“Bagi Hume eksistensi Tuhan tidak pernah ada ataupun hadir dalam alam ini, karena Tuhan tidak bisa diverifikasi dengan indra ataupun instrumen apapun...”
*Mubaidi Sulaeman
PARA PEMBUNUH TUHAN GENERASI PERTAMA: DAVID HUME (1)
Ada sebuah anekdot yang berkembang di kalangan mahasiswa Ushuludin PTKI pada umumnya, khususnya prodi perbandingan agama- sekarang dikenal dengan prodi Studi Agama-agama biar terkesan marketable-. Bahwa orang-orang Eropa –khususnya Katholik dan Kristen- justru menjadi maju dan berkembang ketika mereka meninggalkan ajaran agama mereka, dan umat Muslim mengalami kemunduran justru gara-gara meninggalkan ajaran agama Islam. Sampai ada kata-kata terkenal dari Bernard Shaw yang mengatakan “Islam is the best religion and Muslims are the worst followers”.
Saya di sini bukan hendak membandingkan kedua agama tersebut, meskipun saya lulusan dari Prodi Perbandingan Agama- tetapi saya hendak memberikan pengantar kepada tulisan Kang Ulil Abshar Abdala –Lurah pondok ngaji online Ihya’ Ulumudin- yang membahas tentang “Outgrowing God” karya Ricards Dawkins sebagai bapak “New-Atheism”, di mana istilah tersebut bukan berasal dari golongan mereka sendiri tetapi berasal dari seorang jurnalis Amerika yang sedang mengenalkan kebangkitan gerakan atheism di Barat.
Mungkin memang ada lompatan pemikiran yang ditulis oleh Kang Ulil yang mengatakan bahwa tidak ada yang baru dari gerakan “new atheism” ini atau hanya bungkusnya saja yang berganti. Karena memang dictum yang diproklamirkan oleh gerakan “new atheism” ini seolah-olah hanya copy-paste dari pemikiran atheism lama. Melalui tulisan yang saya tulis pada tahun 2012 ini, saya hendak mengajak mengenal beberapa pemikiran ateism lama yang hendak dibangkitkan kembali. Tulisan ini merupakan makalah yang saya ikut sertakan dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah di Jurusan Ushuludin dan Ilmu Sosial (sekarang berubah menjadi Fakultas Ushuludin dan Dakwah) IAIN Kediri tahun 2012 dan memenangkan juara 1 pada perlombaan tersebut.
Salah satu penggagas atheism di kalangan anak muda Eropa pada zamannya yaitu David Hume (1711-1776). Ia adalah salah seorang yang paling terkemuka di kalangan filosuf-filosuf zaman Resanaisance. David Hume sering di sebut dengan “si muda gila” karena dia sudah memiliki pemikiran filsafat tingkat tinggi ketika umurnya belum menginjak 30 tahun dengan judul bukunya Inquiry Into Human Understanding dan Dialoques Concerning Natural Religion –khusus buku ini baru diterbitkan ketika David Hume sudah meninggal dunia pada tahun 1779.
Pemikiran Hume menolak dengan adanya Tuhan, karena keberadaan Tuhan tidak bisa diverifikasi dengan indra ataupun dengan instrument apapun, ini merupakan salah satu ciri khas atheism lama dan pengetahuan tentang Tuhan hanya melemahkan posisi sains dan perkembangannya, karena menurutnya hanya pengalaman atau pengamatan yang bisa diverifikasi adalah pengetahuan yang lebih menyakinkan dan memiliki kebenaran yang seutuhnya walaupun sebenarnya bagi Hume tidak ada pengetahuan yang benar-benar utuh kebenarannya. Dengan demikian, Hume menolak hukum logika universal ataupun kausalitas karena tidak dapat dibuktikan hubungan antara sebab dengan akibatnya. Hal ini sekaligus menolak argumen ontologis dan kosmologis tentang keberadaan Tuhan dengan membatasi kemampuan akal sebagai sumber pengetahuan manusia.
Filsafat Hume secara otomatis menentang filsafat para filosuf-filosuf sebelumnya yang percaya bahwa alam adalah akibat dari yang disebabkan oleh Tuhan. Menurut kaidah-kaidah logika universal keadaan “sebab” lebih wajib keberadaannya dibandingkan keberadaan “akibat” karena “sebab” lebih mendahului atas “akibat”. Karena hal tersebut Tuhan wajib keberadaaNya dibandingkan alam semesta yang “mungkin” keberadaannya karena alam merupakan “akibat” yang bersifat selalu tergantung dan membutuhkan sebab.
