2,191 views

Menguji Gagasan Karl Marx di Masa Pendemi Covid-19

A Zahid*

Jika kita lihat sekelumit mengenai gagasan Marx tentang agama, sepertinya kita harus menguji kembali tuduhan “Marx adalah anti agama”. Sangat jelas Marx adalah seorang teolog yang berlandaskan pada filosofi materialism sehingga membaca agama dalam wujud yang real pada masayarakat. -A. Zahid-

Tulisan ini bukan analisis dari pendekatan teoritik, tulisan ini hanya refleksi penulis sebagai manusia “religious” yang memiliki agama. Jadi, jika ada yang menyimpang dalam gagasan ini, penulis harap kita harus berangkat dari kesadaran bahwa manusia memiliki cara berfikir yang lahir dari pengetahuannya sendiri, melalui proses pencarian panjang, baik membaca, mendengarkan atau berguru pada orang lain. Tulisan ini juga bukan tulisan yang serius untuk dibaca apa lagi dipahami, tulisan ini hanya sepenggal pengetahuan dari penulis untuk menyikapi keberagamaan di masa pandemi Covid-19.

Saya mulai dari narasi besar Marx yang tidak asing “Die religion..its das Opium des Volkes” atau “agama sebagai candu masyarakat”. Pada mulanya risalah ini termaktub dalam Marx: A Contribution on the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843). Sepenggal narasi yang cukup pendek, yang dari kelahirannya hingga detik ini menjadi perdebatan panjang bagi kaum anti Marxisme. Tak ayal, gagasan Marx semacam propaganda yang paling menggetarkan bagi rezim pemerintahan negara Timur Asia, seperti Indonesia.

Narasi besar Marx tentang agama dari bahasa asli tersebut bergeser menjadi “Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people”, inilah yang melahirkan gagasan Ricoeur dalam Hermeneutika of Suspicious. Menurut hermeneutika Ricoeur, perlu ada kecurigaan atas teks yang ditulis oleh Marx, terhadap realitas sosial yang nyata. Sehingga tidak hanya memahami teks Marx, tetapi kita harus melihat penulis dari teks teresebut (Si Marx) sendiri, sehingga dugaan atas Marx adalah seorang yang anti-agama kita bisa pertanggung-jawabkan.

Secara historis, jika melacak tulisan Marx kita akan banyak menemukan tulisan tentang, ekonomi, filsafat, politik dan agama. Walau secara personal Marx tidak memiliki komitmen atas satu agama manapun. Lahirnya gagasan Marx mengenai agama berawal dari Bruno Bauer dan Ludwig Andreas von Feuerbach. Satu cela yang ditemukan Marx adalah terjadi penyimpangan atas fungsi agama yang dilakukan oleh elite gereja dengan penguasa politik Eropa di abad-19, dengan cara memobilisasi masyarakat untuk memenuhi hasrat politiknya. Padahal agama harus dijelaskan pada kondisi sosial dan ekonomi, bukan hanya berkutat pada lingkaran teologis dan komersialisasi atas dasar reward and punishment macam surga-neraka, benar-salah. Agama harus dijelaskan lebih dari pada itu.

Jika kita lihat sekelumit mengenai gagasan Marx tentang agama, sepertinya kita harus menguji kembali tuduhan “Marx adalah anti agama”. Sangat jelas Marx adalah seorang teolog yang berlandaskan pada filosofi materialism sehingga membaca agama dalam wujud yang real pada masayarakat, “Man is the would of man-state, society. This state and this society produce religion, which is an inverted consciousness of the word, because the are an inverted world”. Sehingga agama dan konsep teologi satu gagasan sadar manusia bahwa dalam beragama memiliki superstruktur ideologis masyararat, sehingga agama adalah produk dari realitas material.

Tetapi, satu gagasan Marx yang selalu terlewatkan pada diskurus agama, bahwa Marx menghargai eksistensi agama dalam kehidupan manusia sebagai sesuatu yang sah dan wajar, It (religion) is the fantastic realization of the human essence since the human essence has not acquired any true reality. Meski dia juga menyebut bahwa kekuatan agama mampu membentuk ilusi akan hadirnya “kebahagiaan” “kedamaian” “kepasrahan” pada manusia, sehingga dengan agama, segala masalah mampu dijelaskan. Inilah yang dikritik Marx dengan menghadirkan ilusi, bahwa masyarakat tidak mampu bertahan hidup dengan usaha yang keras. Seakan-akan manusia adalah jiwa yang lemah yang tak mampu berusaha sendiri. Dengan agama masyarakat akan terperangkap pada lingkaran stratifikasi sosial dan alienasi yang nyata.

