“Bagi Comte dunia yang sebenarnya adalah dunia fenomena yaitu yang dapat diindra, diukur, dianalisis, dan diverifikasi untuk dibuktikan kebenarannya secara empiris tentunya. Jika Tuhan yang tidak bisa diverifikasi, diindra, diukur, dan dianalisis, maka Tuhan itu tidak ada kebenarannya dan tidak berguna lagi bagi manusia...”
Mubaidi Sulaiman*
PARA PEMBUNUH TUHAN G犀利士 ENERASI PERTAMA: AUGUSTE COMTE (2)
Jika Hume mengatakan bahwa Tuhan dengan segala keberadaannya tidak dapat diverifikasi sehingga tidak dapat diterima keberadaanNya. Ada Auguste Comte (1798-1857) sebagai penerus pemikiran Hume perihal Ketuhanan merupakan sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat modern. Auguste Comte lebih dikenal sebagai “Bapak Sosiologi” dibanding menjadi seorang filosuf karena ketika ia mengeluarkan pikiran filsafatnya Comte bukan bermaksud menjadikannya sebuah pemikiran filsafat yang utuh, namun lebih kepada ingin menciptakan sebuah keilmuan yang baru yaitu fisika sosial atau belakangan lebih dikenal dengan sosiologi.
Comte mengajar di Ecole Polytechnique ia telah menulis sebuah karya yang membuatnya terkenal dengan judul Cour De Philosophie Positive yang diterbitkan pada tahun 1842 dan akhirnya ia meninggal pada tahun 1857.
Pemikiran Comte berawal dari tahun 1839 tentang fisika sosialnya yang menghasilkan pemikiran hukum tiga tingkatan. Walaupun Comte penerus pemikiran empirisme yang mementingkan investigasi pengalaman sebagai tolak ukur suatu kebenaran namun sesungguhnya Comte memiliki gagasan sintestik dalam filsafatnya, ia mencoba mengkolaborasikan antara kemampuan akal yang berfungsi menentukan hukum-hukum yang bersifat Universal Determinded (niscaya / pasti berlaku di seluruh penjuru dunia) dari data-data empirik yang didapatkan oleh pengalaman-pengalaman.
Filsafat positivistic Comte membatasi permasalahan yang ia kaji dengan menolak hal-hal yang bersifat metafisika dan hanya membahas persoalan-persoalan yang tampak dan dapat diukur. Dengan demikian objek pembahasan Comte adalah fenomena, dari fenomena-fenomena ini Comte menyusunnya dalam suatu hukum positivistic dengan melihat hubungan antara fenomena tersebut, maka Comte berpendapat bahwa seseorang akan dapat melihat masa depan untuk mengembangkan keilmuan yang ia sebut zaman positive. Zaman positive menurut Comte adalah zaman di mana manusia-manusia semua berpikir rasional dan tunduk pada hukum sehingga terjadi keteraturan yang ideal dan sejahtera.
Dari pemikiran Comte di atas terciptalah filsafatnya, yaitu hukum tiga tingkatan. Menurut Comte agama adalah gejala peradaban manusia primitive yang belum mampu berpikir rasional. Dalam teori hukum tiga tingkatan Comte yang bersifat evolusionis, ia membagi sejarah perkembangan pemikiran manusia menjadi tiga tahap.
Pertama, tahap teologis yaitu ketika manusia masih tepaku kepada tokoh agama, kekuatan adi kodrati, dan keteladanan kemanusiaan yang menjadi sebab pertama dan tujuan akhirnya. Pada periode ini Comte menyebutnya zaman penuh takhayul dan tidak rasional, klasifikasinya antara tahun 1300 mundur ke belakang sampai zaman pra sejarah. Kedua, tahap metafisik yaitu ketika manusia mengganti keyakinan mereka yang semula percaya kepada kekuatan-kekuatan adikodrati yang berupa dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak lewat proses generalisasi untuk menerangkan segala sesuatu kepada manusia. Klasifikasinya antara tahun 1300-1800.
Ketiga, tahap positif yaitu ketika manusia sudah bisa berpikir rasional dan sistematis sehingga tidak memerlukan pengenalan baik dari para dewa maupun kekuatan-kekuatan abstrak lagi. Pada zaman positif ini faktor intelektual manusia menjadi penting dan untuk mencapai itu manusia hanya mengakui kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang sesungguhnya.
Hukum tiga tingkatan positivistik Comte ini bukan hanya berlaku pada suatu bangsa atau suku saja, namun juga berlaku pada individu dan keilmuan. Menurut Comte individu pada masa kanak-kanak menjadi seorang teolog, beranjak remaja menjadi metafisikus, dan ketika dewasa individu menjadi positivis. Ilmu juga demikian pada awal perkembangannya ilmu bersifat teologis, kemudian diabstraksikan oleh metafisika, dan pada akhirnya tercerahkan oleh hukum-hukum positif.
Dari pemikiran Comte yang demikian maka dapat diambil sebuah benang merah tentang arah pemikirannya. Bagi Comte dunia yang sebenarnya adalah dunia fenomena, yaitu yang dapat diindra, diukur, dianalisis, dan diverifikasi untuk dibuktikan kebenarannya secara empiris tentunya. Jika Tuhan yang tidak bisa diverifikasi, diindra, diukur, dan dianalisis, maka Tuhan itu tidak ada kebenarannya dan tidak berguna lagi bagi manusia. Menurut hukum positivistik sesuatu dianggap benar bila suatu pernyataan sesuai dengan fakta empiris yang ada. Kebenaran inilah yang disebut dengan kebenaran korespondensi, contohnya jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia, pernyataan ini dianggap benar karena faktanya memang jakarta ibu kota Negara Indonesia bukannya Denpasar ataupun Bangkok.
Dari pernyataan Comte di atas dapat diambil kesimpulan bahwa berbicara tentang persoalan-persoalan metafisika ataupun tentang agama tidak memberi manfaat apapun bagi manusia karena semua yang tidak diketahui oleh manusia hanyalah sebuah realitas atau entitas yang abstrak dan tidak dapat dibuktikan, diukur, dan dikatakan benar keberadaannya secara ilmiah. Apalagi berbicara moral, bagi Comte moral bersifat relative karena moral yang baik maupun yang buruk benar-benar tidak dapat diuji ataupun diukur kebenarannya, jadi semuanya tentang moral absurd ( tidak masuk akal) karena moral hanyalah bersifat emosional tergantung perasaan manusia itu sendiri.
(
Bersambung…
(Lanjut Para Pembunuh Tuhan Bagian Ketiga: Ludwig Feuerbach)
*Mubaidi Sulaiman adalah Alumni IAIN Kediri Tahun 2013 dan Peneliti dalam Studi Islam
(sumber gambar: wikipedia)