1,506 views

Agama, Modernitas dan Momen Eksistensial dalam Keseharian Kita

Khaerul Umam**

Dengan lahirnya kesadaran eksistensial ini, kita akan terlatih melihat apapun (peristiwa, benda-benda) sebagai sebuah entitas yang tidak hanya menguasai kesadaran kita untuk berfikir secara kalkulatif, tetapi kita akan menuju kesadaran reflektif pada tiap benda dan peristiwa dalam keseharian kita, mengalami keintiman dengan benda-benda dan peristiwa-peristiwa. –Khaerul Umam–

Awalan

Momen keseharian kita berjalan dan digiring pada momentum yang rutin. Pagi berangkat kerja, pulang sore bahkan malam, pulang ke rumah langsung istirahat, dan pagi sudah harus berangkat lagi. Saat liburan, hari-hari kita habiskan berkumpul dengan keluarga, atau kita tak memiliki waktu libur, karena mengerjakan tugas tambahan untuk mengejar monday deadline. Begitu terus setiap hari, minggu dan bulan. Seolah biasa saja, datar dan tanpa makna. Tiba-tiba kita sudah merasa tidak muda lagi, perubahannya begitu cepat.

Perubahan itu juga dianut oleh teknologi, ia berubah setiap saat, tanpa bisa diimbangi oleh kemampuan kita untuk memahami makna dan meraihnya. Kita terperdaya, dimanja dan “dibantu” sedemikian rupa, hingga pekerjaan-pekerjaan kita semakin mudah untuk diselesaikan.

Tulisan ini hadir untuk mencoba merefleksikan keseharian kita, rutinitas harian yang selama ini “mungkin” tak terfikirkan. Baik terhadap aktifitas, benda-benda yang kita lihat dan gunakan, kejadian-kejadian yang kita rasakan dan saksikan. Juga terhadap ruang permenungan antara kita dengan Tuhan.

Menyoal Agama

Banyak ilmuan yang mendefinisikan arti agama. Dari yang menggunakan pendekatan structural-fungsional maupun kultural. Namun, lepas dari berbagai macam pengertian tentang agama, penulis cenderung sepakat dengan EB Tylor yang menyebutkan bahwa agama merupakan keyakinan terhadap yang spiritual.

Definisi ini nampaknya cocok untuk mengakomodir semua kelompok yang memiliki sistem keyakinan terhadap hal-hal yang bersifat adiluhung/transenden. Spiritualitas adalah kondisi kejiwaan manusia yang berada pada tingkat kenyamanan dan ketenangan. Ia tidak terganggu dengan bisingnya aktifitas hidup, atau kerakusan nafsu untuk selalu dipenuhi. Dan spiritualitas itu merupakan inti dari agama. Sehingga agama juga merupakan seperangkat sistem nilai yang dapat menuntun manusia menemukan jalan kebaikan, ketenteraman dan kebahagiaan.

Sebagai sistem nilai, agama memiliki peran menjaga manusia dari keinginan-keinginan hewani atau nafsu-nafsu kasar yang hanya akan membawa manusia pada titik kesengsaraan.

Sejak kelahirannya agama menuntun manusia untuk selalu memberi kebaikan kepada sesama manusia, tidak hanya itu, kebaikan tersebut juga harus diterapkan kepada sesama makhluk ciptaan yang lainnya agar tercipta harmonisasi kehidupan. Manusia menjaga alam dan alam pun akan dengan sendirinya menjaga kehidupan manusia.

Namun, dalam babakan sejarah selalu saja tercatat berbagai peristiwa yang menggambarkan kemurkaan alam terhadap manusia. Apakah setiap kejadian bencana alam seperti banjir, gempa, gunung meletus dan lain-lain, adalah sesuatu yang terjadi tanpa sebab dan akibat? Ataukah, ia merupakan akibat dari apa yang telah dilakukan oleh manusia?

Terhadap pertanyaan tersebut, agama menjawab. Dalam Islam dijelaskan dengan tegas bahwa kerusakan yang terjadi baik di daratan maupun di lautan itu adalah akibat dari ulah tangan manusia. (QS. Ar-ruum: 41). Alam menjadi murka dan kemurkaan alam merupakan kemurkaan Tuhan juga. Karena sesungguhnya Tuhan menitipkan ciptaannya tersebut untuk diperguanakan dengan baik oleh manusia.

Peristiwa-peristiwa yang telah tercatat dalam kitab suci agama-agama merupakan bukti bahwa agama menjadi sarana untuk mengingatkan manusia akan kodratnya dalam babak kehidupan. Kini, sejak kelahirannya hingga saat ini, agama-agama (baik yang besar maupun yang kecil) mengalami satu perubahan kondisi yang sangat besar.