Menurut Hume ketika manusia percaya bahwa Tuhan adalah pengatur alam semesta ini maka manusia akan mengahadapi sebuah dilema. Manusia berpikir tentang Tuhan sesuai dengan pengalaman masing-masing yang mana sebenarnya alat verifikasi tentang pengalaman ketuhanan tersebut masih diragukan kevalidanya, sedangkan pengalaman-pengalaman tersebut sebenarnya adalah hanya tumpukan persepsi dan koleksi emosi saja. Menurut Hume emosi sebenarnya adalah imajinasi manusia yang tidak logis.
Hume berpendapat bagaimana seorang manusia bisa mengatakan bahwa Tuhan adalah maha kuasa, maha sempurna dan maha segalanya jika di alam dunia ini masih terjadi banyak kejahatan dan masih banyak terjadi banyak bencana. Menurut Hume harusnya dunia ini sempurna seperti yang menciptakan, tapi kenyataannya Tuhan adalah sumber kebaikan sekaligus kejahatan, Tuhan bisa mencintai namun juga bisa membenci.
Jika Tuhan itu maha sempurna harusnya Tuhan juga bisa diketahui secara sempurna pula dan alam pun harusnya bisa diketahui seluruhnya karena ada Tuhan yang maha segalanya yang membimbing manusia, namun kenyataannya manusia tidak pernah tahu tentang alam lain, mereka hanya tahu alam yang sedang mereka tempati saja dan pengetahuan manusia tentang alam inipun terbatas.
Bukan hanya hal tersebut Hume juga berpendapat bahwa tidak ada sesuatu apapun yang bisa membuktikan tentang keberadaan Tuhan dan atas penciptaan Tuhan terhadap alam ini karena alam ini hadir dengan sendirinya karena memang ia ingin hadir sendiri, inilah awal mula filsafat naturalisme David Hume. Menurut Hume tidak pernah ada bukti bahwa jiwa itu kekal dan tidak bisa mati, tetapi semuanya akan selesai ketika manusia telah mati. Kepercayaan terhadap Tuhan tersebut keliru bukan karena anomali–anomali ajaran monotheisme ataupun politeisme, namun merupakan khayalan manusia yang terlalu menghargai ketakutan tujuan hidupnya yang kurang jelas akhirnya. Hal itulah yang menjadikan manusia mengangkat suatu Tuhan untuk disembah serta berharap mendapat kebaikan dari yang manusia lakukan tersebut padahal semua itu tidak berguna bagi kehidupan mereka.
Dalam filsafatnya tentang ketuhanan Hume menolak tentang keberadaan mukjizat. Hume memberikan lima alasan mengapa ia menolak adanya mukjizat, yaitu
“Pertama, sepanjang sejarah mukjizat tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuwan dan kaum terpelajar. Kedua, sebagian manusia memang mempunyai kecenderungan untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa luar biasa, namun hal ini tak cukup untuk bukti akan adanya mukjizat. Ketiga, kajian peradaban membuktikan bahwa mukjizat hanya cocok terutama bagi masyarakat terbelakang, sedang bagi masyarakat yang maju akan menolaknya. Keempat, semua agama wahyu memonopoli kebenaran mukjizat. Kelima, data sejarah yang dapat di percaya menunjukan bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini jelas, seperti kita bisa mengetahui tanggal terbunuhnya Julius Caesar. Tetapi ketika dituntut tanggal terjadinya mukjizat, kita harus ragu sebab tidak ada tanggal dan waktu yang akurat tentang kejadian tersebut. Adapun kesaksian orang-orang tertentu, menurut Hume dimotivasi oleh berbagai hal dan kepentingan.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa agama semuanya bagi David Hume adalah takhayul dan tidak masuk akal hanya untuk membodohi umat manusia. Bagi Hume eksistensi Tuhan tidak pernah ada ataupun hadir dalam alam ini, karena Tuhan tidak bisa diverifikasi dengan indra ataupun instrumen apapun. Baik secara apriori maupun aposteriori alam ini adalah dimensi materi bukanlah terbuat dari dimensi spiritual. Filosuf dan para teolog bagi Hume hanyalah sebagai tukang obat dan penasehat spiritual tentang semua yang diinginkan oleh manusia yang haus akan kepercayaan kepada agama yang penuh dengan takhayul.
Bersambung …
(Lanjut Para Pembunuh Tuhan Bagian Kedua: Auguste Comte
*Mubaidi Sulaeman adalah Alumni IAIN Kediri Tahun 2013 dan Peneliti dalam Studi Islam