1,940 views

Tanaman Ganja Sebagai Komoditas Unggul Petani dan Polemiknya

Khorik Saifulloh*

Pada kenyataannya untuk mendapat manfaat dari tanaman ganja, para pengguna tidak mempunyai pengetahuan yang mempuni, tidak mempunyai takaran yang tepat untuk penggunaan ganja, akibatnya mereka menggunakan ganja secara asal-asalan dan berakibat fatal.

–Khorik Saifulloh–

Bumi ini mencakup, menjamin hidup manusia dan kebutuhannya, tetapi bukan keserakahannya   –Mahatma Gandhi— (1869-1949)

Ganja adalah tanaman yang sering dipandang negatif oleh masyarakat dunia. Hal ini dikarenakan pengetahuan tentang tanaman ini sangat jarang sampai kepada masyarakat umum, baik mengenai jenis-jenis maupun pemanfaatannya. Akan tetapi, dibalik image negatif dari tanaman ini, terdapat nilai-nilai positif yang tidak mendapat expose yang cukup. Banyak pihak yang sudah menyadari akan hal tersebut. Beberapa di antaranya berusaha untuk menyebarluaskan informasi terkait pemanfaatan ganja secara positif, bahkan berusaha untuk membawa ganja ke dalam kehidupan masyarakat luas sebagai komoditas yang legal dan berdaya guna tinggi.

Ganja (Cannabis sativa atau Cannabis indica) adalah tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal sebagai obat psikotropika karena adanya kandungan zat tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol yang dapat membuat pemakainya mengalami euforia). Tanaman ganja biasanya dibuat menjadi rokok mariyuana. Tanaman semusim ini tingginya dapat mencapai 2 meter. Berdaun menjari dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda (berumah dua). Bunganya kecil-kecil dalam dompolan di ujung ranting. Ganja hanya tumbuh di pegunungan tropis dengan ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut.

Menurut Kamus Sejarah Indonesia, Cannabis Sativa atau ganja “berasal dari Laut Kaspia, tetapi dilaporkan berasal dari Jawa pada abad ke-10”. Kamus tersebut mengemukakan bahwa ganja digunakan sebagai sumber serat dan minuman keras, meskipun penggunaannya tidak seumum konsumsi tembakau, opium atau betel. Ganja atau Bang sebagaimana dicatat oleh sejumlah penulis Belanda selama masa penjajahan dijadikan sebagai “agen intoksikasi” yang daunnya dicampur dan dibakar dengan tembakau terutama di wilayah Aceh. Ganja sering juga dikenal sebagai zat yang bisa menambah nafsu makan dan secara bersamaan juga berfungsi sebagai pengganti opium. Terdapat juga laporan bahwa daun ganja dicincang terkadang direndam dalam air, dikeringkan, dilinting di dalam daun palem nipa dan dibakar seperti rokok. Konon, daun ganja kering yang dibungkus dengan daun jagung atau daun pisang dapat menghasilkan efek yang lebih kuat.

Walaupun ganja biasanya tumbuh di bagian utara pulau Sumatera, beberapa dokumen mengemukakan bahwa tanaman ganja juga tumbuh di wilayah lain Hindia Belanda seperti di wilayah Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), dan Ambon. Tampaknya selama akhir abad ke-19, ganja masih belum dikenal di kalangan masyarakat Jawa, namun ada asumsi bahwa tanaman itu mungkin saja telah dibudidayakan di pulau tersebut mengingat keakraban masyarakat setempat dengan istilah-istilah seperti ganja atau gandja. Daun ganja dan opium digunakan oleh masyarakat khususnya pemilik toko atau pemilik warung untuk meningkatkan aroma dan efek narkotik dari tembakau kering yang dilinting dalam daun pisang. Penduduk asli Indonesia lebih menyukai tembakau yang jauh lebih kuat dari pada orang-orang Belanda dan tidak menghindari efeknya yang mampu mengubah kesadaran.

Meskipun budidaya ganja di kepulauan Indonesia dikatakan kurang umum daripada di daratan Hindia, ganja masih ditanam di Ambon dengan biji yang didapatkan dari Jawa. Ada juga di antara masyarakat muslim Ambon, daun ganja dibakar dengan tembakau, kemudian bisa menghasilkan efek bervariasi mulai dari agresi sampai dengan rasa sedih dan melankoli.

Pada akhir abad ke-19, iklan ganja kadang-kadang muncul dalam beberapa koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda, sebagian besar iklan-iklan itu berusaha untuk mempromosikan rokok ganja sebagai obat untuk beragam penyakit mulai dari asma, batuk dan penyakit tenggorokan, kesulitan bernafas, dan sulit tidur. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa iklan-iklan tersebut pada umumnya diarahkan untuk masyarakat Eropa yang berada di Hindia Belanda mengingat penggunaan ganja secara medis yang umum di Eropa pada waktu itu.

