1,839 views

Pelatihan Manajemen Resolusi Konflik

Selasa, 03/11/2020 Program Studi Sosiologi Agama (SA) IAIN Kediri kembali mengadakan kegiatan. kegiatan kali ini bertajuk “Pelatihan Manajemen Resolusi Konflik” yang menghadirkan dua narasumber online dari LIPI yaitu M. Khoirul Muqtafa, Ph.D. dan secara offline dihadiri oleh salah seorang praktisi resolusi konflik yang juga anggota DPRD Kabupaten Kediri yaitu M. Zaini, S.Th.I. Pelatihan ini dipandu langsung oleh Dr. Khaerul Umam, M.Ud. Sekprodi SA dan juga dosen pengampu mata kuliah Resolusi Konflik yang mempunyai tujuan utama adalah memperkuat basis wawasan pengetahuan mahasiswa SA terkait fenomena konflik di masyarakat berikut juga cara penyelesaiannya. Oleh karena itu, dua model pelatihan dalam hal ini patut untuk dilakukan yaitu mempelajari konflik dari segi teoritis dan yang kedua tentunya implementasi resolusi konflik di lapangan. Sub tema dalam pelatihan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: memahami konflik dari berbagai perspektif analisis konflik (membaca kasus konflik keagamaan di Indonesia), manajemen konflik (negosiasi fasilitasi pihak yang berkonflik), dan belajar resolusi konflik dari arus bawah.

Konflik sebagai persoalan keseharian, bagian dari dinamika relasi sosial dan terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Konflik sering kali multilayers antara sumber dan aktor. Teori tentang konflik menyediakan perangkat untuk memahami dan menganalisis konflik, tapi setiap teori mempunyai keterbatasannya masing-masing. Disiplin ilmu resolusi konflik tumbuh dari tradisi Hubungan Internasional (multidisiplin); war studies, peace studies, conflict studies. Pendekatannya pun terus berkembang seperti power, problem-solving, culture, western vs non-western approach, liberal vs non-liberal.

Memahami konflik dari berbagai perspektif dan analisis konflik keagamaan di Indonesia. Oleh M.Khoirul Muqtafa, Ph.D

Orientasi konflik dari berbagai perspektif teori beserta pemikirnya, yaitu Karl Marx, Lewis Coser, Ralf Dahrendorf, Randall Collins.

  1. Karl Marx,

Orientasi konflik makro. Masyarakat ditandai dengan konflik kepentingan dan kontradiksi dalam sejarah manusia yang konkret (Materialisme Dialektika Historis). Masyarakat tersusun atas base ekonomi dan superstructure (government, family, religion, education, culture), ekonomi ini merujuk pada kepemilikan alat produksi. Masyarakat juga selalu ditandai dengan antagonism / kontradiksi kelas borjuis (pemilik alat produksi) dan proletar (buruh) karena dominasi kelas yang satu atas yang lain. Kelas bukan hanya merujuk pada kelompok / orang yang berada pada situasi yang sama dalam relasinya dengan alat produksi, tapi juga karena kecenderungan /kesadarannya untuk terlibat dalam konflik dengan kelompok yang lain. Kontradiksi bisa diselesaikan melalui perubahan sosial. Thus konflik sebagai alat utama perubahan. Tanpa perubahan, kontradiksi akan terus memburuk dan masyarakat akan terus terpolarisasi pada dua kelas yang saling beroposisi. Kelas yang terdominasi akan cenderung tertunduk pada “false consciousness”, ideologi borjuis “dipaksakan” kepada kelas buruh. Dominasi dan eksploitasi kelas akan terus terjadi alienasi dalam berbagai bentuk. Mendorong tumbuhnya kesadaran kelas “class consciousness”, dari class in itself  menuju class for itself, maka revolusi proletariat sebagai puncak perubahan.

2. Lewis Coser

Orientasi konflik makro, konflik tidak selalu negatif tapi juga mempunyai fungsi positif sebagai “form of socialization”, sebagai elemen penting dari pembentukan kelompok (group formation). Tidak ada masyarakat atau kelompok yang sepenuhnya harmonis. Masyarakat/ kelompok terbentuk oleh proses asosiasi dan disosiasi, konflik dan kerja sama.