Dahulu agama dianut oleh sedikit manusia sehingga perananya sebagai penjaga moral umat, masih mudah dilakukan mengingat pembawa pesan Tuhan (nabi) masih satu zaman dengan mereka. Nabi menjadi pusat pengaduan akan persoalan persoalan yang menimpa kehidupan mereka. Kini setelah puluhan abad lamanya dan agama tersebar ke berbagai pelosok dunia, masihkan ajaran tentang nilai-nilai itu dapat dipertahankan dan relevan? Siapa yang seharusnya melanjutkan tugas kenabian, membawa risalah agama agar tercipta kebahagiaan bagi umat manusia? Atau agama kini sudah kehilangan “taji”nya. Sesuai dengan apa yang diprediksi August Comte dan kelompok evolusionis lainnya, bahwa gerak sejarah akan menggatikan agama dengan ilmu pengetahuan, benarkah?

Modernitas dalam Keseharian Kita

Ilmu pengetahuan melahirkan sebuah masa yang disebut era modern. Modernitas ditandai dengan peran akal yang mendominasi setiap unsur kehidupan manusia. Segala sesuatu dianggap benar manakala ia benar secara akal. Akal menjadi ukuran sebuah kebenaran. Akal kemudian berkelindan dengan pengalaman (empirisme), menghasilkan sintesa baru, terciptalah positivisme, suatu paham kebenaran yang mengukur bahwa segala sesuatu benar jika sesuai dengan ukuran yang sudah ditetapkan. Panas, harus ditentukan dengan derajat, jauh diukur dengan satuan meter, dll.

Modernitas juga merambah pada seluruh sendi kehidupan manusia. Kini dengan kemampuannya, manusia mampu menciptakan teknologi demi memenuhi kebutuhan manusia. Komunikasi yang dahulu dibangun melalui tatap muka, kini hanya dengan memijit tombol dengan jarak dimanapun maka komunikasi dapat berlangsung. Dahulu membajak sawah menggunakan kerbau, kini mesin traktor sudah siap menggantikannya. Intinya, dahulu manusia membantu mesin, kini, mesin lah yang membantu bahkan menggantikan peran manusia.

Akibat lain dari modernitas adalah semakin dekatnya jarak manusia di bumi ini. Orang yang berada di ujung barat bumi ini akan mudah berkomunikasi dengan mereka yang berada paling jauh sekalipun. Akibatnya kebudayaan suatu bangsa sangat mudah dilihat dan dirasakan oleh bangsa lain. Modernitas menghapus sekat-sekat dari setiap peradaban manapun.

Kondisi ini (modernitas) menjadi persoalan, manakala suatu bangsa yang memiliki akar budaya yang kuat dalam menjaga integrasi penghuninya, kini dihadapkan pada gambaran budaya baru yang asing dan berbeda dari kebudayaan mereka selama ini. Melihat hal ini, pilihannya hanya ada pada beberapa kemungkinan, mempertahankan budaya sendiri dengan acuh ketika melihat budaya asing yang masuk, atau mengikuti budaya asing tersebut dan menggantikan budaya lama. atau mengambil pilihan ketiga untuk mengambil sesuatu yang positif dari apa yang datang dari luar sembari menambal kekurangan-kekurangan yang telah dimiliki.

Satu hal yang telah dilahirkan modernitas adalah media. Media menampilkan secara detil setiap objek yang menjadi tampilannya. Terutama media elektronik seperti televisi, handphone dan internet, ia tidak hanya memvisualisasikan objek sasarannya tapi juga menjelaskan sisi lain (makna) dari objek tersebut. sehingga, ketika budaya asing ditampilkan dalam media, ia mewakili secara keseluruhan dari budaya tersebut.

Maka, ketika media hanya dikuasai oleh tampilan-tampilan budaya yang datang dari asing, secara tidak sadar kita dan semua yang melihat tampilan tersebut akan terpesona dibuatnya.

Intensitas tayangan di media yang tinggi, menciptakan suatu klaim kebenaran dalam bawah sadar kita maupun generasi kita. Sehingga akan sangat mungkin, media menjadi sarana penguatan klaim kebenaran dari budaya asing yang kita terima setiap hari di televisi. Dan jika itu terjadi, bukan tidak mungkin kebudayaan asli kita akan tercerabut dari akarnya, dan ditinggalkan oleh generasi sesudah kita.

