Bulan puasa bagi sebagian umat Islam merupakan bulan yang ditunggu. Selain karena memiliki banyak keutamaan, di dalam bulan puasa terdapat momentum yang mengarahkan orang untuk berkumpul.
Sebagai homo socius, manusia adalah makhluk yang senang untuk berkerumun. Momentum berkumpul saat bulan puasa di antaranya adalah makan sahur dan buka puasa bersama keluarga. Momentum yang hampir jarang –jika tidak ingin disebut tidak pernah- dilakukan di bulan yang lain.
Masjid-masjid juga mengadakan buka puasa bersama sebagai bentuk panggilan, memberi makan bagi orang berpuasa, yang pahalanya sebanding dengan orang yang puasa tersebut (hadis).
Salat tarawih dan tradisi menyalakan petasan bersama teman-teman menjadi momen keriuhan bersama yang hampir dilakukan di setiap bulan Ramadan.
Namun, kini hiruk-pikuk tahunan yang selalu ditunggu-tunggu itu sulit didapatkan; pemerintah mengimbau ada pembatasan sosial dan anjuran menjaga jarak sosial, akibat wabah Covid-19 yang tengah melanda. Semua momentum hanya bisa dikenang.
Bahkan, harapan untuk beriuh ramai saat merayakan hari kemenangan, Idulfitri, masih patut dipertanyakan, lantaran pandemi belum dapat diketahui sampai kapan akhirnya.
Semua manusia mengarantinakan diri; menjaga diri dari persebaran virus atau mengisolasi dan mengobati sendiri bagi yang merasa terjangkiti.
Kekarutan ini tidak hanya dialami oleh umat Islam. Umat agama lain pun merasakan dampak yang sama. Mereka melalui hari besar tanpa perayaan. Imlek, Paskah dan Waisak dirayakan di rumah masing-masing, ritual utama di rumah ibadah hanya bisa disaksikan melalui media online. Kini, Ramadan dan Idulfitri berada dalam bayangan yang sama.
Pupuskah Harapan Umat Beragama?
Mungkin sebagian kita merasa kecewa. Bagaimanapun, kaum beragama memiliki tingkat keyakinan yang berbeda terhadap tuhan sebagai pencipta realitas, termasuk wabah ini. Namun, agama lahir sebagai harapan dari ketidak mampuan manusia menghadapi realitas. Terutama kematian.
Menurut Martin Heidegger, Filosof Jerman, kematian adalah realitas yang paling absolut. Meski begitu, manusia banyak yang mengabaikannya.
Semua manusia meyakini akan datangnya kematian, meski mereka tidak dapat memprediksi waktunya. Barangkali, inilah paradoks kehidupan, dimana saat manusia menghadapi realitas kematian.
Sebagaimana mati, manusia dihadapkan pada berbagai absurditas hidup. Masa depan bagi mereka adalah bayangan semu yang tak pasti bentuknya.
Seorang teman satu kelas saat SMA, wajahnya biasa, orangnya culun dan dari keluarga sederhana, kini ia menjadi seorang dokter dengan berbagai kemewahan yang dimiliki, seperti istri yang cantik, rumah yang besar, dan mobil yang berjejer di garasi.
Ada pula teman yang selama sekolah hingga kuliah selalu mendapatkan predikat terbaik, setelah lulus kesulitan mencari kerja. Keluar masuk, sebagai karyawan buruh di perusahaan, hingga kini menjadi sales, dan mengeluh tiap bulan kerena dikejar setoran.
Itulah paradoks kehidupan.
Dalam realitas yang paradoks tersebut, mestinya manusia terbiasa. Kaum beragama harus terbiasa menggantungkan masa depannya pada Sang Pemilik realitas.
Sebagaimana mati, segala bencana seperti banjir, gempa, bahkan wabah sekalipun tak menyurutkan semangat hidupnya karena selalu menggantungkan asa pada Dia, Yang Menciptakan.
Belajar dari kematian, menurut Heidegger, kematian dibagi dalam dua jenis, yang dalam bahasa Jerman disebut up leben dan sterben. Pertama (up leben) berarti manusia mati karena sudah ajalnya, seperti matinya binatang, rusaknya televisi, handphone, dll.
Kedua (sterben) juga dimaknai sebagai mati. Namun, berbeda dengan yang kematian tipe pertama, mati di sini adalah kematian yang dipersiapkan. Kematian yang dijemput oleh seseorang dengan melakukan aktivitas yang bermanfaat selama hidupnya.
Mati bagi manusia tipe kedua ini adalah sesuatu yang selalu diingat, sehingga ia menjadi manusia yang penuh dengan optimisme, mempersiapkan diri dengan melakukan kebaikan-kebaikan.
Pada titik ini, eksistensi orang beragama menjadi nyata. Ia tidak merasa takut dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang tak terpredisksi dalam hidupnya.
Sebagai konsekuensinya, manusia sterben mampu “mengalami Tuhan”. Baginya, bertuhan tidak hanya dibutuhkan saat-saat tertentu seperti dalam ritual formal; segala kekhawatiran dan kebahagiaan hanyalah “keadaan” dari-Nya.
Maka, menjadi manusia beragama di tengah wabah dan pandemi, bukanlah perkara yang mengganggu eksistensinya, tetapi semakin mengukuhkan keyakinannya bahwa hakikat hidup hanyalah mengabdi pada yang Ada, dan ia bertanggungjawab atas itu.
Sehingga, bagaimanapun kondisinya saat bulan puasa, dalam riuh maupun saat sepi, dalam keadaan normal maupun saat pandemi, semuanya sama. Orang beragama tidak akan kehabisan asa meski wabah menyerang di bulan puasa karena janji Tuhan bagi yang berpuasa: kebahagiaan saat berbuka dan saat bertemu dengan-Nya. [MFR]
*Dr. Khaerul Umam adalah Sekretaris Prodi Sosiologi Agama dan juga dosen pada Prodi SAA IAIN Kediri
tulisan ini tayang juga di http://saa.iainkediri.ac.id/merawat-asa-dan-puasa-ala-heidegger/