Polarisasi yang diamini oleh budaya dan konstruksi sosial tidak serta merta membuat perempuan mundur dan berhenti melawan. Bahkan bisa jadi perlawanan mereka semakin gencar dan keras.
_Khorik Saifulloh_
Khorik Saifulloh
“I’d rather have roses on my table than diamonds on my neck (Saya lebih suka memiliki mawar di meja saya dari berlian di leher saya)”- Emma Goldman
Perjuangan perempuan atas kesetaraan bukan lagi menjadi hal yang baru. Feminisme sebagai sebuah bentuk perlawanan atas kuasa laki-laki terhadap perempuan memang benar-benar menjadikan wanita itu terkucilkan bahkan teralienasi dari kehidupan mereka sendiri.
Khusus untuk ini, setelah beberapa minggu saya laui bersama mereka (wanita pekerja seks) yang saya temui di beberapa lokalisasi, kisah-kisah dan cerita menarik dari mereka saya dengar dan catat dengan baik.
Terlepas catatan saya pada akhirnya digunakan untuk laporan magang yang sedang saya jalani, cerita-cerita dari mereka setidaknya sedikit banyak menguga犀利士 h saya untuk menyelesaikan tulisan ini, tentang bagaimana mereka melawan kuasa patriarki laki-l犀利士 aki dengan cara yang sangat mempesona. Buat saya sendiri dan semoga anda juga, ya.
Tertatihnya perempuan dalam melawan batas-batas ruang gerak yang sengaja disempitkan dan dinormalkan menjadikan indikasi bahwa perjuangan mereka belumlah berhenti. Polarisasi yang diamini oleh budaya dan konstruksi sosial tidak serta merta membuat perempuan mundur dan berhenti melawan. Bahkan bisa jadi perlawanan mereka semakin gencar dan keras.
Bentuk nyata perlawanan kaum perempuan terhadap ketidakadilan sebagai implikasi narasi panjang perjuangan secara publik dapat dilihat dari adanya feminisme itu sendiri juga pada aksi nyata di ruas-ruas jalan, sayangnya begaimana pun mereka mengekspresikan perlawanannya hal itu tetaplah diangap sebagai sesuatu yang wajar sebab secara historis kaum laki-laki selalu memiliki struktur yang unggul dibanding perempuan.
Ketika laki-laki menjadi sangat dominan pada sektor ruang publik, maka perempuan juga bisa sangat dominan pada sektor ruang privat. Hal ini bukan berarti tidak ada pengaruhnya terhadap perlawanan yang diberikan perempuan. Melainkan justru melalui ruang privatlah perempuan melakukan perlawanan yang amat substansial.
Dalam sejarah kita bisa melihat bagaimana dulu perempuan di Jawa menjadi begitu dominan, bukan hanya dalam ruang privat tapi juga pada ruang domestik. Sebut saja beberapa nama seperti Ratu Sima, Ken Dedes, Rajapatni atau Tribuwanatunggadewi.
Dalam bukunya “ Kuasa Wanita Jawa” Handayani dan Novanto menjelaskan setidaknya ada dua strategi kekuasaan yang dilakukan oleh wanita jawa. Pertama, memainkan ruang kekuasaan. Premis bahwa wanita Jawa bersifat lembut, pengayom, sabar dan juga kalem, mereka (wanita Jawa) menjauhkan perlawanan yang dilakukan dari bentuk-bentuk perlawanan secara konfrontatif, perlawanan yang diberikan oleh mereka lebih bersifat tawar atau diplomasi. Hal ini didukung dengan kultur orang Jawa yang menganggap semakin besar kekuasaan semakin halus pula cara bersikapnya. Pada praktiknya proses tawar menawar atau diplomasi ini terjadi ketika sedang berada di ruang pribadi, yakni kamar tidur. Kedua, penaklukan diri ke dalam. Strategi ini berlandaskan prinsip penyerapan energi kaum laki-laki oleh wanita melalui startegi “memangku” yang diimplentasikan melalui praktik mengabdi dan melayani secara total sang suami. Dalam proses ini terkandung makna kesediaan wanita menjadi tempat bersandar kaum laki-laki yang sesungguhnya bermaksud membuat suami tergantung pada istrinya.
Senada dengan dua prinsip tersebut praktik perebutan kekuasan benar-benar terjadi pada lingkungan lokalisasi. Proses tawar atau diplomasi dilakukan di ruang privat (kamar) oleh mereka (wanita pekerja seks). Seringnya proses ini dilakukan karena mencegah terhindarnya penyakit seksual, khususnya HIV dengan meminta pasangan seksualnya memakai alat kontrasepsi. Selain hal tersebut, proses tawar juga meminta pasangan seksual tidak mengusai berjalannya proses silaturahmi biologis secara egois atau mengharuskan terjadi proses seksual secara dua arah.
Proses penaklukan diri ke dalam juga diimplementasikan secara halus oleh mereka, banyak di antara pelanggan yang datang dari berbagai latar belakang, tidak terkecuali dengan berbagai latar permasalahannya. Seringnya adalah masalah rumah tanggga atau pekerjaan. Dengan proses “memangku” mereka bertransformasi tidak hanya sebagai pemuas kebutuhan seksual, namun juga sebagai pendengar yang baik atas keluh kesah yang diceritakan. Ketika proses seksualnya sudah berakhir pelanggan akan banyak bercerita, apapun itu. Maka, dari sinilah proses kekuasaan dimulai, banyak kemudian dari para pelanggan datang tidak untuk melakukan hubungan seksual, jika sudah begini rasa ketergantungan mutlak menjadi senjata atas kekuasaan yang mereka miliki, nominal bukan lagi menjadi perkara yang harus didapat melalui proses seksual. Cukup dengan ancaman.
Sebagai penutup, kalimat dari Emma Goldman yang saya tuliskan di atas akan berbeda jika ia adalah wanita Jawa, atau setidaknya akan berbunyi “Tidak peduli saya mendapat mawar dan berlian di leher atau meja sebab saya adalah wanita Jawa”.
sumber gambar: news.harianjogja.com