Serangan itu dikemas dalam berbagai nama dan bentuk. Sebagai informasi, pengetahuan dan bahkan sebagai sistem nilai. Kita memamah biak apa yang kita lihat tersebut sehari-hari, tanpa filter, menjadi teman hiburan kita di saat penat dengan segala aktifitas harian, aktifitas yang membosankan yang menuntut kita untuk selalu menjalankan dan tak kuasa menghindarinya. Kita dikontrol oleh harapan-harapan kosong yang tidak pernah menjanjikan kebahagiaan apa-apa.

Modernitas, selain menawarkan kesenangan, ia juga menciptakan keterasingan. Karena yang diberikannya adalah kesenangan semu. Kita disodorkan produk teknologi dengan kualitas terbaru, kita tertarik dan berusaha untuk memilikinya. Hal itu menambah semangat kerja kita untuk mengumpulkan modal agar bisa membelinya. Setelah terbeli, kita merasa senang. Namun kesenangan itu tak bertahan lama, karena teknologi menjanjikan kecepatan, tak berselang lama, teknologi dengan kualitas yang lebih tinggi diiklankan di TV dan Gadget kita. Teknologi yang lama pun kehilangan nilainya, nilai kebaharuan. Dan kita berusaha kembali untuk melakukan hal yang sama, berputar-putar, juga terhadap semua benda yang dijajakkan di pasar imajinasi kita.

Itulah sekelumit gerak keseharian kita, suatu fenomena yang kita rasakan sehari hari. Begitu intens, sangat dekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan. Berisi ketegangan-ketegangan hidup untuk memenuhi harapan dan keinginan, yang sesungguhnya bukan sesuatu yang menjadi dasar kebutuhan kita. Harapan yang “dipaksakan” oleh sesuatu yang ada di luar diri kita, namun seolah-olah kita sangat membutuhkannya. Harus meraihnya. Bahkan dengan jalan apapun, termasuk harus merampas hak orang lain, mengeksploitasi makhluk lain. Dan kita semakin kehilangan makna hidup, kita kehilangan kemanusiaan kita.

Saat kualitas kemanusiaan kita berada pada titik yang paling rendah, kita disebut sebagai binatang, bahkan jauh lebih binatang. Orang tua bisa membunuh anaknya, juga bisa sebaliknya. Kakak dengan adik bisa saling membunuh karena berebut warisan orang tua. Seorang guru melecehkan muridnya, dan bahkan seorang tokoh agama dengan mudahnya melakukan korupsi, untuk mendapatkan kekayaan ataupun jabatan tertentu. Eksploitasi alam dilakukan tanpa memikirkan dampak ekologisnya, merusak keseimbangan. Semua dilakukan karena menuntut sebuah materi dan menegasikan nilai-nilai spiritual. Akibatnya, perang, konflik, bencana alam selalu menghantui keseharian kita.

Materi merupakan sebuah pusat kebahagiaan yang digambarkan dan diproyeksikan oleh modernism.`seperti kita ketahui, modernisme berpijak pada filsafat materialisme, sebuah paham yang menyatakan bahwa kebenaran itu harus bersifat materi, nampak bisa diindra. Dampak dari cara berfikir demikian adalah logosentrime pemikiran yang berpusat pada materi, sekali lagi ia menegasikan sesuatu yang transenden dan spiritual.

Momen Eksistensialis dan Agama

Eksistensialisme merupakan cara (berfikir) meng-ada dalam kehidupan. Pemikiran ini lahir dari penolakan terhadap para pemikir barat yang berusaha mencari dasar dari segala sesuatu. Platon menemukan idea, Aristoteles menemukan substansi, kaum agamis menemukan Tuhan sebagai zat paling akhir, Hegel menemukan Roh Absolut, dan Nietzsche Kehendak Kuasa. Dan apa yang paling mendasar (on; ontos) kemudian diberi derajat paling tinggi (theos) serta dipikirkan. (Basis, 07-08, 2018, 5). Semuanya membicarakan sang ada, namun tidak pernah sama hasil akhirnya. Menurut Martin Heidegger sang ada selalu menampakkan diri dalam ketiadaan.

Inti dari eksistensialisme adalah manusia menjadi pusat kesadaran, ia menjadi subyektif di tengah dorongan kebanyakan manusia untuk bersifat obyektif terhadap segala sesuatu. Berfikir obyektif akan mendorong seseorang untuk juga berfikir dengan cara kalkulatif. Terhadap benda dan segala sesuatu kita memikirkan fungsi benda tersebut. Ketika kita melihat pulpen (ballpoint) secara refleks kita akan memikirkan fungsi pulpen sebagai alat tulis, kita tidak pernah terlatih untuk melihat pulpen sebagai pulpen pada dirinya sebagai sebuah benda yang apa adanya pada dirinya. Yang terjadi adalah kita selalu dituntut untuk memahami benda berdasarkan apa yang ada pada fikiran kita. dan apa yang ada pada fikiran kita adalah apa yang banyak difikirkan orang tentangnya. Kita menjadi manusia kebanyakan (das man).