Masyarakat Marxisme di Tengah Covid-19

Semenjak pemerintah menganjurkan untuk beribadah di rumah masing-masing, demi keselamatan bersama dan mencegah penularan Covid-19, mengalami sedikit polemik di akar rumput. Dari penolakan hingga anggapan bahwa ini adalah solusi yang efektif untuk memangkas jejaring penularan covid-19. Kebijakan ini kebetulan berada di posisi bulan puasa bagi ummat muslim, sebagai tradisi yang kuat. Bulan ini adalah bulan yang penuh dengan hikmah dan ampunan, serta nantinya dipenghujung bulan puasa, ummat muslim merayakan kemenangan (Idul Fitri).

Masyarakat Indonesia pada umumnya-baik yang merayakan idul fitri ataupun tidak- semua merasakan euphoria dari momen ini, sebagai tradisi lama. Belanja untuk perlengkapan  berupa, makanan, kue sampai baju adalah momen yang tidak bisa dilewatkan. Hingga pada akhirnya, mall, pasar dan pusat perbelanjaan dibuka kembali. Realitas ini berbeda dengan, mushola, masjid yang sepi dari pengunjung. Hal ini bukan karena tidak ada peminat, Tetapi akibat adanya “himbauan” dan “larangan” dari pemerintah untuk tidak beribadah secara beramai-ramai.

Hal ini menarik penulis untuk melihat persoalan di atas secara binal. Satu contoh, jika ada gambar palu, arit dan warna merah, semua bayangan atas ideologi “Komunisme” muncul. Tidak hanya penghakiman secara umum, tetapi tradisi jalanan seperti, memukul, memaki, bahkan melakukan penghakiman secara masal adalah solusi yang “dianggap” baik, karena “komunisme” adalah musuh bersama dan kebangkitannnya juga nyata. Walau narasi ini tidak bisa dibuktikan, anehnya masih banyak yang percaya.

Argumentasi Marx atas agama pada dasarnya sebagai kritik atas ketidakberdayaan manusia untuk merayakan kebebasan gerak secara normal, yang memiliki pikiran serta kritik atas kapitalisme, tak berarti di masyarakat kita, pandemi ini menggiring realitas keagamaan kita pada praktik “ketakutan” yang berlebihan dalam menjalankan ritual keagamaan, tetapi pada saat yang sama begitu berani dalam praktik konsumtif berlebih. Hal tersebut seolah membenarkan apa yang dikatakan Marx bahwa “persoalan mendasar manusia adalah persoalan perut (ekonomi)”.

Menjadi sangat jelas jika masyarakat kita cenderung beragama sebagaimana kritik Marx dalam beberapa sisi, di mana agama mejadi sumber sandaran saat semua tak mendapat jalan keluar. Pada saat yang sama pemerintah melonggarkan aktivitas perekonomian, dengan dalih- melanjutkan kehidupan manusia. Pada titik ini, mungkin masyarakat dan elite kita telah melampaui ajaran Marx, (argument ini bisa salah).

Covid-19 tidak hanya melumpuhkan cara berfikir keagamaan kita, tetapi memberi regulasi baru pada masyarakat kita bagaimana cara menerapkan ajaran pada aliran keagamaan, seperti, jika dalam tradisi NU “bersalaman” setelah berjama’ah dengan adanya covid-19 untuk sementara waktu dihindari. Bukannya ini adalah tradisi lama yang diterapkan oleh aliran lain?. Kejadian serupa juga terjadi dalam menyikapi covid-19 dengan cara membersihkan tempat beribadah setelah sholat, bukannya ini juga adalah tradisi lama yang diterapkan oleh kelompok lain?, dan problem tentang niqob (istilah syar’i untuk cadar yaitu sejenis kain yang digunakan untuk menutupi bagian wajah) atau “cadar” sebagai simbol dari aliran tertentu, kini terjadi bias pemaknaan. Tidak hanya masyarakat yang berada di dalam aliran tertentu, bahkan pakaian yang sedikit terbuka juga memasang masker (sesuatu yang mirip niqob), dengan alasan keselamatan.

