2,245 views

Panggil Aku, “Calon Arang”, Saja!

M. Syahrul Ulum*

Namun, sebelum kematian menjemputku, aku lantas memohon kepada Sang Yogiswara Mpu Baradah untuk “disucikan” dari segala hal-hal buruk yang pernah aku lakukan. Kegembiraanku semakin bertambah, di akhir hidupku aku telah mengambil jalan kebaikan dan mendapatkan kesucian.

–M. Syahrul Ulum–

Diriku terkenal di masyarakat Jawa-Bali sebagai sesosok tukang sihir yang jahat dan kejam. Kejahatan dan kekejaman yang mereka gambarkan seolah-olah menyudutkan bahwa diriku ini adalah manusia paling hina di dunia. Hingga barang siapa yang mendengar namaku, ya hanya namaku saja orang secara langsung akan menangkap gambaran yang paling jelek di lembaran kehidupannya karena perilakuku.  Sampai sekarang pun aku selalu diolok-olok, dihina, dan dianggap sebagai simbol perempuan amoral bahkan lebih kejam dari binatang buas sekalipun meskipun aku sudah lama mati. Stereotip negatif seseorang terhadap diriku memang tidak dapat dipungkiri dan aku terima dengan lapang dada sebab aku sadari bahwa diriku pernah melakukan ritual yang menyimpang dari ajaran pada umumnya, namun tidak berarti orang bebas seenaknya menjelek-jelekkanku tanpa mengambil pelajaran dari apa yang pernah aku lakukan. Sebagai orang biasa aku pun juga memiliki perasaan dan mempunyai kemauan kuat ingin menjadi lebih baik meskipun hal itu sangatlah kecil dibanding hal negatif yang menimpaku.

Sebagai seorang wanita pada umumnya yang memiliki pendamping hidup dan melakukan reproduksi biologis aku pun juga mempunyai suami dan anak. Mpu Rajakreta adalah suamiku yang menjadi penguasa Kedhaton Girah, sebuah kedhaton kecil yang menjadi bagian wilayah kekuasaan Kedhaton Medhang dengan rajanya Sang Prabu Airlangga. Hubungan kisah cinta yang mendalam didukung pula oleh tekad yang kuat pada diriku sendiri untuk membangun Girah menjadi pedukuhan yang aman dan sentosa dikabulkan oleh Sanghyang Widi dengan diberikannya pendukung moril spiritual yaitu anak perempuan yang kuberi nama Ratna Manggali. Ratna tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik daan berbudi luhur. Ia sangat memahami bahwa ia adalah anak seorang penguasa daerah yang harus mencerminkan perilaku yang baik kepada masyarakat. Namun, rasa cinta yang begitu besar antara kami berdua dengan sang suami harus berjalan begitu cepat karena sang suami memutuskan untuk meninggalkan kedhaton dan memilih untuk bergerak menuju tanah Bali. Otomatis tahta Girah diwariskan kepadaku sehingga mendapat gelaran tidak resmi sebagai Randeng Girah (Randha Natheng Girah) yaitu Janda Raja di Girah. Di tanah Bali suamiku lebih terkenal dengan nama Mpu Kuthuran.

Tidak ada alasan yang jelas termasuk diriku sendiri mengapa suamiku lebih memilih ke Bali daripada hidup berdua denganku dan buah hati dalam jangka waktu yang lebih lama. Tapi, menurut prasangka baikku bahwa suamiku meninggalkanku akibat tingkah lakuku sendiri. Sebelum menikah aku sudah mengecap pengajaran dan sudah lama menjadi pengikut setia aliran Tantra Bhairawa. Sebuah pengajaran batin dengan Dewi Durga sebagai pujaannya. Ritual yang aku jalani adalah sedapat mungkin mengorbankan nyawa manusia untuk dijadikan sesembahan kepada Sang Dewi. Nyawa manusia harus dihilangkan dari jiwanya apapun caranya bisa dengan disembelih, ditetak kepalanya, dirogoh jantungnya, kemudian usus dijadikan kalung serta sabuk, jari-jemari dirangkai dan dibuat hiasan, hingga darahnya diminum juga dibuat keramas. (Toer, 2010). Aku menyadari dengan sesungguhnya bahwa ini adalah jalan hidupku yang harus aku lakukan dengan totalitas tinggi hingga akhirnya aku bisa mendapatkan kawisesan luar biasa yaitu ilmu tenung dan sihir. Barang siapa yang menyakitiku, maka bersiaplah untuk menjadi korban sesembahan selanjutnya.

Putri satu-satunya yang aku besarkan dengan jerih payah keringatku, Ratna Manggali telah tumbuh dewasa dengan perawakan yang ideal dan berparas cantik. Layaknya perempuan pada masanya di kisaran usia belasan tahunan sudah harus memiliki pendamping hidup, namun naasnya tidak ada lelaki pun yang mau mendekatinya, melirik pun tidak. Entah karena takut padaku yang beraliran menyimpang atau memang tidak ada yang sanggup menandingi kecantikan putriku dengan ketampanan seorang lelaki, aku tak mengerti. Namun, lambat laun bukannya membantu mencarikan jodoh atau minimal menawarkan sesuatu yang terjadi malah olok-olok, hinaan, dan umpatan. “itu Ratna Manggali anak tukang sihir, hati-hati jangan mendekat”, “ooo.. itukah Ratna manggali, cantik tapi anak tukang tenung yang jelek, ahhh… jijiklahhh”, “anak peminum darah manusia, ngeri aku melihatnya”. Umpatan-umpatan yang justru lebih buruk dari perilakuku tersebut sering digunakan sebagai bahan olokan kepada putriku, tidak satu atau dua orang saja, tapi setiap orang yang menemui putriku langsunglah terlontar dari mulut dan prasangka mereka dengan nada merendahkan. Adakah seorang ibu yang tega melihat anaknya dihina orang, pantaskan seorang ibu hanya berdiam diri belaka mendengar anaknya direndahkan orang? Maka aku pun bersumpah tidak akan tinggal diam. Dengan bacaan mantra-mantra khusus yang dihadapkan kepada Dewi Durga, aku meminta pertolongan agar bisa menyihir orang-orang yang berani mengganggu putriku satu-satunya. Akupun juga meminta agar bisa menyebarkan pageblug  ke seluruh penduduk Medhang, namun tidak dengan ibu kota kedhaton dan juga Dusun Girah. Permohonanku dikabulkan!!!

