Khaerul Umam*
soal pendidikan bagi kaum ibu muda. Kenapa ini penting, karena merekalah sekolah utama dan pertama bagi anak-anak generasi masa depan. Jika pendidikan mereka berhenti pada tingkat SMP atau SMA, dan sangat minim menerima pendidikan agama, dapat kita bayangkan, bagaimana kualitas generasi bangsa dapat dibanggakan. Mereka hanya akan mengulang apa yang orang tua mereka alami. –Khaerul Umam–
Iftitah
Tulisan ini saya tulis sebelum covid-19 ditemukan. Sehingga masih menggunakan norma lama. Adapaun setelah normal baru berlaku, mungkin akan menyesuaikan, tanpa mengurangi substansi gagasannya.
Catatan ini terinspirasi dari sebuah kegiatan pengajian ibu-ibu yang dilakukan di salah satu masjid jami’ (besar) di daerah tempat tinggal saya. Juga terinspirasi dari kegiatan sama yang pernah saya saksikan dan saya alami sendiri sebagai pemberi materi pengajian. Dari sekian pengalaman melihat dan mengalami proses pengajian ibu-ibu, kaesimpulan saya adalah bahwa pengajian ini memang diperuntukkan untuk ibu-ibu yang secara usia telah paruh baya (lebih dari 40 tahun ke atas). Apa yang salah? Tidak ada yang salah memang, hanya sebagai lelaki muda, saya terpaksa memiliki pertanyaan, kenapa jarang atau bahkan tidak ada ibu-ibu muda yang ikut pengajian tersebut. Secara sepintas mungkin jawaban kita sama, bahwa pengajian ibu-ibu memang sengaja dipersiapkan untuk menghadapi masa tua dan mati. Padahal, bukankah kematian tidak melihat usia?
Saya membayangkan jika pendidikan agama yang penting bagi bekal hidup dan mati hanya dapat diakses oleh mereka yang sudah tua, bukankah ini menjadi suatu ke-mubadzir-an (kesia-siaan). Artinya, ini sia-sia dalam dua hal. Pertama, pendidikan yang mereka dapatkan hanya akan mereka terima tidak lebih dari 10 persen dari yang disampaikan penceramah. Hal ini dikarenakan tingkat penerimaan orang tua lebih rendah jika dibandingkan yang lebih muda. Kemubadziran yang kedua, adalah betapa materi yang penting ini tidak dapat diakses oleh mereka yang muda yang justru pada usia mereka sangat membutuhkan arahan untuk membangun keluarga kecil mereka, membesarakan anak-anak mereka dan mendidik anak mereka dengan pendidikan agama.
Merangkul Kaum Ibu Muda
Oleh karena pentingnya pendidikan bagi kaum ibu muda, maka pendidikan agama yang secara kultural sudah mengakar di masyarakat ini, hendaknya didesain agar dapat merangkul kaum perempuan. Kenapa hal ini penting? selain karena alasan di atas, hal ini juga berangkat dari kegelisahan saya tentang fenomena cerai muda. Hampir perceraian terjadi di kalangan keluarga muda diakibatkan karena relasi yang timpang antara suami dan istri. Umumnya, hal itu terjadi karena jarak yang memisahkan mereka di mana sang istri bekerja sebagai TKW ke luar negeri, sementara suami bekerja serabutan bahkan menganggur, hanya menunggu kiriman istri. Ketimpangan relasi tersebut tidak jarang menciptakan ketidakharmonisan dalam keluarga.
Alih-alih semakin bahagia karena tingkat ekonomi keluarga meningkat, yang terjadi malah pertengkaran demi pertengkaran selalu mewarnai hubungan keluarga mereka, yang oleh anak muda disebut LDR (long distance relationship) atau hubungan jarak jauh. Jika tidak suaminya yang ketahuan bermain nakal dengan perempuan lain, maka istrinya yang bekerja sebagai TKW, tergoda berkenalan dengan pemuda lain yang sama-sama merantau. Atau banyak pula kasus keterlibatan keluarga dalam pengelolaan keuangan. Di mana muncul ketersinggungan anggota keluarga lain (saudara atau orang tua TKW) soal pembagian uang hasil bekerja sebagai TKW. Beberapa fenomena tersebut menjadi kegelisahan yang menginspirasi saya untuk menulis hal ini.
Kembali ke soal pendidikan bagi kaum ibu muda. Kenapa ini penting, karena merekalah sekolah utama dan pertama bagi anak-anak generasi masa depan. Jika pendidikan mereka berhenti pada tingkat SMP atau SMA, dan sangat minim menerima pendidikan agama, dapat kita bayangkan, bagaimana kualitas generasi bangsa dapat dibanggakan. Mereka hanya akan mengulang apa yang orang tua mereka alami. Menjadi pembantu di negara orang, dan menjadi buruh di negara sendiri. Inilah kualitas SDM kita yang patut kita benahi. Maka melalui pendidikan ibu muda di pengajian-pengajian keagamaan, kita bisa berharap agar kualitas pendidikan keluarga akan semakin meningkat.
Apa yang bisa dilakukan, sementara orientasi pengajian di kampung-kampung bahkan di kota hanya menyasar ibu-ibu yang sudah tidak muda lagi? Yang harus dilakukan adalah mendesain pengajian agar dapat diakses oleh ibu-ibu muda, caranya adalah dengan memberikan fasilitas yang memadai agar ibu-ibu muda ini bergairah untuk belajar agama di masjid atau mushola.
Satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan membuat fasilitas yang dapat menampung anak-anak mereka bermain pada saat orang tuanya sedang mendengarkan pengajian. Dalam hal ini, mushola dan masjid yang menyelenggarakan pengajian harus berani membuat ruang baru bagi bermain anak.
Mungkin timbul pertanyaan, bukankah malah mengganggu pengajian karena kegaduhan yang dilakukan anak-anak mereka? Hal ini dapat diantisipasi dengan, pertama, membuat tempat bermain yang terpisah dari tempat pengajian, namun tetap menjangkau pengawasan terhadap mereka. Kedua, dapat dilakukan dengan memperbesar volume suara penceramah agar dapat didengar dan tidak terganggu dengan suara anak-anak yang sedang bermain. Ketiga, jikapun tidak bisa melakukan kedua cara di atas, cara mengajar penceramah lebih banyak dilakukan secara interaktif dengan ibu-ibu muda ini sehingga mereka lebih mudah memahami materi yang disampaikan. Betapapun sulitnya mengatur anak-anak untuk diam agar tidak mengganggu pengajian, manurut hemat penulis, keramaian anak-anak yang dilakukan di majelis ilmu itu jauh lebih baik dibanding di tempat lain yang jauh dari kelimuan. Bukankah mereka juga dapat mendengarkan materi secara tidak langsung pada saat mereka bermain.
Desain Kurikulum
Agaknya terlalu jauh jika saya mengusulkan agar desain kurikulum pengajian ibu-ibu muda ini lebih mengarah pada kebutuhan dasar mereka dalam berrumah tangga, mendidik anak dan bermasyarkat. Tetapi apa salahnya jika usulan ini berangkat dari angan-angan yang mungkin saja pada situasi dan kondisi sosial tertentu dibutuhkan oleh mereka yang memiliki samangat yang sama dalam membangun kualitas masyarakat yang lebih baik.
Senada dengan program pemerintah melalui kementerian agama, bahwa penyuluh keagamaan merupakan lulusan sekolah menengan atas dan perguruan tinggi. Selain itu masih ada juga mereka yang sudah lama membina masyarakat dengan pengetahuan agamanya, umumnya mereka adalah ustadz-ustadz kampung lulusan pendidikan madrasah dan pesantren. Di sini terjadi kolaborasi antara angkatan senior yang sudah banyak pengalaman dalam ilmu keagamaan dan memahami masyarakat, dengan kaum muda yang memiliki semangat dan idealisme dalam melakukan pemberdayaan dan mengembangkan pendidikan di masyarakat. Perpaudan ini menjadi penting dalam menyusun desain pendidikan keagamaan di masyarakat.
Desian pendididkan atau kurikulum pengajian ibu-ibu yang sasarannya lebih diprioritaskan kepada ibu-ibu muda ini, harus memiliki capaian yang dapat diukur dan memungkinkan untuk dilakukan dalam situasi dan kondisi masyarakat setempat, terlebih saat covid-19 ini ada. Capaian pembinaan keagamaan menurut hemat saya minimal memiliki tiga sasaran, pertama adalah penanaman pendidikan keluarga. Dalam hal ini pendidikan diarahkan pada bagaimana membangun hubungan yang harmonis antara sumi dan istri, bagaimana kewajiban keduanya di dalam keluarga, apa saja hak-hak yang didapatkan keduanya dan berbagai cara dalam mengatasi problematika ketika terjadi ketidakharmonisan dan permasalahan di antara mereka.
Capaian yang kedua adalah pendidikan bagi anak-anak mereka. Seorang ibu-ibu muda yang telah dan akan berkeluarga dan selanjutnya memiliki anak, perlu disadarkan bahwa anak-anak mereka merupakan titipan Tuhan yang wajib dijaga dan dipenuhi hak-haknya, hak pengayoman, hak perkembangan, hak kenyamanan, hak pendidikan serta hak untuk diarahkan kualitas ruhaninya agar selalu terjaga hubungan dengan Tuhan yang telah menciptakannya, serta hak untuk diarahkan mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengan kriteria agama.
Capaian yang ketiga adalah pendidikan dalam bermasyarakat. Dalam hal ini, ibu-ibu muda peserta pengajian harus memiliki kesdaran bahwa mereka adalah makhluk sosial yang tidak bisa dilepaskan dari orang lain. Baik dengan saudara, tetangga maupun masyarakat yang lebih luas. Sehingga pendidikan bermasyarakat menjadi penting untuk disampaikan kepada mereka. Kontribusi mereka dalam menciptakan masyarakat yang baik sangat dibutuhkan, terutama dengan aktif menjadi penggerak kegiatan masyarakat yang bermanfaat. Selain itu, bermasyarakat pada hakikatnya merupakan anjuran agama yang jika terbangun dengan kualitas ketakwaan akan menjadikan keberkahan bagi masyarakatnya. Dan Al-Qur’an banyak menerangkan hal itu.
Ikhtitam
Inilah barangkali inspirasi yang dapat saya temukan di sela-sela aktivitas saya sebagai pengamat dan pelaku dari kegiatan pengajian ibu-ibu ini. Dengan apa yang saya sampaikan di atas, mudah-mudahan dapat berkontribusi pada perbaikan model pengajian ibu-ibu di mushola, masjid, kampung dan kota di daerah kita masing-masing. Sehingga kegiatan tersebut terlihat lebih semarak dengan kehadiran ibu-ibu muda dan anak-anak mereka, serta mampu menjadi syiar agama serta memberikan banyak dampak positif, bagi diri, keluarga dan masyarakat secara umum.
Wallahu a’lam bi shawab