Realitas ini membuktikan bahwa Covid-19 tidak hanya memberi ketakutan karena imbasnya adalah kematian, tetapi memberi ruang konsesus bagi elite agama untuk saling memahami antar aliran keberagamaan. Tesis Marx tentang agama mengajarkan untuk menerima keadaan apapun yang telah digariskan oleh Tuhan, mejadi salah pada masa pandemi ini. Agama memberi ruang pemersatu-bagi yang sadar- antara aliran keagamaan untuk saling memahami satu sama lain, tanpa adanya proses ideologisasi. Agama tidak lagi sebagai opium kepasrahan atas tindakan real-persoalan ekonomi- tetapi dengan beragama justru manusia sadar jika persoalan materi “lebih” penting dari pada ritual keagamaan, terbukti meraknya pemburu diskon yang terjadi beberapa akhir Ramadhan.

Memahami Marx tanpa adanya proses pembacaan dan praktik real Marxisme, sebenarnya telah dijalankan oleh masyarakat kita tanpa kita sadari, kesadaran religius untuk menjalankan ibadah di rumah sebagai desain “baiti jannati” yang di dalam konsep keagamaan diimpikan dan diidam-idamkan oleh semua manusia, hal ini menjadi satu kepercayaan penuh tentang ilusi yang dihadirkan agama untuk tidak produktif secara sosial, sehingga bisa saja akan melahirkan eksklusifisme keberagamaan antar keluarga.

Konsep ini dijadikan dalih sebagai cara social distancing dan beribadah di rumah, sepertinya tidak fair karena desain lama digunakan untuk realitas baru, seperti kondisi saat ini. Jika benar konsep baiti jannati sebagai ruang kehangatan untuk memupuk surga di rumah, bagaimana korelasi dengan covid-19 sebagai soslusi jika kita hanya memikirkan surga secara kolektif. Konstruk pemikiran seperti ini adalah bunga dari masyarakat religious seakan-akan dengan menghadirkan surga dan neraka dengan cara “di rumah saja” mampu membuat masyarakat kita kapok untuk tidak keluar, padahal kenyataannya tidak demikian.

Masyarakat kita memiki intensitas “Ke-ngeyelan” yang bisa dibilang cukup akut, walau di beberapa daerah menerapkan lockdown secara mandiri untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19, pada akhirnya menimbulkan problem baru, seperti kelumpuhan perekonomian, dan dampak yang dihasilkan adalah anomaly sosial seperti maraknya penjambretan, maling lantaran ketidaktersediaan bahan pangan dan pekerjaan yang harus ditutup secara tiba-tiba. Pada hakikatnya inilah problem ideologi antara kebijakan pemerintah dan kondisi masyarakat kita yang perlu ada titik singgung yang jelas.

Sebuah Candu atau Sikap Religius

Sikap di atas terbalik dan menciptakan ironi. Saat ada kebijakan untuk tidak melaksanakan ibadah secara massal karena dampaknya dapat tertular Covid-19, banyak yang menyepelekannya. Imbas dari pengabaian tersebut adalah munculnya korban-korban baru seperti yang diungkap oleh beberapa media. Berita-berita seperti “28 Warga Tambora Jadi ODP Gegara Imam Musollah Positif Covid-19 Nekat Pimpin Tarawih” (detiknews), “Satu Jama’ah Positif Corona, Masjid Di Joyokarta Solo Nekat Sholat Tarawih” (suarajawatengah.id), “Tertular Jemaah Sholat Tarawih, Balita di Solo Positif Corona, 90 KK Langsung Karantina Mandiri” (tribunNews), menjadi head line. Pada kejadian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa antara religiusitas dan candu akan agama tidak bisa dibedakan.

Sensasi religiusitas yang berlebihan berdampak kepada tercederainya kemaslahatan umum, sebagaimana fenomena di atas. Mestinya,jika masyarakat memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, akan memahami apa yang dijelaskan dalam Surah An-Nisa’ ayat 59:

ا أَیها الَّذِینَ آمَنُوا أَطیعُوا اللّهَ وَأَطیعُوا الرَّسُول وَأُولی الأمرِ مِنْکُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فی شَیء فَرُدُّوهُ إِلی اللّهِ وَالرَّسُول إِنْ کُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْیومِ الآخر ذلِکَ خَیرٌ وَأَحْسَنُ تَأْویلاً

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Sangat jelas bagaimana anjuran Islam untuk mematuhi pemimpin pada ayat di atas adalah kemutlakan. Namun, mengapa masih ada masyarakat yang memiliki sikap “ngeyel” dalam persoalan keselamatan bersama. Inilah yang menjadi pertanyaan bagi penulis. Pada masyarakat yang religious terkadang terperangkap pada sensasi beragama yang berlebihan sehingga imbasnya adalah candu yang tidak bijak untuk memikirkan keselamatan dirinya, dan kemaslahatan umum. Jika candu dalam konsep Marx sebagai suatu yang memabukkan, sensasi kepasrahan pada agama tak lain sebagai pelarian manusia atas ketaksanggupan memahami kehidupan.

