distancing di mana semua orang diarahkan melakukan semua kegiatan di rumah saja. Tetapi, sebagian dari warga Indonesia malah menjadikan kesempatan emas untuk melakukan pelecehan seksual di rumah. Dari beberapa kasus yang sering terjadi adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayah kandung maupun dari anggota keluarganya yang lain kepada salah seorang anggota perempuan yang posisi usianya lebih kecil dari sang pelaku. Sungguh para pelaku di sini hanya ingin memenuhi hawa nafsunya saja.
Sangat memungkinkan juga, pelecehan seksual terjadi di ruang publik ketika masa pandemi saat ini. Contoh saja kejadian beberapa bulan lalu yang melibatkan dua orang pegawai kafe ternama dengan salah seorang pengunjung perempuan di kafe tersebut. Kedua pegawai itu mencoba mengintip payudara salah satu pengunjung kafe melalui CCTV. Meskipun tidak melakukannya secara langsung, tetapi tindakan kedua pegawai kafe tersebut sudah dapat dikategorikan pelecehan seksual. Tindakan seperti itu sungguh sangat menjijikkan bagi kaum perempuan. Contoh kasus pelecehan seksual dalam masa pendemi lainnya seperti, begal payudara yang dilakukan oleh anak-anak, remaja hingga orang tua. Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan seorang perempuan jika menjadi korban dari ulah tangan sang pelaku pelecehan seksual. Para pelaku ini hanya mencari kesenangan semata dan di sini mereka bisa dikatakan dengan “predator seksual”. Di mana mereka selalu mencari mangsa tidak hanya sekali atau dua kali bahkan bisa berkali-kali
Baca Juga: “Catcalling”: Sanjungan atau Pelecehan?
Sampai kapan negara akan terus membiarkan para predator seksual bisa hidup leluasa di negara ini dengan tenang, sedangkan para korban sangat tertekan bahkan kaum perempuan berasa seperti dalam situasi “penjajahan”. Karena posisi mereka tidak aman di manapun mereka berada. Akankah negara ini lebih memilih melestarikan populasi sang predator seksual daripada populasi para calon kartini bangsa. Bahkan negara bisa saja melahirkan para predator junior di tahun ini jika RUU PKS tidak segera disahkan. Maka demikian, RUU PKS sangat penting bagi keamanan warga negara terlebih bagi perempuan karena perempuan bukanlah sebuah “objek” yang bebas digunakan di mana dan kapan pun. Perempuan adalah seseorang yang berbeda dengan objek lain dan tidak hanya dilihat dari fisiknya saja.
*Mahasiswi Sosiologi Agama Angkatan 2019
sumber gambar: cnnindonesia.com