Nikmatul Sa’adah
Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kualitas satuan-satuan pendidikan dalam mentransformasikan pengetahuan kepada para siswa untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan olah pikir, rasa, hati, dan raganya.
–Nikmatul Sa’adah–
Kejadian yang telah dialami oleh seorang siswi di salah satu lembaga pendidikan di Lampung Timur, Lampung menjadi sebuah kajian yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini. Siswi tersebut memberikan pernyataan tentang hal buruk dan tidak pantas dilakukan terkait suatu peristiwa yang telah ia alami semenjak duduk di bangku SMP, yaitu korban pembulian atas teman-teman sekolahnya, seperti dilempar bangku, merasa terasingkan, dan tidak ada teman yang respect terhadapnya. Pengalaman buruk tersebut kembali ia rasakan ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Hal yang menjadi sorotan adalah siswi yang menjadi korban pembulian tersebut merupakan siswi yang memiliki status ekonomi rendah. Dalam keseharianya, apa yang ia miliki berbeda dengan teman-teman sekolahnya, seperti seragam yang ia kenakan hanyalah seragam yang ia pakai semasa SMP pemberian dari orang, kendaraan yang ia gunakan sebagai transportasi hanyalah kendaraan tidak layak pakai yang terpenting bisa tiba di sekolah. Alasan tersebut yang menjadikan siswa-siswi ekonomi tinggi merasa lebih memiliki kuasa hingga berbuat semena-mena. Sehingga, korban lebih memilih berdiam diri di kelas atau sekedar pergi ke toilet. Karena masalah tersebut yang membuat korban tidak memiliki ketahanan fisik, mental maupun batin, korban mengambil keputusan untuk berhenti sekolah dan mengejar ijazah SMA sederajat.
Pertanyaan yang terlintas, seperti itukah sikap yang ditunjukkan sebagai seorang yang terpelajar? Jika diamati, penulis sebagai seorang yang sama-sama berasal dari Lampung Timur, sikap bermewah-mewahan, tidak memiliki batasan dalam memenuhi segala kebutuhan yang dialami oleh siswa-siswi yang status ekonominya tinggi, rasanya sudah menjadi habit yang tidak bisa untuk dihindarkan. Bagaimana tidak? Anak kelas 4 SD dari orang tua yang mampu sudah memfasilitasi anak-anaknya sepeda motor yang kemudian dimodifikasi seperti sepeda motor seorang pembalap dengan suara knalpot yang kencang. Inilah sisi negatif dari era modern saat ini yang perlu diwaspadai bersama dengan memiliki sikap yang kritis terhadap pengaruh perubahan-perubahan yang terjadi. Mengingat bahwa di zaman modern seperti sekarang ini, pendidikan menjadi prioritas utama untuk dapat menjadikan generasi penerus sebagai agen of change bagi bangsa. Sebagai agen perubahan, harus memiliki sikap sadar terhadap banyaknya persaingan pada fenomena seperti saat ini. Sebagai orang tua, tempatkan mereka (Generasi Y), penuhi kebutuhan mereka sesuai dengan usia, dan sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Penulis masih dibuat terheran-heran dengan sikap para orang tua, sehingga muncul pertanyaan. Apakah sebagai orang tua sudah menjalankan perannya dengan baik? Mengingat, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama bagi anak-anaknya sebelum memasuki dunia sekolah. Dapat penulis katakan bahwa, terlihat para orang tua masih belum menjalankan perannya secara maksimal, sikap yang ditunjukkan orang tua seolah membiarkan anak-anaknya terbawa oleh arus modernisasi yang kian dapat merusak masa depannya. Inikah yang dinamakan peduli terhadap masa depan anak?
Sikap bullying merupakan sikap yang menyimpang dari norma-norma. Sikap tersebut dapat merugikan bagi pelaku dan juga korban. Jelas sekali bahwa bullying memberikan dampak negatif bagi diri seseorang. Korban akan mengalami depresi, psikologisnya terganggu, rasa kepercayaan diri menurun, berkurangnya rasa semangat. Dan bagi pelaku, sikap keras akan terus tertanam, tidak memiliki rasa perduli terhadap orang lain, egois dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, sebagai upaya pencegahan bullying, dari lembaga sekolah harus menerapkan program resolusi konflik sebagai upaya pencegahan bullying. Diharapkan seluruh siswa mampu memiliki sikap untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi di antara mereka.
