2,067 views

Panggil Aku, “Calon Arang”, Saja! (2)

M. Syahrul Ulum*

Ahhh … terserahlah orang menyebut namaku apa saja, tapi dari sekian banyak nama samaran yang kumiliki tetap nama Calon Arang lah yang lebih menggema. Lebih menggema lagi bila nama Calon Arang dikaitkan dengan perempuan tukang sihir. Yapphh… benar Calon Arang adalah perempuan tukang sihir. Maka cukup panggil namaku “Calon Arang” saja !

–m syahrul ulum–

…..

Namaku adalah Dyah Sekar Mas bekas istri dari Mpu Kuthuran. Di sumber lain menyebutkan namaku adalah Putri Shantika Maha Dewi, suamiku adalah Adipati Ngurawan yang meninggal ketika aku melahirkan anak putri Ratna Manggali. Nama Putri Shantika juga dikaitkan dengan keberadaan Sang Prabu Airlangga di mana Sang Putri sendiri merupakan kakak sulung dari Sang Prabu yang rela melepaskan hak wahyu keprabon Kedhaton Medhang kepada adiknya tersebut. Kerelaan Putri Shantika melepas wahyu keprabon lebih dikarenakan tidak ingin terjadi pertumpahan darah yang besar akibat perebutan kekuasaan.

Singkat cerita ketika Kedhaton Medhang mendapatkan pralaya dari kerajaan Colomandala, maka kekuaaan Medhang dipecah menjadi tiga wilayah pancingan yang mana masing-masing wilayah dipegang oleh keturunan Prabu Darmakusuma, yaitu Adipati Wurawari menempati Desa Panjer, Putri Shantika Maha Dewi beserta putrinya Ratna Manggali menempati posisi di daerah Girah di lereng Gunung Kelud, dan Pangeran Airlangga berposisi di Gunung Mahendra. (Sutejo dan Hartadi, 2009). Tatkala Sang Prabu Darmakusuma lengser keprabon dan tahta kerajaan jatuh ke tangan Pangeran Airlangga, di sinilah awal mula terjadi permusuhan antara adik dan kakak. Sudah lama Putri Shantika menempati wilayah Girah yang menyamar sebagai rakyat biasa dengan dandanan yang ala kadarnya, ada rasa rindu yang mendalam untuk betemu dengan saudaranya di ibukota Medhang, maka diutuslah putrinya Ratna Manggali untuk menemui pamannya tersebut dengan membawa bukti akan adanya trah resmi dari Dinasti Isyana. Namun malang menghampiri, bukannya disambut dengan tangan terbuka, melainkan diusir oleh sekelompok prajurit penjaga gapura Kedhaton Medhang tanpa tahu duduk perkara yang sebenarnya. Pada saat perlakuan prajurit penjaga gapura yang sudah kelewat batas, Putri Shantika Maha Dewi tidak dapat meredam lagi amarahnya. Dengan berbekal ajian Tantra Bhairawa yang dimilikinya, maka hanya dengan hitungan sekejap muncullah pageblug yang menyebabkan banyak orang meregang nyawa secara mendadak di sekitar wilayah ibukota Kedhaton Medhang.

Ahhh … terserahlah orang menyebut namaku apa saja, tapi dari sekian banyak nama samaran yang kumiliki tetap nama Calon Arang lah yang lebih mengg犀利士 ema. Lebih menggema lagi bila nama Calon Arang dikaitkan dengan perempuan tukang sihir. Yapphh… benar Calon Arang adalah perempuan tukang sihir. Maka cukup panggil namaku “Calon Arang” saja ! Girah adalah tempatku menempa diri, memperoleh kawisesan sekaligus penyucian diri. Orang sekarang menyebutnya dengan nama “Gurah”.

Di tengah pematang kebun tebu, di bawah pohon besar, jauh dari huruk pikuk keduniawian ada bekas peninggalanku. Di situlah petilasanku berada, “Petilasan Calon Arang”. Silakan rawat, kunjungi, dan lestarikan sebagai sebuah bekal pengajaran budi pekerti yang baik kepada para anak cucu kita kelak di kemudian hari bahwa satu kebaikan akan bisa mengalahkan seribu keburukan walaupun hanya sepersekian detik perputaran waktu.