Tetapi, hal ini terbalik di tengah masyarakat kita saat ini, justru dengan realitas keberagamaan yang berlebih, masyarakat malah menjatuhkan dirinya pada sikap ketidak hati-hatian dalam bertindak, sehingga tidak hanya menyusahkan masyarakat secara umum tetapi juga menyiksa dirinya sendiri.

Sikap tidak patuh ini bisa jadi sebagai tesis baru untuk menyangkal gagasan Marx tentang agama. Di mana gerakan agama justru membuat manusia menjadi lebih revolusioner untuk menentang pemerintah, dengan tidak mematuhi aturan yang ditetapkan.

Gejala yang terjadi di atas sebenarnya tidak murni lantaran agama, tetapi proses terjadinya masyarakat beragama dalam interaksi di bidang sosial ekonomi. Inilah dasar mengapa masyarakat menjadikan agama sebagai tempat berkeluh kesah dalam menghadapi problem kehidupan. Kondisi semcam ini tidak lain akibat dari proses kapitalisasi yang terjadi dalam berbagai sektor. Jika berkaca pada kondisi saat ini, kapitalisasi bisa dilihat dari mulai masyarakat di akar rumput sampai elite politik. Salah satunya mungkin kita bisa lihat dari ramainya pemberitaan di media, seperti kelangkaan masker, hand sanitizer, diterbitkannya UU baru yang lebih pro pada kelompok elit tertentu yang berlindung di balik kebijakan penanganan covid-19. Yang lebih ironis dari praktik kapitalisasi tersebut adalah ditutupnya sarana beribadah dan dibukanya pusat-pusat perbelanjaan.

Menukil dari pernyataan Marx, agama hanyalah sigh dari sebuah keterasingan manusia dalam beragama. Jadi, yang menjadi inti dari persoalan manusia adalah ketidakbahagiaannyadalam kondisi ekonomi, agama hanya menjadi tameng saja, saat manusia merasa terasing. Oleh karena itu tidak cukup melenyapkan agama agar manusia terbebas dari jerat ilusi keagamaan, melainkan dengan menentang kapitalisasi baru yang terselip dalam situasi pandemi saat ini.

Secara tekstual posisi agama dalam pemikiran Marx berkonotasi “negatif” -hal yang menjadikannya kontradiktif. Namun pada kenyataanya jika dianalisis lebih dalam, bukan agamanya yang memiliki sisi negatif, tetapi agen di dalam agamalah yang membuat agama menjadi “negatif”. Ada dua alasan dalam pandangan Marx mengapa ia berpendapat demikian.

Pertama; transendensi nilai agama dalam praktiknya tidak mudah dipahami oleh masyarakat beragama, hal ini menjadikan manusia meninggalkan sisi humanisme dari agama. Sehingga sangat kontradiktif dengan tujuan awal agama sebagai salah satu jalan utama menciptakan kesejahteraan hidup. Manusia yang hanya memproyeksikan diri pada realitas empiris, tidak akan mampu menjangkau esensi yang sebenarnya dari agama.

Kedua; agama sebagai hasil reaktifit manusia yang harus dikembalikan pada pondasi awalnya, karena kondisi agama yang terpapar penyakit kronis akibat praktik keagamaan yang keliru. Bukannya menginspirasi pada perbaikan, agama menjadi bentuk ideologisasi baru yang merubah cara pandang manusia bebas menjadi manusia yang lemah. Dua alasan inilah yang digunakan Marx tentang agama sebagai kritik atas kebudayaan masyarakat Eropa.

Tetapi, pada posisi pandemi saat ini, masyarakat beragama cenderung memodifikasi realitas keagamaan sebagai bentuk “candu”. Yakni, dengan bentuk kepasrahaan. Tidak jarang masyarakat menghubungkan fenomena covid-19 dengan banyaknya angka kematian sebagai takdir yang diterima dengan pasrah. Pada sisi yang lain, masyarakat menggunakan agama secara berlebihan (penulis menyebutnya, sensasi religiusitas), dengan berusaha menjawab pandemi ini melalui pendekatan secara teologis, padahal pandemi covid-19 adalah gejala empiris yang harus dihadapi secara medis. Bukankah ini candu?!.


A. Zahid, adalah aktivis Lingkar Sosiologi Agama IAIN Kediri
(Visited 2 times, 1 visits today)