Menyampaikan ilmu agama adalah tugas ulama. Sedangkan berdakwah boleh dilakukan siapa saja asal tahu kapasitas dan kemampuan diri untuk tidak menyampaikan apa yang di luar pemahaman.
–Risa Nikmatus Saodah–
Risa Nikmatus Saodah*
Dakwah memiliki arti mengajak. Mengajak di sini memiliki konteks yang beragam. Mengajak non muslim agar mau masuk Islam. Mengajak orang yang belum sholat agar melaksanakan sholat. Bagi yang belum berzakat agar mau menunaikan zakat. Bagi yang belum berpuasa agar mau menjalankan puasa. Mengajak meramaikan masjid. Mengajak berbuat kebaikan dan masih banyak lagi. Hal tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja. Orang muslim tetapi dengan status mualaf pun tidak menjadi masalah. Sebab saling menasehati dalam beragama adalah hal yang dianjurkan dan bukan perbuatan yang tercela. Namun, menjadi kurang baik ketika seharusnya hanya mengajak menjadi bicara di luar kemampuan.
Tidak begitu paham terkait masalah hukum jual beli, maka ketika mendapatkan pertanyaan hukum jual beli jangan dijawab. Lebih baik memberikan jawaban ‘tidak tahu’ daripada menjadi orang yang sok tahu. ketika tidak mau mengecewakan si penanya, maka arahkan mereka kepada orang yang lebih tahu. Setiap orang boleh dan sah-sah saja berbicara tentang apa yang dikuasainya. Ketika paham bab sholat, kenapa tidak boleh berbicara hukum sholat? Boleh berbicara, namun jangan sampai merembet ke mana-mana hingga menyangkut permasalahan yang belum dikuasai. Sadar diri dan menahan diri. Bukan masalah gengsi atau merasa takut dianggap bodoh dan tidak mampu menjawab pertanyaan. Sebab, ini adalah masalah tanggung jawab hukum. Dan tanggung jawab hukum memiliki konsekuensi yang berat jika dijalankan dengan seenaknya.
Dakwah dengan mengajarkan agama itu berbeda. Mengajarkan agama itu jauh lebih kompleks dari berdakwah. Hal tersebut dikarenakan terkait permasalahan hukum yang rumit dan terperinci.
Bukan hanya sekedar mengajak orang agar mau melakukan sholat dan sedekah saja. Bukan sekedar membujuk orang agar terbiasa berlomba-lomba memperbanyak amal kebaikan saja. Bukan hanya sekedar mengingatkan yang salah agar menjadi benar. Jika diibaratkan sebagai dokter, saya boleh saja memberikan nasihat kepada orang-orang agar menjaga kesehatan dengan rajin berolahraga, rajin makan makanan yang sehat dan bergizi. Semua orang boleh melakukan itu dan mengajak untuk itu. Semakin banyak orang yang menyuarakan hidup sehat, maka akan semakin baik. Namun dalam taraf lebih lanjut terkait resep-resep obat-obatan tertentu yang tidak saya ketahui, maka saya tidak boleh sok tahu. ketika saya sok tahu maka akan mengakibatkan seseorang mengalami overdosis obat. Bahkan bisa saja salah makan obat karena resep yang saya berikan adalah keliru. Akan lebih baik ketika ditanya terkait hal yang tidak dipahami di dunia kedokteran, maka saya menjawab tidak mengetahui. Akan lebih baik juga saya menyuruh orang tersebut pergi ke dokter spesialis saja. Itulah yang dinamakan sadar diri terhadap kapasitas yang kita miliki. Meski ribuan buku kedokteran sudah saya baca, tetapi saya tetap tidak dapat dikatakan sebagai seorang dokter. Saya hanya pantas disebut sebagai orang yang peduli pada kesehatan saja tidak lebih. Saya pun tidak boleh membuka praktek kedokteran. Namun bukan berarti saya tidak boleh mengajak orang agar senantiasa hidup sehat.
Begitu juga masalah agama. Dengan saya membaca atau mempelajari banyak kitab, belum tentu saya layak disebut sebagai ustadz atau ulama. Sebab harus ada track record yang jelas. Harus ada kapasitas dan pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa seseorang itu mumpuni dalam wawasan keagamaannya. Spesialisasi ulama pun juga berbeda-beda. Ada yang spesialisasi nya fikih, akidah, tafsir, hadis, dan sebagainya. Jika diibaratkan dokter, maka ada dokter bedah, dokter penyakit dalam, dokter anak, ada dokter gigi, dokter hewan dan sebagainya. Mereka memiliki keahlian dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Apalagi menyangkut masalah fatwa hukum. Hal ini benar-benar butuh kompleksitas dan pandangan yang lebar. Selain itu juga butuh pertimbangan yang banyak dan wawasan yang luas. Yang berkembang sekarang ini banyak orang yang baru belajar agama tetapi sudah berani menyampaikan ilmu agama. Tentu hal ini menjadi kurang baik karena dalam menyampaikan ilmu agama, permasalahannya akan lebih kompleks. Menyampaikan ilmu agama adalah tugas ulama. Sedangkan berdakwah boleh dilakukan siapa saja asal tahu kapasitas dan kemampuan diri untuk tidak menyampaikan apa yang di luar pemahaman.
*penulis adalah mahasiswi Sosiologi Agama IAIN Kediri angkatan 2018
sumber gambar: bimbinganislam.com