1,852 views

Paradigma dan Eksistensi Perempuan Hari Ini

Sumber gambar: id.pinterest.com

Nur Lisa*

Di balik keanggunannya, seorang perempuan memiliki perjalanan sendiri yang dilalui hingga saat ini. Sejarah perempuan di belahan dunia menyimpan cerita yang berbeda. Hal itu kemudian menjadikan sebuah latar belakang beberapa tokoh untuk memperjuangkan hak perempuan, yang umumnya dapat dikenal dengan gerakan feminisme.

Gerakan feminisme dibuat untuk menyetarakan hak antara perempuan dengan laki-laki dan masih dilakukan sampai hari ini, terutama di Indonesia. Penyetaraan itu dilakukan karena masih terdapat perbuatan semena-mena yang diterima oleh kaum perempuan. Namun, kita masih perlu untuk mengaji dengan luas untuk memahami apa yang terjadi mengenai perempuan hari ini.

Dalam memahami perempuan, pasti tidak akan lepas dengan kodrat yang melekat pada diri perempuan. Secara pengertian, kodrat adalah sifat bawaan yang diberikan oleh Tuhan sejak manusia lahir bahkan masih dalam kandungan. Artinya, kodrat itu ketentuan yang tidak bisa ditukar ataupun dirubah. Seperti mengandung, melahirkan, menyusui, dan menstruasi. Itulah kodrat perempuan yang sesungguhnya dan tidak bisa dipindah tangankan kepada laki-laki.

Akan tetapi, kebanyakan masyarakat Indonesia mengatakan bahwa kodrat seorang perempuan adalah manak, macak, dan masak. Jika dilihat dari kacamata gender, ketika seorang perempuan tidak bisa memenuhi tugasnya di rumah, laki-laki pun bisa membantu untuk menyelesaikannya. Namun, banyak masyarakat yang tidak memahami perbedaan tersebut dan sering disalahartikan.

Pada peradapan masa lalu, kisah tentang perempuan di berbagai wilayah dan kehidupan bangsa seolah-olah perempuan berada pada kasta yang rendah di bawah kuasa tinggi laki-laki. Di dalam kutipan buku Buya Syafi’i Ma’arif dari Kiyai Husein (2009: 178) yang menggambarkan kondisi perempuan pada masa lalu, ia mengatakan bahwa kaum perempuan menjadi korban dari struktur peradaban yang patriarki, diskriminasi, marginalisasi, dan kekerasan yang masih terus menghantui mereka dari segala penjuru. Dalam banyak hal, tafsif-tafsir manusia atas agamapun ikut serta mengokohkannya.

Artinya, pada saat itu perempuan hidup dalam sistem sosial yang mengutamakan kepentingan laki-laki daripada kepentingan perempuan, peminggiran kaum perempuan atas penghapusan haknya serta tindakan kriminal yang diterima oleh perempuan tanpa ada hukum dan keadilan yang berlaku sudah menjadi tatanan sosial yang terstruktur.

Tafsir-tafsir pemahaman tentang perempuan setelah agama Islam datang di tanah Arab, belum terjadi secara sempurna walaupun agama Islam telah memberi angin yang segar bagi kehidupan perempuan Arab yang selama ini hidupnya seolah tidak berarti. Bahkan banyak manusia yang keliru menafsirkan mengenai posisi perempuan dalam Islam.

Potret memasung hak perempuan masih terjadi di kebudayaan bangsa ini, seperti pada budaya jawa. Perempuan di jawa seolah-olah tidak diperkenankan memiliki wawasan luas dalam bidang keilmuan, tetapi wawasan yang diketahui hanyalah seputar kehidupan berumah tangga yang telah diajarkan secara kultural. Sehingga wawasan dalam bidang ilmu sangat kurang bahkan tidak ada yang bisa menguasai. Maka dari itu R.A Kartini menjadi pejuang feminisme indonesia yang mendobrak para kaum perempuan untuk keluar dari diskriminatif  yang mereka alami.

Di dalam karya Perempuan dan hukum dari Sulistyowati Irianto (2006: 85) , bahwa Indonesia pernah menyelenggarakan konvensi perempuan dengan UU no. 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Artinya, Indonesia telah memberikan aspek-aspek peluang untuk mereka dalam mencapai sebuah kedudukan yang sama dengan laki-laki dan hal ini menunjukkan komitmen antar bangsa untuk menjunjung tinggi dan melindungi hak kemanusiaan setiap orang tanpa pengecualian apa pun.

Sebagaimana yang telah dikemukakan, hingga sekarang ini perempuan sudah diberi kebebasan untuk mengembangkan potensi yang setara dengan laki-laki tanpa diskriminasi. Tetapi tidak sepenuhnya perempuan di Indonesia telah merdeka haknya, masih terdapat perempuan-perempuan yang tertindas dan mengalami ancaman kekerasan sejak kecil sampai dewasa.

Lalu bagaimana dengan UU yang dijanjikan Indonesia mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan mengapa masih banyak perempuan-perempuan yang kurang beruntung di kehidupan sosial mendapat ketidakadilan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab?.

Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menanggapi hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor utama dan tidak cukup banyak masyarakat yang memahami tentang bagaimana penerapan keadilan gender yang seharusnya. Karena, sebagian besar masyarakat masih bertahan dengan paradigma nenek moyang yang menyatakan bahwa “perempuan hanya sebatas ibu rumah tangga dan laki-laki yang mencari nafkah”.

Di lain sisi, pada era milenial ini masih ada perempuan yang kurang pemahaman mengenai kesetaraan dan keadilan gender. Sehingga, perempuan perlu lebih mengevaluasi eksistensinya. Karena, yang menjajah perempuan bukanlah kekangan laki-laki atau kebijakan yang berlaku, melainkan gaya hidup perempuan dengan segala produknya. Paradigma masyarakat mengenai tubuh dan seksualitas perempuan telah bergeser. Bergesernya pandangan tersebut dikarenakan sekarang para perempuan dijajah oleh produk kosmetik dan fashion.

Padahal, tujuan dari kesetaraan gender itu perempuan mendapat integritas, keintelektual, serta memiliki kesempatan besar untuk mengembangkan karyanya. Namun, secara sadar atau tidak sadar sekarang ini perempuan lebih menghargai kecantikan sehingga membiarkan dirinya dijajah oleh fashion.

Pada akhirnya, Gerakan feminisme yang diagungkan itu menjadi disalahartikan. Perempuan yang telah diberikan berekspresi di ruang publik justru malah bukan untuk mengembangkan potensinya, melainkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti fashion dan kosmetik untuk mempercantik tubuhnya. Seharusnya, perempuan dapat memanfaatkan kesempatan di ruang publik untuk berkarya.

Di samping perilaku yang menyimpang seperti itu, masih terdapat perempuan yang memanfaatkan dan menggunakan haknya dengan bijaksana. Mereka yang berpendidikan tinggi, telah mampu berperan serta dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran secara individu maupun kelompok agar mampu menunjukkan potensi serta memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, dengan tidak melupakan kodrat sebagai seorang perempuan yang semestinya.


*Nur Lisa adalah mahasiswa Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri 2019

(Visited 2 times, 1 visits today)

Comments are closed.