1,338 views

Peneguhan Reputasi Rohaniawan

Hedi Ardia*

Agama seolah telah kehilangan spirit kepedulian publik karena direduksi menjadi sekadar urusan privat dan eskatologis. Akibatnya, kesalehan pribadi yang menjadi acuan tidak memberi warna pada problem sosial kebangsaan. –Hedi Ardia–

Ramadhan merupakan bulan yang senantiasa identik dengan berbagai kegiatan religi. Hal ini dengan mudah bisa kita saksikan di berbagai sudut kehidupan masyarakat yang mayoritas muslim, termasuk Indonesia. Semua pihak ikut berlomba menunjukkan partisipasi ekspresi religiusitasnya di bulan ini. Pada tahap ini, tentu saja tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

Kehidupan masyarakat Indonesia memang sejak lama telah dikenal sebagai masyarakat yang religi. Hal ini terlepas dari apapun agamanya. Khusus, bagi kalangan muslim Ramadhan seolah menjadi kompetisi akbar untuk menunjukkan kesalihan individual maupun sosialnya.

Akan tetapi, disadari atau tidak pada tahap tertentu ada sesuatu yang hilang dari rutinitas kegiatan keagamaan yang dipimpin oleh para agamawan atau rohaniawan tersebut. Maraknya kegiatan berbau keagamaan seperti pengajian, ceramah, khutbah dan siraman rohani lainnya yang dilakukan pengikut agama pada giliran berikutnya belum berdampak pada terciptanya keadaban sosial keseharian kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Contoh paling kentara, praktik korupsi yang dilakukan para pengelola urusan publik nyatanya tak kunjung surut. Bukan sekadar kemiskinan dan disparitas pendapatan merupakan pendorong perilaku korup. Begitu juga, sistem pemerintahan yang tidak transparan dan akuntabel, disusul relasi sosial hierarkis dan non-demokratis yang kerap kali disebut-sebut menyuburkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh aparat pemerintah dan negara (Ghaniy & Hastiadi, 2017). Tapi, praktik keagamaan yang tinggi tidak berkorelasi positif bagi kehidupan keseharian.

Secara normatif, agama idealnya mampu menekan perilaku korup para penganutnya. Pasalnya, semua agama mengajarkan untuk tidak merugikan orang lain. Ironisnya, bangsa-bangsa dengan mayoritas penduduk beragama tidak ada yang lepas dari praktik korupsi. Bahkan kasus-kasus korupsi akut banyak ditemukan di negara yang memiliki identitas agama kuat, apa pun agama itu.

Pada titik inilah, peran Islam sebagai ajaran kritis terhadap tatanan kehidupan sosial seolah diam seribu bahasa. Ajaran-ajaran agama yang termaktub dalam kita suci Al-Quran gagal menjadi inspirasi gerakan perubahan kecuali mengkohohkan para agamawan menjadi elitis. Tokoh agamawan berubah menjadi elitisme yang tak tersentuh dari kritik. Narasi-narasi yang diusung para rohaniawan kerap kali berkutat pentingnya mempersiapkan kehidupan akhirat sehingga acapkali absen atas problem kehidupan dunia yang tengah dijalani dengan aneka persoalannya.

Agama seolah telah kehilangan spirit kepedulian publik karena direduksi menjadi sekadar urusan privat dan eskatologis. Akibatnya, kesalehan pribadi yang menjadi acuan tidak memberi warna pada problem sosial kebangsaan. Mereka yang setiap tahun pergi umroh jumlahnya tinggi, begitu juga daftar tunggu untuk haji. Akan tetapi, kesalehan pribadi itu, sekali lagi tidak atau mungkin belum tercermin dari moralitas absolut seorang muslim taat.

Krisis Keteladanan

Saat ini umat seolah kebingungan dalam mencari sosok panutan. Profil agamawan saat ini tidak dilihat dari kedalaman dan kebenaran ilmu yang disampaikan serta karya sosial yang telah dibuatnya, tapi sejauh mana kemahirannya melapalkan ayat di media sosial agar terkenal sehingga mendapatkan pengikut.

Kuatnya cengkeraman sistem ekonomi pasar telah berhasil mengorbitkan para pendakwah karbitan dari kalangan artis atau mualaf untuk mematahkan semua teori dan kedalaman ilmu kiai senior yang telah bertahun menimba ilmu agama di pesantren. Tak hanya itu, imajinasi kita mendengar kata da’i saat ini identik dengan brand ambassador produk-produk komersial sehingga menjerumuskan umat untuk konsumtif.

