1,497 views

Mewaspadai (Virus) Kapitalisme

Hafid Syahrul*

Apa yang yang dilakukan oleh sistem kapitalisme, serupa dengan virus yang tidak bisa hidup kecuali menemukan inangnya. Melalui kebudayaan yang disulap oleh kapitalisme, manusia modern menjadi agen-agen “lapar” yang tak pernah menemukan muara akhir untuk menghilangkannya. Semakin menalan semakin merasa lapar. –Hafid Syahrul–

2020 akan menjadi tahun yang tidak akan terlupakan dalam sejarah. Pasalnya, banyak pekerja dan buruh yang diberhentikan dari aktifitas yang selama ini mereka andalkan untuk menyambung hidup. Selain itu, tahun ini juga menjadi tahun yang penting bagi para pemilik modal, mereka mungkin menjadi sadar bahwa hidup yang sebenarnya bukan perkara mencari untung semata. Semua menjadi berubah sejak Covid 19 mewabah, yang hampir melenyapkan peradaban manusia.

Peristiwa wabah yang menggegerkan dunia sebenarnya bukan kali ini saja. Hal yang hampir sama pernah terjadi di masa lalu, yakni sekitar tujuh abad silam ketika munculnya wabah bubonik yang menewaskan kurang lebih 200 juta orang. Wabah yang terkenal dengan sebutan Black Death. Selain itu juga di era modern pernah terjadi, yakni munculnya flu di Spanyol pada dekade kedua abad ke-20 yang menewaskan kurang lebih 50 juta jiwa.

Seperti yang kita ketahui, virus memiliki sifat yang unik. Ia dikenal sebagai mikro-organisme terkecil yang mampu hidup dan berkembang pada organisme lainnya. Berbagai bentuk wujud dari makhluk yang tak kasat mata ini, namun sangat pasti bahwa ia hadir untuk memproduksi lebih banyak untuk diri sendiri dan menyebar sangat cepat. Kita hanya bisa melihatnya melalui mikroskop. Sebuah virus dapat menyebar secara cepat lewat darah, air liur saat bersin atau menempel pada benda-benda.

Apabila seseorang terkena virus, dia akan merasakan suatu gejala umum yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Salah satu gejala orang yang terjangkit virus seperti sakit kepala, deman tinggi, hingga tenggorokan sakit, sampai flu dan pilek. Jika hal ini terjadi maka sistem imun akan melakukan tindakan untuk mencegahnya. Jika kuat, virus tidak akan berkembang, namun jika sistem imun seseorang sedang lemah, maka virus dapat berkembang biak.

Melalui ilmu pengetahuan, manusia telah menciptakan berbagai macam obat dan vaksin untuk mengobati dan mencegah perkembangbiakan virus dengan berbagai macam varian mutasinya. Meski virus hanya bisa disembuhkan dengan sistem imun yang kuat, upaya manusia untuk menangani virus terus dilakukan. Hingga dunia dihadapkan pada virus yang cukup ganas ini, corona, dikenal dengan nama covid-19. Sejak kemunculannya hingga saat ini belum diketemukan vaksin yang dapat mencegahnya.

Penemuan vaksin sejak abad ke-18 hingga saat ini membuat manusia kebal sementara terhadap virus yang mengancam hidup mereka. Sejauh ini para ilmuwan telah menemukan beberapa vaksin antara lain untuk difteri, antrax, rabies dan lain sebagainya. Namun bagi covid-19, virus yang bermutasi dengan cepat dan berkembang dengan cepat pula, bayangan untuk menemukan vaksinnya, masih jauh dari harapan. Melihat fenomena tersebut, muncul pertanyaan di benak kita, apakah kita mampu menyelamatkan diri dari kematian?

Terkait perkembangan virus dan vaksin yang sedang diteliti, baiknya kita percaya pada para ahli di bidangnya serta para dokter yang berkerja secara serius sedang menangani.

Virus Kapitalisme

Satu hal yang cukup menarik ketika kita mengambil pelajaran dari adanya virus ini. Yaitu dengan mengenal sifat dan cara berkerjanya, sebagaimana yang telah disebut di atas. Melihat keunikan cara virus bekarja, mengingatkan kita pada sesuatu tatanan yang selama ini berlangsung dalam kehidupan sehari hari,  meski tak terlihat wujudnya namun tatanan tersebut kita alami dalam keseharian. Sesuatu yang membebani yang semakin hari semakin terasa memberatkan. Tatanan ini berupa sistem ekonomi yang sedang berlangsung dan menjadi pandemik, karena menyebar hampir ke seluruh penduduk di bumi ini, dan kita tak sanggup keluar dari jeratannya. Dialah kapitalisme.

Ada dua sifat kapitalisme yang menurut hemat penulis serupa dengan covid-19 sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Pertama, seperti halnya virus, kapitalisme dapat kita kenali dari gejalanya saja namun bentuk dan wajahnya tak terlihat. Sebagai contoh, benda seperti handphone atau smartphone yang kita gunakan dan menjadi “belahan jiwa”, diciptakan dari perusahaan besar yang memiliki aset banyak. Sebuah handphone tersusun dari plastik, kaca, aluminuium dan bahan lainnya. Mengambil bahan-bahan dari alam, yang seringkali karena didesak mengeruk keuntungan yang besar, mereka mengeksploitasi alam.