Masih terdapat pertanyaan lain, dalam tindakan bullying yang dilakukan siswanya, apakah para guru mengetahui hal tersebut? Lalu, jika mengetahui terjadinya bullying, ketegasan seperti apa yang diberikan kepada siswanya? Kejadian bullying sungguh sangat memalukan dan memilukan banyak pihak terutama lembaga yang bersangkutan.
Profesionalitas Guru
Bahasan tentang profesionalitas guru merupakan refleksi penulis dalam menanggapi pernyataan yang telah dipaparkan oleh siswi yang menjadi korban bullying. Menurutnya, selain dari pada perlakuan dari teman-temannya yang menyebabkan ia berhenti sekolah adalah keaktifan guru di dalam mengajar kurang maksimal yang hanya terlihat menggugurkan kewajibannya saja. Dalam satu hari terdapat 4 mata pelajaran, ketika guru masuk kelas hanya memberikan tugas tanpa penjelasan dan terkadang dalam satu minggu hanya masuk kelas sebanyak lima kali. Pertanyaan penulis, lalu bagaimana generasi bangsa ini bisa memiliki kecerdasan jika dalam proses belajar mengajar tidak berjalan maksimal? Mungkin itu yang menjadi salah satu sebab lulusan SMA di Lampung Timur sedikit yang melanjutkan ke perguruan tinggi, sehingga terlintas keinginan untuk langsung saja nikah, langsung saja merantau mencari uang. Karena jiwa untuk bisa lebih maju dalam hal pemikiran dan pendidikan tidak terdorong sedari dini, sehingga apa yang ia peroleh di rasa sudah cukup padahal tidak.
Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kualitas satuan-satuan pendidikan dalam mentransformasikan pengetahuan kepada para siswa untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Faktor yang memberikan pengaruh terhadap kemajuan para siswa adalah guru, bahkan kehadirannya di kelas tidak dapat digantikan oleh siapapun. Seorang guru yang kompeten, professional, dan memiliki martabat yang tinggi akan mempermudah tercapainya segala tujuan dalam memberikan khasanah keilmuan. Lalu, kenapa hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan apa yang telah terjadi di sebuah lembaga pendidikan yang berada di Lampung Timur, Lampung. Tanggung jawab sebagai seorang pengajar masih harus ditingkatkan dan memiliki rasa kesadaran yang tinggi terhadap janji yang telah diucapkan ketika sumpah jabatan. Apakah jabatan hanya sekedar tempelan semata yang tidak memiliki arti dan makna yang harus diperjuangkan? Padahal, seluruh elemen yang ada di dalam sebuah lembaga pendidikan harus saling bersatu padu dalam menjalankan perannya, sehingga diharapkan mampu melahirkan generasi penerus yang memiliki integritas tinggi.
Bagaimanapun kasus-kasus yang telah dipaparkan di atas harus cepat ditangani dan dicarikan solusi yang tepat agar semuanya dapat berjalan sesuai dengan visi-misi yang telah ditetapkan pada lembaga pendidikan tersebut.
Penyelesaian Masalah
Terlihat jelas bahwa dalam penyelesaian masalah yang dihadapi, metode resolusi konflik atau disebut dengan sebuah manajemen dalam menghasilkan keluaran konflik (Wirawan, 2009:177), jika dilihat dari metode resolusi konflik yang digunakan adalah pengaturan sendiri dengan menggunakan pola interaksi konflik menghindar. Hal tersebut dilakukan oleh orang yang terlibat konflik sebagai jalan keluar yang telah diambil oleh siswi yang menjadi korban. Keputusan tersebut dianggap lebih baik dan dengan tanpa melibatkan unsur kekerasan terhadap lawan konflik. Dengan keputusan terebut, memberikan kesempatan untuk memilih berhenti dari sekolah dan tetap mengejar ijazah SMA sederajat. Upaya tersebut ia lakukan untuk menghindarkan dirinya atas ketidaknyamanan yang membuat rasa tidak aman, selalu merasa khawatir, merasa tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Diharapkan keluaran konflik yang telah diambil mampu mengembalikan kondisi fisik dan mental untuk bisa merasakan kenyamanan yang seharusnya ia dapatkan.
sumber gambar: idntimes.com