Banyak sekali berbagai manfaat yang bisa didapat dari tanaman pohon ganja ini, di bidang industri misalnya, tanaman pohon ganja ini bisa dan dapat digunakan menjadi kain dan dijadikan baju atau pakaian yang mana baju dan pakaiannya sendiri mempunyai keunggulan dibanding dengan kain dan baju yang dibuat dari bahan dasar selain pohon ganja. Baju dari serat pohon ganja ini mempunyai manfaat anti mikroba di dalamnya. Jelas bahwa jika kira-kira kalau dipakai selama kurang lebih 3 hari, maka bau tidak enak pun sulit terdeteksi hidung dan tidak membuat kulit menjadi gatal. Kemudian di bidang medis dan pengobatan, tidak dipungkiri manfaat tanaman pohon ganja di bidang ini sangat banyak, misalnya untuk orang sakit tanaman pohon ganja bisa digunakan sebagai pereda rasa sakit tersebut. Secara kebudayaan pun tanaman pohon ganja dianggap sebagai “lako kopi (Bahasa Aceh) yang berarti istri pohon kopi, maksudnya adalah tanaman pohon ganja menjadi pelindung pohon kopi dari serangan hama karena hama lebih memilih hinggap di pohon ganja ketimbang pohon kopi ketika pohon ganja ini ditanam di sekitar pohon kopi.

Sejarah juga menyebutkan bahwa nenek moyang orang Aceh menggunakan akar ganja sebagi obat diabetes, pun juga minyak dari biji ganja yang ternyata banyak sekali mengandung asam lemak esensial yang takarannya melebihi dari tanaman lain. Berbeda dengan wilayah Aceh, di wilayah Ambon akar ganja dikonsumsi untuk mengobati gonorea, sementara itu bagian daunnya kadang-kadang dicampur dengan pala dan diseduh sebagai teh untuk tujuan mengurangi gangguan asma, nyeri dada pleuritik, dan sekresi empedu. Selain itu, teh ganja yang diolah dengan daun ganja kering secara rekreasional dikonsumsi untuk meningkatkan rasa kesejahteraan yang oleh penduduk setempat disebut sebagai hayal, mirip dengan kata Indonesia modern khayal (keadaan berimajinasi atau berfantasi).

Pada bukti sejarah yang berdasarkan kitab agama orang Hindu dijelaskan bahwa tanaman pohon ganja adalah tanaman yang dikeramatkan, tanaman yang disakralkan. Mengingat bahwa efek dari penggunaan tanaman pohon ganja adalah hayal, namun karena efek samping itulah yang malah membuat tanaman pohon ganja disakralkan. Bagi mereka efek tersebut perlu karena untuk mendukung aktivitas spiritual mereka. Ketika mereka menggunakan ganja dan mendapatkan sensasi tersebut, maka peribadatan dan spiritualitas mereka akan meningkat.

Wilayah Aceh memang dikenal sebagai sumber utama produksi ganja, namun ada juga beberapa wilayah lain di Sumatera di mana ganja dibudidayakan secara ilegal untuk tujuan komersial: seperti Bengkulu (provinsi Sumatera Barat), Provinsi Lampung, Mandailing Natal (Sumatera Utara), Kalimantan Barat, dan Jayapura, Papua. Luas perkebunan ganja di wilayah-wilayah Sumatera umumnya tidak melebihi satu hektar. Karena kebanyakan petani ganja bukanlah pemilik tanah, mereka harus membayar sewa tanah untuk lahan di mana mereka membudidayakan ganja, sementara beberapa petani lainnya hanya memulai budidaya ganja mereka pada lahan kosong atau pada lahan-lahan yang tidak terpakai. Untuk alasan keamanan dan strategis lahan, para petani ganja kadang-kadang meninggalkan lahan mereka setelah musim panen lalu beralih ke lahan lainnya. Di Aceh, hal ini juga merupakan sesuatu yang umum bagi rumah tangga setempat untuk menanam beberapa tanaman ganja di halaman belakang rumah mereka sendiri, meskipun pada umumnya hasil panennya tidak dijual untuk tujuan komersial. Karena statusnya yang ilegal belum lagi karena sanksinya yang berat, terdapat banyak petani ganja yang mencari dan/atau menerima perlindungan dari pasukan militer Indonesia (Tentara Nasional Indonesia) terutama dengan membayar suap.

Rata-rata seorang petani ganja di Aceh menjual satu kilogram ganja seharga kurang lebih Rp 300.000. Di Medan, ibukota Sumatera Utara, bandar lokal biasanya membeli bungkusan ganja ini dengan harga sekitar Rp 1.500.000. Setelah tiba di Jakarta, harga grosirnya bisa mencapai lebih dari dua kali lipat atau sepuluh kali harga yang dibayarkan kepada para petani. Semakin jauh ke arah timur Indonesia, harga jualnya semakin meningkat. Berbeda dengan situasi di dalam sebuah pasar yang diregulasi secara legal, bandar atau kurir lokal menjual ganja per paket tanpa menggunakan satuan pengukuran seperti gram atau ons. Harga sebuah paket ganja dapat mencapai sekitar Rp 100.000.