Konflik berfungsi untuk membangun dan merawat identitas kelompok, konflik juga menciptakan batas kesadaran akan (consciousness) dan keterpisahan dari (awareness of separateness) berbagai kelompok yang ada. Misalnya masyarakat jawa, konflik dilandaskan dalam concusion, melalui drama, opera, komedi konflik dalam ranah ini tidak akan merubah struktur yang ada karena tidak terpaku masalah. Konflik berbeda dengan hostility. Sementara konflik berfungsi mengubah relasi (clears the air), tapi holistily (sikap ketidaksukaan) tidak selalu mengubah relasi karena hostility tidak selalu dilampiaskan pada sumbernya (spacegoating).

Dalam konteks ini, konflik bisa dibedakan pada dua hal realistic dan unrealistic. Realistic, konflik sebagai sarana. Unrealistic, konflik sebagai tujuan  (release the tension). Dalam masyarakat yang ketat savety-valve institutions dibutuhkan untuk release the tension, tetapi tidak selalu efektif untuk menyelesaikan konflik karena adanya perubahan orientasi.

Konflik bisa dibedakan atas kepentingan individu dan kolektif. Konflik juga akan sangat intense dan radikal. Semakin dekat hubungan antar kelompok orang semakin inten konflik terjadi. Konflik inten seperti hubungan dekat antara teman dan keluarga. Selain fungsi tersebut konflik juga memiliki fungsi integratif ketika terjadi karena kepentingan yang tidak melanggar prinsip dasar di mana relasi itu dibangun. Konflik dengan out group bisa berfungsi untuk memperkuat kohesi internal (in group) dengan catatan adanya solidaritas dan toleransi yang tinggi di antara kelompok. Tanpa itu, konflik akan menuju pada disintegrasi.

3. Ralf Dahrendorf

Orientasi konflik makro, masyarakat punya dua wajah yakni konflik dan konsensus. Hubungan keduanya saling timbal balik, konflik tidak akan terjadi tanpa adanya konsensus dan sebaliknya. Masyarakat terdiri dari unit-unit yang saling berhubungan (imperatively coordinated associations). Masyarakat diikat oleh sejenis “kekuatan” yang mengekang atau dipaksakan (enforced constraint). Konflik juga terjadi karena distribusi  power/ authority yang mengandaikan interest tidak selalu berjalan beriringan. Power authority melekat pada posisi, bukan individu, mengandaikan oposisi biner, superordinasi dan subordinasi, posisi ini bisa berubah sesuai dengan konteks unitnya. Contohnya seperti, kita menjadi pemimpin di sebuah organisasi namun saat di tempat kerja kita hanyalah seorang buruh. Di sini yang mengikat masyarakat ialah kekuatan yang mengekang.

Mereka yang ada dalam posisi superordinasi maupun subordinasi punya kepentingan masing-masing. Interests ini “contradictory in substance and direction”, superordinasi mengandaikan status quo, subordinasi mengandaikan perubahan. Konflik kepentingan seringkali laten sehingga legitimasi atas otoritas selalu “precarious” (ketidakpastian). Kondisi laten bisa menjadi manifest kapan saja seiring dengan transformasi kelompok dari quasi ke interest ke conflict group. Konflik mengandaikan perubahan dan pembangunan.

4. Randall Collins

Orientasi konflik mikro, struktur /stratifikasi /organisasi itu tumbuh karena adanya interaksi masyarakat. Individu /aktor tidak dikekang oleh struktur, tapi “creating and recreating” struktur/ organisasi itu sendiri, artinya seorang  individu yang aktif yang mampu menciptakan sesuatu hal. Manusia itu sociable tetapi juga conflict-prone. Manusia itu self-interested dan selalu mencari kesempatan untuk memaksimalkan kepentingan subjektifnya. Berbeda dengan exchange dan rational choice theory, manusia tidak selalu rasional (bisa sangat emosional). Kepemilikan/ pengaturan material berpengaruh pada cara orang berinteraksi, di mana yang punya lebih banyak bisa menahan godaan sedangkan yang miskin mungkin tidak. Dominasi sering terjadi yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Dalam situasi yang tidak setara, inequality, mereka yang “kaya” cenderung mengeksploitasi mereka yang miskin, dengan berbagai cara. Mereka yang kaya cenderung memaksakan sistem kultural (dalam berbagai bentuknya) kepada mereka yang miskin. Keluarga, masyarakat, organisasi adalah arena pertarungan.

