Kerumitan mencintai dari seorang marxis, terletak pada perubahan logika- dalam hal ini sama seperti etika kapitalisme- yang bukan kemarin sore dilahirkan. Suatu sistem yang besar dari asuhan para intelektual yang cerdas, sehingga sejauh mata memandang sistem kapitalisme akan melekat pada struktur
_A Zahid_
*A Zahid
Dalam persoalan cinta, apa yang sulit untuk dilupakan? Terdengar sedikit aneh saat dua pasang kekasih saling bertanya satu sama lain disudut café yang tak jauh dari tempat mereka bekerja. Bukannya pertemuan seyogyanya digunakan untuk saling bertukar rindu? Bukan memunculkan dialektika yang memeras otak, sehingga lupa cara mencintai yang sebenarnya. Tetapi, bagi mereka inilah rindu yang sebenarnya dalam cinta, berkelindan dalam persoalan-persoalan yang dianggap tidak penting bagi manusia biasa.
Mungkin baginya, persoalan cinta tak ubahnya dialektika kualitatif atau perhitungan kuantitatif, artinya cinta itu imaterial, tak berdimensi dan bahkan cinta sebuah ilusi optik yang terkadang jelas dan kabur saat dimakan usia. Jika para pencinta ingin mengukur seberapa dalam mencintai, mungkin definisi ini bisa membantunya. Tapi, apakah serunyam itu persoalan cinta? Tentu iya bagi seorang Marxis, tapi tidak bagi yang lainnya, tanpa marxisme pun cinta akan mengalir seperti adanya.
Jika cinta bersifat kualitatif, logika kata akan berfungsi untuk menjaring kepentingan yang terselubung didalam-nya, seperti Bahasa PDKT. Sejauh apa pun bagi pencinta, bahasa teks yang masuk dalam handphone adalah nubuat yang harus dijalankan, tak mengenal kondisi panas, hujan bahkan persoalan irasional pun ia akan lakukan. Hanya dengan cara inilah cinta bisa diukur secara kualitatif deskriptif, pahitnya saat semua tak mampu dilakukan. Cinta bermetamorfosis menjadi logika kuantitatif.
Inilah logika cinta, yang tak tersentuh selain seorang Marxis. Jika perubahan kualitatif menjadi kuantitatif semua akan berubah pada persoalan cinta yang tak lagi imaterial, seperti perjuangan, kepanasan, kehujanan bahkan bahasa tak lagi menjadi tolak ukur dalam men-cinta-i. Pada posisi inilah cinta menjadi sangat jelas dan terukur, karenanya logika materialisme bisa dipakai dibanding idealisme, sampai di sini pasti kalian paham. Perubahan pola kualitatif menjadi kuantitatif untuk mengukur dalamnya mencintai, karenanya ilusi diubah menjadi hal yang tampak, bisa berbagai cara, Shopping salah satunya, mungkin.
Kerumitan mencintai dari seorang marxis, terletak pada perubahan logika- dalam hal ini sama seperti etika kapitalisme- yang bukan kemarin sore dilahirkan. Suatu sistem yang besar dari asuhan para intelektual yang cerdas, sehingga sejauh mata memandang sistem kapitalisme akan melekat pada struktur,- ingat struktur- bukan pada kelas. Kebanyakan kesalahpahaman ini terjadi, menganggap kapitalisme adalah kelas yang berkonotasi pada kaum borjuis dalam kelas sosial.
Sistem kapitalisme akan dirasakan oleh para pencipta yang tidak menyadari dengan pertukaran produksi cinta mereka, menganggap semua adalah sebuah keseimbangan tanpa ketimpangan. Bagi seorang marxis, hal itu haram hukumnya.
Karenanya berpikir dalam menentukan cinta agar tidak terperangkap pada jejaring kapitalisme cinta. Runyam betul persoalan ini, iya karenanya masyarakat tidak memahami dan menganggap selesai apa yang diproduksi dari cinta itu sendiri. Seperti kenyamanan, ketenteraman, dan tentunya handphone selalu berbunyi- “sudah makan sayang” atau setidaknya foto wallpaper kalian terpampang jelas, sebagai bukti bahwa cinta bisa diukur.
Logika diatas dianggap selesai dan dunia milik mereka berdua, padahal didalam-nya memilik logika kapitalisme yang pada waktunya akan menjadikan dirimu teralienasi dari segala,-ingat segalanya..!- jika kalian sadar bahwa dengan masuk dalam logika cinta kualitatif semua akan berubah menjadi logika kuantitatif, yang tak terlihat menjadi nyata, nyata adanya bahwa kita sedang dalam posisi tertindas oleh sistem logika cinta yang kapitalistik. Tidak banyak yang memperjuangkan agar cinta yang seutuhnya, alih-alih memperjuangkan, bahkan kita tidak paham bagaimana mencintai diri sendiri dalam tataran materialisme historis.
Tubuh kita adalah cerminan cinta yang sebenarnya, sebelum berlabuh pada tubuh yang lainnya- dalam cinta- kita perlu memperjuangkan kecintaan kita pada tubuh kita sendiri, bukan malah menyengsarakan diri sendiri dengan balutan cinta yang kapitalistik.
Apa lagi pertukaran dalam cinta tak seimbang dan kalian menganggap ini adalah perhitungan matematik yang satu tambah satu adalah dua, padahal logika cinta kapitalistik bagi marixis tidak seperti itu. Sistem kapitalisme saat ini tidak hanya sebagai pemilik modal, tetapi akumulasi modal yang tak seimbang dalam pembagian nilai lebih (surplus value) menjadi satu perangkat yang tak terpisahkan dalam sistem kapitalistik.
Jika hal ini dimasukkan pada persoalan dalam men-cinta-i maka “the difference between the amount raised through a sale of a product and the amount it cost to the owner of that product to manufacture it”, kira-kira seperti ini redaksi dalam Marxian surplus-value theory. Kerumitan dalam persoalan nilai lebih, tidak hanya dirasakan bagi kaum pekerja tempo dulu- tetapi tidak tahu sekarang- karena ada semacam inovasi baru dalam kapitalisme yang disebut sebagai “kesejahteraan” (uang pensiun, THR, upah tambahan, dan jaminan kesehatan serta kecelakaan), jika hal ini dianggap sebagai azimat yang bisa membuat para pekerja merasa “sejahtera” maka sepertinya kapitalisme lanjut ala Marcuse benar bisa dipakai sebagai pendekatan teoritik.
Sepertinya, tulisan ini terlalu jauh dari pembahasan dua pasang kekasih yang bercerita cinta di sudut Cafe, rumit dan runyam karena kita yang membuatnya sendiri. Tetapi dengan berbagai pendekatan secara teori, setidaknya kita tidak menyesal saat kita mencintai atau tidak mencintai seseorang karena memiliki alasan yang ilmiah, dibanding hanya sebagai pelarian dan sebagai ojek pribadi, mending jomblo dengan segudang fans yang fanatik. Tapi pertanyaannya, apakah ada seorang “Jomblo” yang memiliki segudang fans yang fanatik? Kita lanjutkan minggu depan.
sumber gambar: bukuprogresif.com