Terlepas dari tulisan panjang di atas, kiranya memang benar jika tanaman pohon ganja adalah sebuah komoditas unggul baik secara harga maupun manfaat yang diperoleh darinya. Akan lebih baik jika pemerintah melihat hal ini, terlebih pemerintah mau dan mampu memberikan ruang terhadap legal penggunaan ganja di Indonesia, mungkin dengan membuat pembentukan BUMN khusus untuk menangani ganja agar dari sisi hulu sendiri yakni petani mendapat manfaat lebih dalam hal ini adalah uang dan juga dari sisi hilir masyarakat mampu mendapat manfaat lebih dari adanya tanaman pohon ganja yang ditanam.

Namun jauh dari kata “legal ganja di Indonesia” serta berbagai angan-angan indah yang menyertainya, pada saat ini tanaman ganja sendiri penuh dengan polemik yang rumit.

Pertama, mulai saja dari stigma masyarakat mengenai tanaman pohon ganja itu sendiri. masyarakat cenderung menganggap bahwa tanaman pohon ganja adalah sebuah racun, barang haram yang harus jauh-jauh sekali tidak didekati. Masyarakat juga beranggapan bahwa mereka yang menggunakan ganja adalah sebagai orang yang tidak baik dan sebagai sampah di masyarakat.

Kedua, Penggunaan tanaman ganja yang tidak tepat, memang dari berbagai segi manfaat tanaman ganja sangat berguna bagi kehidupan manusia, tapi pada kenyataannya untuk mendapat manfaat dari tanaman ini para pengguna tidak mempunyai pengetahuan yang mempuni, tidak mempunyai takaran yang tepat untuk penggunaan ganja, akibatnya mereka menggunakan ganja secara asal-asalan dan berakibat fatal.

Ketiga, Penindakan yang tidak tepat terhadap para pengguna ganja, mereka yang menggunakan ganja hanya mempunyai 2 pilihan ketika mereka teridentifikasi benar-benar menggunakan ganja, yakni membayar atau penjara. Padahal jika merujuk pada psikologis mereka lebih baik tidak dipenjara ketika mereka tidak bisa membayar aparat yang menangkap mereka, melainkan direhabilitasi secara khusus untuk memulihkan kembali psikologis mereka.

Keempat, Hukum peredaran ganja di Indonesia, kenapa dari sekian banyak tanaman aset seperti rempah-rempah, karet atau rotan, dan lain sebagainya yang diilegalkan hanya pohon ganja? Sejarah mencatat pada tahun 1961 PBB mengadakan konverensi tunggal mengenai narkotika, salah satunya dalah putusan bahwa ganja termasuk dalam narkotika golongan 1 dan ganja diilegalkan. Kemudian pada tahun 1971 Indonesia merativikasi hasil konverensi tersebut, 1976 lahir undang-undang narkotika hasil rativikasi PBB tahun 1961, tepat pada tahun 2002 pada periode kepemimpinan Megawati sebuah badan independen bernama Badan Narkotika Nasional (BNN) didirikan pada bulan Maret 2002. BNN memimpin pelaksanaan program-program anti-napza yang melibatkan berbagai lembaga pemerintah hingga ke tingkat desa. Kemudian BNN mengusulkan sebuah “rencana perang” yang bertujuan untuk mewujudkan “Indonesia bebas napza pada tahun 2015”.  Lalu yang menjadi pertanyaan kenapa PBB meng-ilegal-kan ganja ? Siapa saja dalang di balik sikap PBB tersebut ?

Negara besar yang memenangi Perang Dunia ke-2 seperti Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina adalah negara-negara yang mengagas berdirinya PBB, mereka memegang hak veto lewat PBB, mereka memonopoli termasuk didalamnya tanaman pohon ganja, misalnya ketika berbicara industri, produsen terbesar baju atau barang tekstil adalah Cina kemudian Prancis adapun negara Rusia berada pada posisi nomor 4, lalu ketika negara-negara ini menjadi produsen, negara Amerika juga ikut andil menjadi konsumen. Beralih pada bidang medis lewat WHO yang menjadi badan kesehatan dunia membuat fatwa bahwa narkotika golongan 1 termasuk di dalamnya ganja tidak dapat digunakan dalam hal medis. Namun, kenyataan berkata lain di negara Inggris ganja menjadi benda istimewa, dari hal tersebut Inggris menjadi negara yang mempunyai hak paten dalam pengobatan yang dibuat dari ganja.

Terlepas dari paparan panjang di atas sampai kapan Indonesia menjadi negara yang dikecilkan lewat sistem-sistem besar yang dibuat oleh mereka ? Mengapa Indonesia tidak menjadi negara yang mandiri dan mampu menyejahterakan para petani dan masyarakatnya ?

sumber gambar: kompas.com

(Visited 10 times, 1 visits today)