KONFLIK DI INDONESIA

Peristiwa 1965 sebagai salah satu konflik yang kelam dalam sejarah Indonesia, korban mencapai angka yang luar biasa, disepakati ahli mencapai sekitar 500.000, sampai sekarang konflik ini belum terselesaikan. Sumber konflik yakni politik, ideologi, agama, ekonomi, sosial. Aktornya bermacam-macam dan berlapis-lapis, state dan non-state actor. Ada due tipe konflik yaitu konflik yang mudah diselesaikan dan yang tidak mudah diselesaikan. Konflik yang mudah diselesaikan antara lain seperti, konflik antar tetangga. Sedangkan konflik yang tidak mudah diselesaikan misalnya konflik rumah ibadah di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Gereja di Busukan Solo sebagai contoh. IMB sudah keluar, Gereja sudah dibangun lalu diprotes karena menyalahi prosedur, masing-masing pihak meng-klaim berbasis pada prosedur, mediasi sudah dilakukan berkali-kali tetapi belum selesai.

Mediasi dan rekonsiliasi, proses mediasi dilakukan antar korban dan pelaku. Sampai mencapai kesadaran, dan mendapat informasi sehingga bisa memaafkan dan terjadilah transformasi.

RESOLUSI KONFLIK DARI ARUS BAWAH

Menyelesaikan konflik sama halnya dengan menginternalisasi masalah. Pentingnya resolusi konflik di sini ialah agar tidak bias dalam memposisikan diri. Dalam membaca suatu masalah konflik, haruslah melihat dari sudut pandang masyarakatnya. Karena yang berhak mengatasnamakan masalah adalah masyarakat itu sendiri. Misanya, seorang yang bertempat tinggal di daerah pegunungan sering mengalami keguguran saat kehamilan, hal ini dikarenakan kondisi alam pegunungan yang naik turun, sehingga mengakibatkan aktivitas masyarakat dalam kondisi apapun harus tetap berdamai dengan keadaan alam. Hal seperti ini sudah biasa dialami masyarakat pegunungan karena sudah terbiasa, jadi faktor keguguran kehamilan sudah dianggap wajar dan bukan merupakan suatu masalah. Contoh lain seperti anak putus sekolah, hal ini juga dianggap biasa dan wajar dikarenakan memang jarak dari rumah menuju sekolah melalui zona yang jauh dan sulit. Selain itu pemahaman dari orang tua lebih menginginkan anaknya untuk membantunya di sawah atau kebun daripada harus bersekolah.

Hal yang perlu dicari ialah mencari akar masalah. Kesadaran dari masyarakat perlu dibangun. Bahwa sebenarnya hal-hal yang dianggap wajar tersebut merupakan suatu bentuk ketidakwajaran dan itu ialah masalah yang perlu diperbaiki. Kesadaran kritis sangat dibutuhkan masyarakat. Peningkatan kesadaran kritis ini bisa dilakukan melalui edukasi, pembinaan dari pemerintah desa, dan lain sebagainya.

Selanjutnya ialah proses integrasi, seperti terlibat langsung dalam masyarakat, melakukan perubahan untuk masyarakat, membangun kesadaran kritis masyarakat, dan pendekatan terhadap masyarakat. Dalam proses menyelesaikan konflik bukan hanya mampu membaca suatu bentuk permasalahan, tetapi juga harus membangun relasi terhadap masyarakat. Dengan melakukan pendekatan secara intensif, maka dalam penyelesaian masalah pun akan berjalan lebih mudah. Selain itu melepaskan latar belakang juga diperlukan dalam proses pendekatan. Misalnya latar belakang seorang pejabat pemerintah, mahasiswa, tokoh agama, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman ataupun prasangka sebagai kepentingan pribadi dari pandangan masyarakat luas.

Y. Vita (pen)

(Visited 20 times, 1 visits today)