Dari sisi pembuatan, sebuah produk handphone dan barang perusahaan lain dikerjakan oleh para buruh pabrik. Dengan sistem pembagian kerja yang tidak sepadan dengan apa yang diterima sebagai upah, para pekerja berada pada sisi yang sangat dilematis. Handphone merupakan produk yang akan dijadikan simbol prestise tertentu sehingga menarik minat orang-orang untuk membelinya. Maka ia menjadi sebuah barang komoditas yang ketika hadir atau saat peluncurannya selalu ditunggu karena menjanjikan kebaharuan. Inilah mengapa Karl Marx mengkritik kapitalisme sebagai sistem yang hanya bekerja lewat hukum pasar, di mana pemerintah tidak sanggup mengendalikan sistem perekonomian yang sarat dengan ketidakadilan ini. Manusia terhipnotis, buruh pabrik miris tapi pemilik modal sibuk mengais. Semuanya hanya bisa dirasakan melalui bentuk ketidakadilan, namun sulit diamati secara terang oleh sebagian besar mereka yang terlibat dan dirugikan.

Kapitalisme menjadikan para pekerja pabrik seperti robot yang harus siap bekerja kapanpun, bahkan di akhir bulan yang semestinya dapat dihabiskan bercengkerama, rekreasi dengan keluarga tidak dapat dicapai, karena terrenggut oleh sistem yang hanya mengejar keuntungan semata tanpa memeprhatikan sisi kemanusiaan pekerja.

Kedua, bahwa kapitalisme layaknya covid 19 yang berkembang sangat pesat. Melalui perkembangan teknologi, komoditas barang ataupun jasa menjadi cepat tersebar dan dikampanyekan dengan sangat masif dan efektif. Kita menjadi saksi kebangkitan berbagai macam aplikasi digital yang dapat diakses melalui gawai cerdas kita, seperti e-commerce dan industri pariwisata. Mereka menjajakan melalui persebaran tampilan berupa foto, ajakan serta iming-iming keuntungan melalui beberapa aplikasi popular macam Instagram, Facebook, Twitter dan sarana lainnya yang tersebar dalam jaringan internet.

Kiriman dari sahabat-sahabat kita yang traveling menggunakan kamera handphone dengan alat pelengkap berupa tongsis (tongkat eksis) yang dibeli di toko online, menjadi satu model bagaimana sistem ini bekerja dalam aktivitas keseharian. Bahkan dalam kondisi yang tertekan sekalipun, ia tetap bisa berjalan dan membangun jalan The new normal. Kapitalisma dengan demikian memiliki logikanya sendiri.

Pertanyaannya, sebagai insan “normal”, bisakah kita bertahan dalam kondisi seperti ini?. Jawabannya tentu saja, selama masih ada kepemilikan pribadi atas sarana produksi dan pabrik-pabrik tetap produksi, dan para pekerja makin banyak yang menggantungkan hidupnya dari upah dari perusahaan, maka sistem ini semakin besar, menyebar dan tak terbendung.

Harus diakui bahwa kapitalisme memberikan kesempatan kepada siapapun untuk sejahtera, kesempatan itu ada dan terbuka. Selama memiliki kepemilikan pribadi, tak peduli dari kalangan apapun maka ia berhak unjuk “gigi”. Namun, jika keterbukaan ini dibiarkan tanpa adanya mekanisme kuat yang diciptakan negara, maka ia akan menjadi semacam hutan belantara, di mana manusia menjadi hewan-hewan yang hidup dan bertahan dengan sistem rimba, yang kuat berkuasa, yang lemah dimangsa. Karena faktanya, kita masih banyak melihat ketimpangan begitu menggurita. Ketamakan manusa dan selalu merasa kurang merupakan penyebab utama kenapa kapitalisma ada namun tidak terlihat oleh kasat mata.

Kapitalisme hidup dengan menumpang pada beberapa hal, pertama, ketidakmampuan negara dalam menciptakan pemerataan ekonomi. Kedua, memanfaatkan kelemahan kaum buruh, yang diahadapkan pada pilihan dilematis. Kedtiga, mendapuk media sebagai sarana penyebaran komoditas yang dijajakkan di dalam kesadaran manusia, hingga, mereka terbius oleh iming-iming kenikmatan semu, mengejar prestise, meski harus mengorbankan banyak hal. Keempat, perayaan “pasar malam” oleh masyarakat, menyebarlah nalar konsumtif, memburu komoditas-komoditas unggulan.

Apa yang yang dilakukan oleh sistem kapitalisme, serupa dengan virus yang tidak bisa hidup kecuali menemukan inangnya. Melalui kebudayaan yang disulap oleh kapitalisme, manusia modern menjadi agen-agen “lapar” yang tak pernah menemukan muara akhir untuk menghilangkannya. Semakin menalan semakin merasa lapar.

Jika pada covid-19 (belajar dari kejadian masa lalu) ada kemungkinan akan ditemukan vaksin penangkalnya, apakah bagi kapitalisme juga sama? entahlah! yang jelas kapitalisme masih belum menemukan kebuntuannya, sebagaimana prediksi Marx dulu. Ia virus bukan sembarang virus.


Hafid Syahrul adalah mahasiswa Sosiologi Agama Fak. Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri angkatan 2017
(Visited 9 times, 1 visits today)