Taufik Alamin*
satu hal yang patut untuk disyukuri, bahwa selama masa pandemi berlangsung, rasa solidaritas sosial masyarakat banyak bermunculan. Selain tidak sedikit warga masyarakat bergabung menjadi relawan penanggulangan covid-19, banyak kita jumpai pula aksi-aksi sosial marak di berbagai daerah.
Massa pandemi telah bejalan hampir tiga bulan. Beragam cara masyarakat di dalam menterjemahkan anjuran pemerintah agar tetap tinggal di rumah, sering cuci tangan, menjaga stamina tubuh, hingga cara-cara tertentu yang terkait peribadatan yang dilakukan di rumah. Dalam konteks yang lebih luas, budaya yang merupakan kebiasaan-kebiasaan di masyarakat telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut, suka atau tidak, menjadi pilihan yang harus dilakukan masyarakat.
Salah satu contoh perubahan itu antara lain menyangkut cara bekerja yang semula harus di kantor, pabrik, dan sekolah maupun kampus, sekarang harus dilakukan semuanya di rumah. Model transaksi dan belanja yang semula mengharuskan bertemunya antara pejual dan pembeli, sekarang cukup dilakukan di rumah dengan menghubunginya lewat aplikasi internet. Barang datang diantar dan uangpun dibayar. Tak ada lagi tawar menawar, yang semula menjadi ciri khas masyarakat kita dalam berbelanja barang maupun jasa.
Disadari atau tidak, perilaku-perilaku baru tersebut, bagi warga masyarakat dan pemangku kepentingan, sedang “dipaksa” untuk melakukan perubahan. Sebuah kebiasaan yang tidak dan belum pernah dilakukan pada masa sebelumnya. Jika hal tersebut dikaitkan dengan teori perubahan sosial, terdapat prosesnya yang bernama diffusi dan inovasi.
Everett Rogers tahun 1962 pernah menulis buku “Diffusion of Innovation” yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan selalu diawali oleh munculnya ide atau gagasan baru di dalam masyarakat. Tahap selanjutnya masyarakat akan melakukan adopsi terhadap inovasi tersebut, apakah dirasa menguntungkan atau memenuhi kebutuhannya atau tidak. Jika inovasi tersebut berdampak pada keuntungan relatif dibandingkan pada hal yang digantikan sebelumnya, maka langkah selanjutnya masyarakat akan memutuskan dan melegalkan dari pilihannya tersebut. Artinya perubahan akan terjadi. Tetapi sebaliknya, jika dalam tahapan tersebut masyarakat akhirnya menolak terhadap adanya inovasi, maka perubahan tidak lagi bisa diharapkan, alias ditolak. Dan masyarakat tetap akan menggunakan kebiasaan-kebiasaan lamanya.
Jika teori di atas digunakan dalam melihat fenomena masyarakat selama masa pandemi, maka yang terlihat, sikap masyarakat hari ini justru bisa dikategorikan menjadi dua bagian. Sebagian masyarakat menganggap bahwa dalam massa pandemi ini, banyak kebiasaan atau tradisi yang sudah lama ditinggalkan, karena dirasa masih relevan maka dilakukan kembali. Namun sebagian masyarakat yang lain masih menganggap bahwa perubahan tersebut kalaupun dilakukan, bukan lagi karena merasa ada yang harus dikoreksi atas kebiasaan-kebiasaan lama, tetapi semata-mata karena ingin mematuhi perintah. Apalagi perintah tersebut bersifat mengikat dan harus dilakukan dengan cepat dan serentak.
Situasi sekarang ini masyarakat seakan diarahkan pada satu pandangan yang serba mengerikan dan penuh dengan ketidakpastian. Panik dan takut itulah adalah persaaan yang paling dominan dirasakan masyarakat hari ini. Jika diibaratkan, masyarakat sekarang ini adalah seperti penumpang dalam sebuah kapal. Posisi kapal sedang melewati samudera yang bergelombang besar disertai badai. Maka pilihannya hanya satu, mereka harus berada di dalam kapal dan patuh pada aturan protokol yang ditetapkan. Nasib selanjutnya akan ditentukan oleh kemampuan awak kapal dalam mengendalikan kapal agar bisa selamat dari bahaya tenggelam dan kematian.
Dalam hal bahasa saja misalnya, tidak ada upaya untuk menterjemahkan atau lebih tepatnya mempribumisasikan terlebih dahulu sebelum informasi dan perintah tersebut disebar ke masyarakat. Semuanya masih menggunakan istilah asing. Seperti social-distancing (penjarakan sosial), hand-sanitizer (pembersih tangan), rapid test (tes cepat), suspect (terduga positif), hingga lockdown (penutupan wilayah). Istilah-istilah tersebut tampak masih asing sekali terutama bagi masyarakat bawah.
