1,370 views

Pagebluk dan Peran Agama

Sumber gambar: jatim.idntimes.com

*Taufik al amin[1]

Wabah corona yang sudah berlangsung tiga bulan ini telah menjadikan manusia dari berbagai negara di belahan bumi ini mengalami kepanikan yang luar biasa. Dari dinamika yang berkembang, isu wabah corona ini ternyata tidak hanya melulu soal imun tubuh, hidup sehat dan kematian.

Sebagaimana kita ketahui, adanya informasi tentang virus yang mematikan ini diumumkan pertama kali oleh world health organization (WHO), lembaga kesehatan dunia milik PBB. WHO juga memberikan warning agar wabah ini segera mendapatkan perhatian dari para kepala negera di seluruh dunia.

Pada tanggal 11 Februari 2020, WHO menyebut Corona- virus Disease  atau disingkat Covid-19 bukan lagi sebatas endemi namun telah mengarah kepada pandemi. Penetapan Covid-19 sebagai pandemi baru ditetapkan sebulan kemudian yaitu tanggal 11 Maret 2020, karena korbannya telah menyebar ke 114 negara.  

Serangan virus ini sangat masif,  bukan hanya mengakibatkan gangguan kesehatan dan peningkatan jumlah kematian, namun dampaknya menyebar ke berbagai sendi kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, dan bahkan politik.

Dalam kebudayaan masyarakat Jawa, situasi semacam ini ternyata bukan sesuatu yang baru. Dahulu juga pernah terjadi situasi  krisis (wabah) semacam ini. Orang Jawa menyebutnya sebagai jaman pageblug.

Kata pagebluk sendiri berasal dari gebluk atau blug yang berarti jatuh, tumbang atau tersungkur.  Sebuah gambaran tentang situasi yang penuh dengan ketidakpastian karena wabah yang menular. Masyarakat dikepung dari berbagai penjuru oleh musuh yang tidak kelihatan. Banyak orang terserang penyakit tanpa bisa diprediksi sebelumnya. Istilah Jawanya,  Isuk lara, sore mati. Pagi sakit, sorenya meninggal.  Pagebluk dengan demikian suatu kondisi nahas di mana korban jiwa berjatuhan, bertumbangan, ataupun jatuh tersungkur.

Fenomena pagebluk terjadi secara serentak bahkan berskala luas, sehingga menyerupai ledakan (arti lain dari gebluk), yang karena dasyatnya maka menewaskan banyak orang.

Kearifan Jawa

Jejak pengetahuan masyarakat Jawa tentang pagebluk ini bisa kita lihat melalui karya-karya tradisonal jaman dahulu seperti kidung, serat, babat, tembang, lakon pewayangan bahkan cerita-cerita rakyat yang tersebar dan berkembang di masyarakat hingga saat ini.

Bagi masyarakat Jawa, kehidupan adalah rangkaian gerak sejarah yang terus berputar. Hidup bagaikan gerak roda yang terus berputar –cakra manggilingan. Suatu saat berada di bawah, di tengah, lalu di puncak dan suatu saat akan  kembali ke tengah dan seterusnya.  Oleh karena itu, orang Jawa dalam memandang situasi pagebluk adalah bagian dari cara untuk menyeimbangkan dengan kehidupan semesta.  

Hal ini tentu bertolak belakang dengan  pandangan kelompok rasionalis-akademis yang meyakini bahwa gerak sejarah dan perubahan bersifat linier sebagaimana laju anak panah.  Ke mana hendak diarahkan, akan sangat tergantung dari hitungan-hitungan yang logis dan bersifat otonom. Cara berfikir demikian memang tidak salah, namun seringkali karena basis pandangan ini berangkat dari pemikiran positivistik maka hanya fakta-fakta yang bersifat empiriklah yang hanya bisa diterima dan menjadi dasarnya. Sementara  relefleksi yang bersifat substansial dan eskatologis kurang dan bahkan tidak diakui.  

Bagi masyarakat tradisional baik di  Jawa maupun suku-suku bangsa lainnya yang ada di Nusantara, setiap muncul masa krisis atau pageblug biasanya diyakini membawa makna dan pesan di dalamnya. Ada yang mengatakan, saat wabah tiba,  waktunya manusia kembali pada hakikat penciptaannya atau dalam istilah Jawa disebut Sangkan Paraning Dumadi. Cara yang paling mudah adalah kembali ke agama.

Peran Agama

Pertanyaannya kemudian adalah, agama atau cara beragama yang  bagaimana? Bukankah selama ini agama telah telah menjadi hal yang wajib  bahkan sangat semarak dan dirayakan di mana-mana?

Ada ungkapan Jawa yang sangat terkenal,: kang tumrap neng tanah Jawa, agama ageming aji. Kalimat ini saya temukan dalam penggalan Serat Wedatama karya KGPAA Mangkunegara IV.  Kalau diartikan secara sederhana bahwa agama bagi orang Jawa adalah sebagaimana ageman atau pakaian.

Sebagaimana fungsi pakaian, selain sebagai penutup badan/aurat, juga menjadi ciri dan kharakter pemakaiannya. Pakaian sangat terhubung dengan jiwa dan kepribadian pemakainya.

Maka dengan menggunakan pakaian, seseorang akan dianggap, diajeni atau dihormati. Dengan demikian agama harus dipakai manusia untuk memperbaiki dirinya agar bisa bermakna dan berguna.

Seseorang dianggap mulia karena menggunakan agama sebagai cermin dan pakaian dalam kehidupannya. Menciderai dan merobek pakaian sama halnya dengan menciderai dirinya sendiri.

Maka jika seseorang menggunakan agama namun belum ada kesiapan mental-spiritual  di dalamnya, yang terjadi adalah wajah kemunafikan dan ke-anarkhi-an baik untuk dirinya maupun orang lain. Lain di bibir lain pula di hatinya. 

Fenomena inilah yang dikhawatirkan, di mana agama hanya akan menjadi sarana untuk memenuhi hawa nafsu yang pada akhirnya merusak tatanan sosial yang lebih luas.

Di sini ada tahapan sebelum seseorang “ngrasuk ageman”, yakni terlebih dahulu harus membersihkan dirinya dari segala kotoran yang menempel di tubuh. Demikian pula, seb犀利士 elum baju agama dikenakan, seseorang harus membersihkan hatinya dari niat jahat, yang disebut angkara murka.

Pembersihan jiwa ini dilakukan sebagai bagian dari mengubah energi negatif menjadi energi positif berupa akhlak yang mulia. Sehingga tampilan agama tidak lagi tersekat hanya sebatas urusan ritual  tetapi mengajawatah dalam perilaku dan amal sholeh yang nyata.    

Kaitannya dengan pandemi corona, fungsi agama mestinya tidak hanya sebagai bagian dari penyampai pesan dari lembaga-lembaga negara. Semisal anjuran tentang pyscical distanching, menjaga kesahatan dan sebagainya.

Lebih dari itu, agama harus dikembalikan pada fungsi profetiknya, yaitu sebagai kekuatan transformatif dan kreatif yang bisa memberikan ilham bagi semua orang, memberikan harapan, dan sebagai sumber moral tertinggi dan kesadaran yang mendalam bagi warga masyarakat.

Dengan demikian agama mampu tampil bersama-sama selaku pemberi alternatif dan sebagai penerang bagi masalah kemanusiaan seperti sekarang ini.

Wallahul a’lam. (ku)


(Visited 1 times, 1 visits today)