Aku lebih suka dikenal lebih karena kejelekanku disebabkan oleh perangaiku yang memang keluar batas kemanusiaan dari pada mengakui kebaikan diri sendiri padahal hatinya sangat busuk. Sekali lagi aku memang pernah menempuh jalan hitam, namun di akhir hidupku aku telah disucikan. Tempat – tempat peninggalanku di mana saja tidaklah lantas menjadi tempat pemujaan sebagai pengganti Tuhan. Jika ada seseorang melakukan ritual tertentu di tempat khusus bukan berarti mereka memohon-mohon kepada sosok penunggu tempat tersebut. Ada lelaku khusus terkait pengajaran Tantrayana yang mensyaratkan pengamalnya untuk melatih bathin di tempat-tempat keramat peninggalan tokoh masa lampau demi meraih pencapaian bathin tertentu. Menjadikan petilasanku sebagai pengganti Tuhan aku tidak rela apalagi sampai tega berbuat anarkis vandalis di tempat tersebut. Aku tidak marah, silakan berbuat sesukamu, aku hanya khawatir jikalau ada sisa-sisa ajian Tantra Bhairawa yang sudah kubuang dan tercecer akan tumbuh lagi menyebarkan pageblug di negeri ini seperti yang pernah aku lakukan.  Bersiaplah menerima akibatnya !!!

Dengan demikian, mungkin ada sedikit benang merah yang nampak dari sekelumit kisah tentang Calon Arang. Kemunculan virus corona saat ini menjadi pertanda datangnya pageblug hingga disebut juga pandemi atau wabah karena begitu mengerikannya jenis virus ini. Tidak terlihat mata, tapi menyiksa sekaligus bisa meregang nyawa, sungguh sangat menyesakkan dada. Adakah yang berbuat onar di dunia saat ini, adakah perilaku menyimpang dari garis yang ditetapkan oleh Tuhan sehingga tumbuhlah ketidakseimbangan kehidupan sampai-sampai Dewi Durga melampiaskan kemarahannnya. Dewi Durga adalah simbol energi penghancur semesta. Ketika semesta ada dalam keadaan tidak seimbang, maka dia akan melakukan penghancuran sistematis untuk kembali menyeimbangkan semesta. Bisa jadi, Covid-19 adalah tarian Dewi Durga untuk proses penyeimbangan tersebut. Untuk menghindari diri dari gejolak pandemi ini harus ada usaha, sebuah “pangruwatan”. Pangruwatan yang dikhususkan untuk menghilangkan kemalangan dan kesialan hidup.

Menjadi sebuah misi khusus dari para praktisi mistisisme spiritualis untuk unjuk gigi membongkar kedok penyebaran Covid-19 yang semakin mengganas melalui “dimensi lain” demi membantu menyukseskan program pemerintah. Tidak lain dan tidak bukan adalah menjalankan ritual Pangruwatan Agung Bethari Durga. Semoga! Hahahaha.

Melihat peta persebaran Covid-19 yang tak kunjung mengalami titik penurunan ini, sebenarnya nusantara telah memiliki bekal yang kuat untuk menghadapinya. Sebuah  bekal dari tutur tinular yang berharga, bekal dari kepercayaan juga pengalaman dari masyarakat dengan pernah datangnya pandemi mematikan masa lampau. Sebuah bekal yang tak lekang dimakan oleh zaman, tinggal bagaimana merefleksikan dengan keadaan saat sekarang. Adalah sebuah bekal “folklor” masyarakat yang patuh terhadap himbauan pemerintah. Pemerintah yang “manunggal” dengan kelompok agamawan. Keberhasilan rakyat Medhang dalam mengatasi pageblug mematikan dari ajian Tantra Bhairawa Calon Arang adalah buah dari segenap rakyat yang selalu taat terhadap anjuran pemerintah beserta para agamawan untuk tidak bersikap diskriminatif terhadap seseorang, suku atau intoleran terhadap kelompok-kelompok hetero lainnya. Ketiga komponen kunci antara rakyat, pemerintah, dan agamawan merupakan elemen pokok untuk menghadapi masa-masa sulit yang menimpa sebuah negara hingga tidak sampai terperosok ke jurang resesi. Maka, jangan berharap Indonesia bisa menaklukkan virus corona jika salah satu dari ketiga komponen kunci tersebut tidak berkolaborasi dengan tujuan serta visi misi yang sama pula. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa napak tilas leluhurnya. Salam!


(Visited 3 times, 1 visits today)