Khaerul Umam*
Konon, orang tua identik dengan kemunduran, kolot dan tidak memiliki semangat dalam hidup. Pandangan demikian wajar adanya. Karena usia yang semakin bertambah, diidentikan dengan kematian yang semakin mendekat. Orang lebih banyak pasrah untuk menerima keadaan, dibanding berfikir kreatif menciptakan sesuatu yang lebih bermanfaat. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi bapak Santoso. Lelaki tua yang hampir setiap hari bangun lebih awal dibandingkan dengan orang lain, mempersiapkan segala sesuatu bagi kebutuhan jamaah solat subuh di masjid dekat rumahnya.
Sekitar Pukul 04.15 an setiap hari saya mendengar suara khas pak santoso melantunkan adzan subuh. Suara yang tentu sangat jauh dari kata merdu. Nada khas jawa yang melekat pada cengkoknya menunjukkan bahwa ia merupakan lelaki jawa tulen (namanya juga Santoso, hhe). Intonasi dan kejelasan kalimat arab dalam adzan yang ia lakukan tidak se-fasih anak-anak pesantren yang mondok tahunan di pondok pesantren. Namun semangat dan dedikasinya hampir seperti anak muda, bahkan mengalahkan mereka yang mengaku masih muda.
Selepas adzan yang ia kumandangkan, dari kejauhan suara itu berhenti, saya menyangka (membayangkan dari kamar kos, sambil rebahan) kalau pak Santoso langsung mengerjakan solat sunah sebelum subuh, solat fajar, yang konon pahalanya lebih besar dibandingan dunia dan seisinya (menurut hadis Nabi yang sering disampaikan ustadz-ustadz di masjid tersebut). Setelah beberapa saat hening, suara dari microphone masjid pun terdengar kembali namun dengan lagu dan kalimat yang berbeda, tetapi masih dengan suara yang sama, cengkok ja犀利士 wa khas pak santoro.
“Allahummaghfirli, dzunubii wa li waa lidayya warhamhu ma kama robbayani shoghiro”, dia ucapkan kalimat tersebut dengan nada khas miliknya berkali-kali sambil menunggu jamaah berdatangan melakukan solat sunah. Dan pada saatnya, ketika seseorang yang ditunjuk jadi imam solat subuh sudah menyelesaikan solat sunah, iapun berdiri sambil tetap melantunkan doa pujian tadi, hal ini sebagai tanda jika sesaat lagi kumandang iqomah sudah akan dibacakan dan jamaah agar segera menyelesaikan solat sunahnya ataupun tidak menambah solat sunahnya karena jamaah solat subuh akan segera dimulai.
Setelah satu hingga dua kalimat pujian dilantunkan dengan berdiri di dekat mimbar dan memastikan jamaah tidak ada yang masih solat sunah, pak Santoso dengan segera melantunkan kalimat iqomah, “Allahu akbar, Allahu Akbar … laa ilaha illa Allah”. Setelah selesai melantunkan iqomah, ia menaruh microphone di tempatnya merapihkan kabel-kabel dan berdiri pada barisan yang biasa ia berdiri pada setiap berjamaah solat subuh.
Imampun mengawali takbir dengan diikuti jamaah yang lain. Hingga solat subuh selesai, dan imam memimpin bacaan dzikir wiridan, suara khas pak santoso nyaring terdengar, menunjukkan semangatnya dalam beribadah. Biasanya memasuki saat membaca kalimat subhanallah, Alhamdulillah dan allahu akbar, yang diulang-ulang sebanyak 33 kali, pak santoro dengan segera mengambil tasbih (alat menghitung jumlah wiridan yang umumnya terbuat dari kayu yang berjumlah 99 butir) tidak hanya untuknya, tasbih-tasbih yang ada di depan barisan jamaah, seketika ia ambil lalu ia berikan kepada para jamaah terdekat sejauh yang dapat ia jangkau.
Menjelang doa, ketika imam memimpin macaan yang paling akhir ini, semua jamaah hening untuk mendengarkan dan tidak mengikuti bacaan imam. Namun jamaah umumnya membaca kalimat amin secara lirih dan diucapkan secara berulang, tanpa ketukan secara ritmik, pada momen tersebut, lagi, suara pak santoso terdengar dominatif di antara jamaah yang lain. Dan diakhir bacaan imam, ketika memasuki kalimat, subhana robbika robbil izztati…dst, kembali suara pak santoso terdengar nyaring mengikuti bacaan imam pada kalimat doa di bait akhir tersebut.
Selesai wirid dan doa bersama imam, sebagian jamaah masih membaca dzikir-dzikir khusus amaliah pribadi masing-masing, pun juga yang dilakukan oleh pak santoso, dengan khusyu dia membaca amaliah dzikir hariannya. Beberapa orang telah meninggalkan masjid dan pulang ke rumah masing-masing. Namun berbeda dengan pak Santoso, langkahnya yang bangun setelah membaca amaliah dzikir hariannya, tidak lantas meninggalkan masjid sebagaimana orang lain lakukan, tetapi, dia mengambil meja kecil yang ada di belakang masjid, kemudian dia mengambil mushaf al-Qur’an dan meletakannya di atas meja. Dengan seksama dia membaca surat fatihah sebagai pembuka bacaan, lalu dia masuk pada bacaan ayat al-qur’an yang lain, terdengar lirih saat saya melintas di samping tempat ia membaca tersebut, kalimat bacaan yang terbata-bata, tidak fasih, logat jawa yang khas, namun di balik ketidak merdu dan fasihan suara pak Santoso, saya menaruh penghargaan yang tinggi atas semangat yang ia tunjukkan demi memakmurkan masjid dan belajar agama yang jauh dari apa yang bisa saya lakukan. Meski muda dan merasa agak fasih membaca al-qur’an, saya tidak memiliki semangat yang sama seperti yang ditunjukkan pak santoso, tua berrasa muda, sementara saya kebalikannya. Malu rasanya diri ini. Terima kasih teladannya pak Santoso.