Pun dalam soal agama. Rutinitas keagamaan kita dituntut untuk selalu menjalankan kewajiban yang bersifat ritualistik. Kita, dalam beragama menjalankan ritual harian seperti solat, bersuci dan lainnya bukan karena kesadaran bahwa ritual tersebut adalah penting. Akan tetapi kepentingan ritual itu disandarkan pada kepentingan tujuan akhir atau akibat dari ritual tersebut, misalnya mendapat pahala, menumpuknya dan kita akan meraih surga (kenikmatan materi) di kehidupan setelah mati (akhirat). Kenikmatan surga (nanti) menjadi tujuan, meski harus dilalui dengan merasakan ketidaknikmatan (keterpaksaan) dalam menjalankan ritual ibadah di dunia, saat ini. Maka sangat sering kita menjalankan ritual ibadah dengan “terpaksa”, karena takut neraka dan menginginkan surga, seperti ungkapan musisi Ahmad Dani. Dan ini menjadi cara berfikir manusia beragama kebanyakan. Pada titik ini eksistensi kita hilang.

Soren Kierkegaard seorang eksistensialis lain menunjukkan bagaimana bereksistensi dalam beragama. Menurutnya, kebanyakan para cerdik beragama hanya mampu berbicara dan mengetahui tentang hakikat agama. Mereka paham cara menjelaskan iman, pengertian tentang iman. Namun pengetahuannya hanya sebatas obyek dari fikirannya. Iman tentang Tuhan ia kalkulasikan sebagai obyek yang dengannya harus kita kuasai. Ia lupa bahwa momen yang paling eksistensial dari iman tersebut adalah sebuah rasa keterhubungan dengan Tuhan. Bukan sekedar Tuhan sebagai sebuah pengetahuan yang menjadi obyek pemikiran, tetapi Tuhan yang dirasakan, dan Iman yang menggerakan kesadaran eksistensial.

Dengan lahirnya kesadaran eksistensial ini, kita akan terlatih melihat apapun (peristiwa, benda-benda) sebagai sebuah entitas yang tidak hanya menguasai kesadaran kita untuk berfikir secara kalkulatif, tetapi kita akan menuju kesadaran reflektif pada tiap benda dan peristiwa dalam keseharian kita, mengalami keintiman dengan benda-benda dan peristiwa-peristiwa. Sehingga hal-hal tersebut tidak menguasai diri (kesadaran) kita. Berbagai macam godaan materi yang berujung pada hilangnya kesadaran eksistensial, dapat kita hilangkan. Kita sadar dan menguasai segala sesuatu dengan iman, inilah kesadaran spiritual.

Akhiran

Sekedar merekam jejak para tokoh besar dunia dalam bertindak menyebarkan kesadaran spiritual, kita banyak diceritakan oleh mereka melalui buku-buku yang banyak tersebar. Dari banyak cerita tersebut, penulis menyimpulkan, bahwa untuk membangun kesadaran tersebut, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membersihkan hati kita dari penjara materi. Hal tersebut dapat dilakukan melalui kontemplasi memikirkan kedirian kita. Outputnya adalah terciptanya hubungan baik kita dengan Tuhan. Metodenya, hampir semua agama memilikinya, tinggal bagaimana kita berusaha untuk mengupayakannya.

Tak cukup berhenti di situ, karena kita memiliki tanggung jawab sosial untuk melakukan perbaikan-perbaikan bagi lingkungan kita. Dalam bentuk apapun sesuai dengan profesi yang sedang kita jalani. Sebagai seorang ayah, guru, dosen, mahasiswa, pedagang, dan semua profesi yang ada, hendaknya kita harus menjadi teladan bagi lingkungan dengan melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat dalam keseharian kita. Karena sedikit keteladanan jauh lebih berharga ketimbang ribuan nasihat. Kata Socrates, ”bila seseorang mengetahui (sadar akan) hal yang betul, maka ia akan melakukannya”.

Semoga bermanfaat.

*Tulisan ini tayang juga di www.jareinstitute.com dengan sedikit revisi. Sumber gambar utama: brilio.net


**Khaerul Umam adalah Sekretaris Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri

(Visited 3 times, 1 visits today)