Pada akhirnya, ajaran agama agar berperilaku dan bersikap sederhana seperti yang dicontohkan kanjeng nabi Muhammad semakin jauh dari kenyataan. Misi profetik yang seharusnya menjadi prototipe bagi para muballigh kontemporer kian menjauh. Untuk mengundang mereka (da’i) ke tempat kita ada tarif yang harus dibayar, tidak ada transferan dana sesuai banderol tentu saja tidak akan diagendakan oleh asisten pribadi atau managernya.

Dengan demikian, potret da’i miskin dan sederhana sulit kita temukan. Pada umumnya mereka menampilkan diri sebagai sosok yang fashionable dan melihat umat sebagai potensi pasar bukan sebagai kumpulan manusia untuk diajak agar semakin bertakwa dan memahami agama bukan sebuah eskapisme dari perlombaan kebaikan sosial.

Dari segi konten, dakwah harusnya menambah wawasan umat. Karena itu, sukses dakwah tidak dilihat banyaknya pemirsa yang tertawa atau jamaah yang meneteskan air mata depan sorotan kamera, tapi pengetahuan yang bertambah, hilangnya kesalahpahaman, serta meningkatnya kesadaran untuk mengamalkan ajaran agama. Lebih parah lagi agama kian menjauh dari kultur nalar kritis dan tradisi intelektual yang sejak lama telah menghidupi agama ini.

Rekonstruksi Pemahaman

Kemajuan teknologi informasi yang menawarkan pemahaman baru tentang penyikapan atas situasi sosial kekinian dan kondisi historis, mau tidak mau memaksa semua pengikut agama ini harus menafsir ulang pemahaman atas perintah agama yang selama ini cendrung dipahami sangat egoistis dan tidak peka atas persoalan kehidupan. Umat jangan terus dibiarkan mempercayakan seluruh aspek kehidupannya pada pengelola negara yang kerap kali menampilkan wajah culas. Negara belum tentu paham atas apa yang diinginkan rakyatnya.

Dengan demikian, setidaknya ada dua hal yang mesti rekonstruksi. Pertama, bahwa agama sebaiknya tidak diposisikan sebagai ritual yang terpisah dari problem kebangsaan dan kenegaraan yang kerapkali berkaitan dengan sistem sehingga tidak ramah pada mereka yang tidak memiliki akses kekuasaan. Perlunya revitalisasai spirit ajaran Islam sebagai motor penggerak dalam pembelaan terhadap golongan lemah (mustadha’afin). Tindakan heroik yang diperlihatkan Nabi Musa, Isa dan Muhammad yang dianggap “oposan” oleh penguasa dimana mereka hidup seharusnya menjadi standar kaum agamawan bahwa mereka punya peran strategis lahirnya sebuah kebijakan dan kebajikan.

Makin buramnya perekonomian bangsa ini jelas akan mempertajam kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat kita. Orang kaya (agniya) akan semakin besar kepala terhadap mereka yang miskin (the have not). Sementara elite politik menjadikan kemiskinan sebagai tema perbincangan dalam rapat-rapat sehingga melahirkan proyek pengentasan desa tertinggal dan pemberian kredit rakyat miskin yang tak jarang salah sasaran. Rakyat miskin selamanya akan berada di bawah hegemoni kaum elite dengan watak kapitalistik, materialistik dan hegemonistiknya.

Islam datang untuk membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan. Penyariatan zakat, infak dan sedekah misalnya, terbukti telah menghancurkan sistem kapitalistik-materialistik bangsa Arab ketika itu. Islam tidaklah melarang orang menjadi kaya, karena kekayaan merupakan karunia Allah (QS. 16: 71). Akan tetapi, bagaimana kolaborasi (simbiosis mutualisme) antara si kaya dan si miskin (ta’awun) sehingga tercipta keadilan.

Kedua, pengajaran agama harus sampai akar paling dasar, sampai pada ruh agama bukan sekadar identitas yang berakhir dengan kebanggaan beragama dengan cara menyalahkan pihak-pihak yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Seperti yang disampaikan Abdul Karim Soroush, salah satu penyakit teoritis di dunia Islam yang paling berat pada umumnya adalah orang lebih memahami Islam sebagai identitas dari pada sebagai kebenaran.

*Hedi Ardia adalah Pegiat Demokrasi Kab Bandung dan Peminat Kebijakan Publik

(Visited 1 times, 1 visits today)