1,313 views

Jerat Fitnah Mahkota Dhaha (bag 5) Basuki Yuwana Mahabharata Jawi

Konon beberapa waktu setelah Mpu Sedhah mangkat, karya monumental era Sang Naranatha Jayabhaya ini dilanjutkan oleh pujangga lain, Mpu Panuluh. Namun, kualitas dan citrarasa yang dibuat jelas tidak bisa menandingi totalitas karya dari Mpu Sedhah.

–M. Syahrul Ulum–

Rakawi Mpu Sedhah kini telah jatuh menjadi sudra, Sang Naranatha Jayabhaya tidak akan mendapatkan dosa brahmahatya walaupun telah menjatuhi hukuman mati kepadanya. Hukuman mati tersebut diterima oleh Sang Mpu dengan penerimaan yang lapang. Hingga akhir hayatnya, Mpu Sedhah tidak mau untuk mengakui perbuatan persenggamaan yang konon sengaja disebar oleh abdi kedhaton. Nyatanya memang Sang Mpu tidak pernah sama sekali melakukan perbuatan menjijikkan tersebut, berangan-angan saja tidak pernah terbersit di pikiran liar. Tuduhan yang dilayangkan kepadanya adalah noktah hitam berupa fitnah yang sudah dirancang matang-matang sebelumnya oleh pembesar Kedhaton Dhaha. Ujung-ujungnya sudah bisa ditebak hanyalah untuk menghilangkan jejak dari Sang Mpu yang baik perangai maupun kepiawiannya dalam menulis syair-syair bisa saja mengubur kejayaan Dhaha jika cara licik ini tidak dilakukan.

Sampai pada akhir saat tepat beberapa waktu menjelang ajal menjemputnya, tiada rasa gemetar bahkan takut sekalipun tidak nampak di gestur penampilannya. Wajah Sang Mpu Rakawi teramat tenang dan cerah, tak lupa senyum manis khasnya selalu menghibur kepada siapa saja yang memandangnya. Seakan-akan siapa saja yang dipandangnya lupa bahwa saat itu adalah akhir kesempatan bagi mereka melihat keturunan besar Sang Mahawiku.

Ketenangan dan keteduhannya sanggup menghipnotis menjadi sebuah ajaran rahasia dharma bhakti yang tersembunyi dalam balutan fitnah sekalipun.

Sang algojo sudah siap dengan golok tajam di tangannya. Kepala Sang Rakawi sudah terpasang di batangan kayu yang telah dilubangi, berikut seluruh anggota tubuhnya juga sudah terpasung kuat. Namun, tidak juga tampak kemarahan yang diharapkan muncul, hanyalah senyum pasrah dan sesekali mulut berkomat-kamit melantunkan mantra-mantra peneduh hati menyerahkan jiwa sepenuhnya kepada Sang Hyang Widi. “Hong Awighnamastu, pangaksaman ing hulun ri pada Batara Hyang Mami, Hong…Hong Namah Siwaya sembah ning hulun ri pada Batara”. Oleh karena ketabahan dan keteduhan yang dimiliki Sang Mpu Sedhah, pujangga lainnya dengan penuh rasa hormat dan bela sungkawa yang mendalam mereka menjulukinya sebagai Mpu Tantular. Mpu Tantular I, Tantular berarti penuh keteduhan. Dari situ, jikalau ada pujangga lain memiliki karakteritik yang hampir sama dengan Mpu Sedhah, maka sudah legal baginya menyandang gelar sebagai Mpu Tantular II, III sampai tak terhingga. Dengan meninggalnya Mpu Sedhah sudah dipastikan kelanjutan gubahan Kitab Mahabharata tidak akan terlanjutkan. Konon beberapa waktu setelah Mpu Sedhah mangkat, karya monumental era Sang Naranatha Jayabhaya ini dilanjutkan oleh pujangga lain, Mpu Panuluh. Namun, kualitas dan citrarasa yang dibuat jelas tidak bisa menandingi totalitas karya dari Mpu Sedhah. Kitab gubahan Mpu Sedhah dan Mpu Panuluh inilah yang nantinya terkenal dengan sebutan Kakawin Bharatayudha.

Bagaimana dengan nasib Sang Naranatha setelah menebar jerat fitnah? Menilik pada kisah pengalaman sang kakek yang juga pernah merajut api kebencian dengan menculik tambatan hati seorang Mpu hingga akhirnya ia tewas mengenaskan oleh serangan mendadak dari kubu lawan hanya karena ia melukai hati seorang keturunan brahmana. Lantas bagaimana kalau sengaja merancang pembunuhan kepadanya? Menarik untuk digali walat apa yang menimpa Sang Naranatha. Walat dari brahmahatya tidak selalu menimpa pelakunya, tetapi bisa juga mengarah ke anak turunnya. Sehingga, bisa ditelusuri manakah yang lebih berkuasa antara trah Jenggala dengan trah Panjalu. Jika salah satu trah tersebut hancur lumpuh bak diterpa badai topan maka itu adalah walat dari karma buruk yang dulu pernah dibuat leluhurnya. hahaha

(Visited 1 times, 1 visits today)