Pandemi virus corona yang sedang mengancam dunia memang dapat menimbulkan rasa takut dan kecemasan di antara kita semua, tak terkecuali masyarakat Indonesia, entah itu dalam hal aktifitas harian, peribadahan, silaturahim, dan juga segala bentuk tradisi budaya.
–M Yusfi Khoiru Maula–
Estetika keindahan dan semerbak aroma tradisi budaya merupakan dinamika kehidupan yang melekat dalam sanubari insani. Bukan sebagai kebutuhan primer yang diprioritaskan, akan tetapi raut ungkapan jiwa dengan dawai kecintaan dalam diri yang tercurahkan. Tak elok terasa jika memang lambai tangan arti tanda untuk berpisah dengan tradisi budaya. Apa daya bila arti kebersamaan sebagai kekhawatiran arti tawa sebagai mara bahaya nampak lelah tatap kita mencari hati jiwa kepada yang telah menanti untuk kita saling berbagi lagi di tengah wabah pandemi yang tiada henti hentinya menghantui. Indonesia merupakan negara yang kaya akan tradisi budaya, tak lain termasuk di dalamnya akulturasi budaya Islam yang membudaya dan telah melekat di masyarakat pribumi seperti halnya yasinan, tahlilan, maulidan, tingkeban, dan lain-lain. Lantas bagaimana dengan rutinitas yang semacam ini berlanjut dan berjalan sebagai tradisi di tengah pandemi yang terjadi seperti ini?
Di lansir dari berbagai pemimpin atau pemimpin daerah atau yang bersangkutan ada yang merasakan miris dengan hal yang terjadi dengan argumen “kalau kondisi seperti ini seharusnya tidaklah perlu khawatir dan kita memang lebih baiknya memperbanyak doa, dzikir, slametan tahlilan bukan semata karena mendoakan leluhur, akan tetapi juga kemaslahatan kita bersama agar tetap diberi kesehatan dan keselamatan”. Adapula yang beranggapan “ikutin anjuran pemerintah saja, toh ini juga bentuk antisipasi dari pemerintah agar virus tersebut menjadi–jadi“. Dari segelintir topik di atas, berbagai konspirasi pun bermunculan yang menarik untuk dibahas yaitu mengenai adanya politik untuk menggulingkan dominasi eleman dari berbagai penjuru dunia, di antaranya agama, ras, aliansi, dan budaya. Sumber fundamental dari konflik dalam dunia baru ini pada dasarnya tidak lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik yang dominan. Negara-bangsa tetap akan menjadi aktor yang paling kuat dalam percaturan dunia, tapi konflik politik global yang paling prinsipal akan terjadi antara bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka. Pertentangan antara peradaban akan mendominasi politik global. Garis-garis pemisah peradaban akan menjadi garis-garis pertentangan di masa depan. Terlebih di Indonesia yang kaya akan budayanya juga dapat dikatakan ancaman besar bagi front penjilat kekuasaan dunia. Secara tidak langsung pula, kejadian seperti ini (pandemi) menghegemoni central principal yang dipegang tiap individu dengan kepercayaan mereka masing-masing. Termasuk budaya Islam di Indonesia yang mana lambat laun mulai meninggalkan kebiasaan atau tradisi mereka. Seperti tradisi tahlil, yasinan di daerah Jawa Timur katakan tidak lagi diadakan diganti hanya dengan menghantarkan ambeng atau berkat dengan tetap menaati protokol dari pemerintah yang esensinya mulai pudar dan terancam tidak ada.
Pandemi virus corona yang sedang mengancam dunia memang dapat menimbulkan rasa takut dan kecemasan di antara kita semua, tak terkecuali masyarakat Indonesia, entah itu dalam hal aktifitas harian, peribadahan, silaturahim, dan juga segala bentuk tradisi budaya. Namun, rasa takut dan cemas berlebih dapat memicu kepanikan yang justru membuat keadaan semakin memburuk. Justru yang kita atur, kita imbau adalah peribadahan yang sesuai dengan protokol kesehatan dan anjuran beribadah di rumah yang bisa dilakukan sama-sama.
*Mahasiswa IAT Angkatan 2017