Akibatnya, yang terjadi di masyarakat justru banyak menimbulkan salah tulis, salah ucap bahkan hingga salah persepsi. Istilah-istilah tersebut menghambur ke masyarakat tanpa usaha penerjemahan dan adaptasi terlebih dahulu. Paling tidak secara nasional istilah-istilah asing tersebut telah diterjemahkan dengan ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga tidak sedikit warga masyarakat dalam menyikapinyapun dengan berbagai cara. Misalnya, di beberapa wilayah ditemukan tulisan-tulisan seperti: lockdown ditulis lock dont. Ada juga yang menulis : Maaf jalan ini sedang di download, atau ada juga yang menulis : Maaf jalan ini sedang di london. Bisa jadi tulisan-tulisan tersebut memang sengaja dibuat seperti itu sebagai bahan sindiran. Tetapi fakta yang terjadi di akar rumput justru terkesan bahwa pesan-pesan terkait dengan pandemi belum tersosialisasi dengan baik. Hal ini tentu menjadi pelajaran bagi pemerintah dan media massa, agar tidak secara gegabah menggunakan istilah-istilah asing tanpa terlebih dahulu diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Atau dengan cara memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memaknainya dengan istilah-istilah lokal tertentu dengan berpedoman pada nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).
Selanjutnya satu hal yang patut untuk disyukuri, bahwa selama masa pandemi berlangsung, rasa solidaritas sosial masyarakat banyak bermunculan. Selain tidak sedikit warga masyarakat bergabung menjadi relawan penanggulangan covid-19, banyak kita jumpai pula aksi-aksi sosial marak di berbagai daerah. Di setiap kawasan perdesaan dan perkotaan sekarang banyak dijumpai pos-pos jaga / ronda yang kembali aktif. Bahkan, saking ingin menjaga keamanan di lingkungannya, warga membarikade setiap jalan dan gang-gang yang ada di setiap perkampungan penduduk. Hal tersebut tentu tidak ada yang salah, apalagi sekarang banyak muncul aksi kejahatan di tengah masyarakat. Mereka melakukan tersebut atas dasar ingin melindungi dirinya dari bahaya pencurian, perampokan, penjarahan dan tindak kriminalitas lainnya.
Menurut data terakir dari pihak kepolisian, bahwa secara nasional telah terjadi peningkatan angka kriminalitas sebesar 19,72 % dibandingkan sebelum masa pandemi. Situasi tersebut yang akhirnya telah memicu munculnya rasa kegelisahan di tengah masyarakat. Bahkan selama masa pandemi berlangsung, telah melahirkan bentuk-bentuk baru kriminalitas yang berevolusi dengan pemanfaatan situasi. Para pelaku kriminal tersebut memanfaatkan situasi pandemi dan pembatasan sosial sehingga membuat lingkungan sepi untuk menjalankan aksinya.
Selain itu, Polri perlu memperhitungkan pula dengan munculnya pola-pola kriminalitas lainnya, seperti pencurian dan penimbunan alat medis, penjualan obat-obatan palsu melalui kejahatan yang terorganisir, pencurian di tempat bisnis dan di rumah penduduk, pelanggaran ketertiban umum karena persoalan medis, hingga kesalahpamaham masyarakat mengenai penanganan Covid-19. Selain itu bentuk kejahatan seperti pencurian hasil pertanian, pencurian ternak, pencurian telpon genggam hingga sepeda motor juga mengalami peningkatan.
Sejumlah pengamat ekonomi dan sosial mengatakan bahwa selama masa pandemi telah terjadi penurunan daya beli masyarakat dan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai daerah di Indonesia. Akibatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat tajam, karena warga utamanya usia produktif tidak bekerja dan tinggal di rumah sehingga tidak ada pemasukkan sama sekali. Fenomena ini menyebabkan masyarakat yang miskin menjadi semakin miskin. Melihat keadaan yang memprihatinkan ini akhirnya pelaku melancarkan aksi kejahatan.
Kembali kepada makna perubahan, bahwa pandemi corona telah mengajarkan kepada masyarakat dan negara sedunia, bahwa kebiasaan-kebiasaan yang selama ini telah menjadi ciri khas masyarakat modern, ternyata dalam banyak hal pula justru telah menimbulkan masalah baru, sehingga perlu dievaluasi dan diganti dengan yang lebih relevan dan manusiawi. Akhirnya masyarakat dan aparatur pemerintahan dengan kejadian ini, dituntut untuk berani berubah mulai dari cara berpikir, bersikap hingga perilaku dan tindakan sehari-harinya. Karena tidak ada yang tetap dalam kehidupan ini, kecuali yang tetap perubahan itu sendiri. Wallahul a’lam.