Tak terhitung banyaknya orang yang mati secara tidak wajar. Semakin banyak nyawa melayang, semakin giranglah aku. Pagi gering sore langsung mati, sore gering besuknya sudah tidak bernyawa lagi, tubuhnya melepuh bagai lilin terkena api, begitulah seterusnya sampai dendamku terpuaskan. Dendam karena anakku menjadi buah percakapan, dendam karena putriku satu-satunya juga belum mendapatkan jodoh, dendam karena diriku sendiri juga tidak dihargai oleh kebanyakan orang. Berita tentang adanya pageblug yang menimpa sebagian besar rakyat Medhang sampai jugalah di telinga Sang Prabu Airlangga. Raja agung sekaligus masyhur di mata masyarakat sangatlah kuat bila bertempur secara adu fisik, namun kali ini seolah-olah tidak mampu membendung bala tentara tak terlihat yang menyambar di seluruh wilayah Medhang. Banyak korban berjatuhan, hewan ternak tak terurus, ladang sawah banyak yang kering kerontang. Medhang benar-benar dalam keadaan genting yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.

Strategi jitu pun segera dibentuk dengan diserahkan langsung kepada Mpu Baradah yaitu dengan mengirimkan misi perdamaian ke Kedhaton Girah. Siapa yang tidak kenal dengan nama besar seorang Mpu?  Mpu Baradah adalah seorang Wiku Buddha Tantrayana yang menjadi Purohita Agung Kedhaton Medhang dan memiliki padepokan di Lemah Tulis. Dengan kejernihan bathin seorang Wiku Yogiswara, maka diputuskanlah mata rantai penyebaran pageblug yang menimpa Negari Medhang dengan secepat mungkin menikahkan Ratna Manggali dengan seorang calon pengantin. Lelaki yang dipilih untuk dijadikan calon suami adalah Mpu Bahula, putra Mpu Baradah sekaligus putra angkat dari Sang Prabu sendiri.

Aku sebagai ibu kandung dari Ratna Manggali merasa terhormat menerima lamaran tersebut. Menerima Mpu Bahula sebagai menantu sama saja dengan menerima kehormatan dari dua tokoh besar tanah jawa. Bagaimana mungkin tidak merasa senang Sang Mpu Baradah adalah bekas saudara iparku. Suamiku Mpu Rajakreta adalah kakak kandung dari Mpu Baradah sendiri (Shashangka, 2019). Mengabulkan permintaan dari Sang Empu Baradah berarti juga mengangkat martabat suamiku yang sebenarnya aku sendiri masih menyimpan rasa cinta yang mendalam sekaligus juga kecewa karena ditinggalkan begitu aja. Tapi minimal inilah jalanku selanjutnya yang harus aku tapaki hingga sampai pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Aku yakin tidak ada orang yang menyamai rasa senang dan bahagianya diriku di dunia hari ini melihat pernikahan putriku satu-satunya dengan salah seorang tokoh besar di tanah Jawa. Aku puas dengan kehidupan ini….

Dan perdamaian pun tercipta karena pernikahan Dyah Ayu Ratna Manggali dengan Mpu Bahula. Untuk sementara tak ada lagi pageblug di Negari Medhang. Pernikahan dua sejoli tersebut hanyalah siasat untuk mengetahui kelemahan dari seorang tukang sihir dari Girah. Mpu Bahula lah yang diberi tugas untuk membongkar kelemahan dari segenap prajurit dan murid di Girah. Mpu Bahula berhasil mencuri rontal-rontal rahasia milikku yaitu yang memuat rahasia kawisesan juga rahasia dari Dewi Durga panutanku. Berbekal rontal rahasia tersebut, aku kalah, murid-muridku banyak yang mati, dan aku pun kehilangan kesaktianku. Aku menjadi lemah tak berdaya, aku pikir ajalku akan datang tak lama lagi, Girah berhasil ditaklukkan. Namun, sebelum kematian menjemputku, aku lantas memohon kepada Sang Yogiswara Mpu Baradah untuk “disucikan” dari segala hal-hal buruk yang pernah aku lakukan. Kegembiraanku semakin bertambah, di akhir hidupku aku telah mengambil jalan kebaikan dan mendapatkan kesucian. Bahagia karena anakku sudah mendapatkan pendamping hidup dan bahagia kedua aku mendapat penyucian dari hal menyimpang yang pernah aku lakukan sebelumnya. 

bersambung…


*penikmat folklor Kediri, lahir saka warsa 2067. Tinggal di ig: m_syahrul_ulum, fb: m syahrul ulum

(Visited 1 times, 1 visits today)