1,578 views

Pejabat Gelar Hajatan Pernikahan Mewah di Tengah Wabah

Kondisi pandemik covid-19 ini, hajatan pernikahan harus lebih diperhatikan lagi dalam pelaksanaannya. Jangan sampai momen yang membahagiakan tersebut menjadi momen untuk membuka klaster baru penularan virus covid-19.

_Lina Mufarida_

Viral di media informasi seorang pejabat di salah satu kota di Jawa Timur, telah menggelar hajatan pernikahan mewah di tengah pandemik Covid-19. Dilansir dari berbagai sumber berita yang telah saya baca, acara hajatan tersebut digelar pada minggu 4 oktober 2020 pukul 09.00-15.000 WIB. Acara tersebut dibagi enam sesi waktu dengan dihadiri oleh ribuan tamu undangan dari sejumlah daerah di Jawa Timur. Panitia penyelenggara hajatan tampak melindungi diri dengan memakai protokol kesehatan Covid-19. Begitupun di tempat hajatan tersebut juga tersedia fasilitas cuci tangan dan alat pengecek suhu tubuh. Namun dalam video yang beredar, kerumunan tamu undangan masih terjadi. Sebuah foto juga menunjukkan sejumlah tamu undangan berfoto dengan pengantin tanpa memakai masker dan menjaga jarak. Acara itu pun mendapatkan respon dari penegak peraturan daerah. Satpol-PP mendatangi lokasi saat acara masih berlangsung. Di lokasi tersebut, petugas memberikan teguran terhadap panitia dan tamu undangan yang tidak menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Kemudian, bagi pihak penyelenggara hajatan dikenakan sanksi denda administratif Rp 300.000,00 .

Terkait fenomena tersebut, saya ingin menyampaikan rangkaian opini pribadi saya. Sebagai warga negara Indonesia, pastinya kita tahu bahwa menyampaikan pendapat adalah hak bagi semua warga negara. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”).

 Memang benar, pernikahan merupakan momen yang sangat sakral. Karena sakral, maka banyak orang termasuk saya sendiri juga mendambakan pesta pernikahan yang mewah. Alasannya tidak lain, karena pernikahan dilakukan sekali seumur hidup. Oleh sebab itu, berbagai macam usaha akan dilakukan agar pernikahan tersebut menjadi pengalaman yang mengesankan dan tidak terlupakan.

Namun kondisi pandemik covid-19 ini, menjadi hambatan untuk mewujudkan mimpi di atas. Sebelumnya, hajatan pernikahan sempat tidak diperbolehkan digelar guna memutus mata rantai penyebaran covid-19. Memasuki era new normal ini, hajatan pernikahan akhirnya kembali bisa digelar dengan syarat pelaksanaan tersebut tetap mematuhi protokol kesehatan covid-19. Saya sangat setuju mendengar kabar tersebut. Menggelar hajatan pernikahan merupakan hak kita sebagai penyelenggara. Tetapi tetap perlu diingat bahwa, kondisi pandemik covid-19 ini, hajatan pernikahan harus lebih diperhatikan lagi dalam pelaksanaannya. Jangan sampai momen yang membahagiakan tersebut menjadi momen untuk membuka klaster baru penularan virus covid-19.

Hal ini rupanya, tidak semua orang dapat mematuhinya, termasuk seorang pejabat sekalipun. Tak sepantasnya jika seorang pejabat pemerintahan melakukan tindakan melanggar hukum seperti yang saya tuliskan di atas. Apalagi berita tersebut telah viral di media informasi. Maka dari situ publik dikhawatirkan akan berstigma negatif dan cenderung menirukan perbuatan tersebut. Bukannya menjadi contoh yang baik bagi masyarakat, justru malah sebaliknya. Lebih dari itu, seorang pejabat bahkan harus lebih peduli, sensitif dan mengedepankan sense of crisis dalam situasi pandemi seperti ini. Saya pribadi, melihat sanksi administratif yang diberikan pada pihak penyelenggara berupa uang Rp. 300.000,00 membuat saya geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, nominal tersebut menurut saya tidak bisa membuat jera bagi para pelanggarnya. Dampaknya juga sampai pada masyarakat luas, mereka menjadi tidak takut dengan sanksi yang diberikan, jika mereka terbukti menggelar hajatan yang tidak sesuai protokol kesehatan covid-19.

 Ini menjadi PR bagi para penegak hukum keadilan agar mengkaji terkait sanksi yang akan diberikan bagi pelanggarnya. Hukum haruslah adil, tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah.  Misalnya, Baru-baru ini bagi yang melanggar tidak memakai masker saat berada di luar rumah diberikan sanksi denda administratif Rp 50.000-Rp 250.000 tergantung peraturan pemerintah masing-masing daerah. Pelanggarnya mayoritas masyarakat awam yang notabenenya kondisi ekonomi pas-pasan. Dari situ kita bisa renungkan, satu orang yang melanggar tidak memakai masker saja diberikan sanksi sebesar nominal tersebut. Sedangkan orang yang membuat suatu kerumunan massa yang didalamnya terdapat lebih dari satu orang yang tidak memakai masker mendapatkan denda sebesar Rp 300.000. Seperti yang terjadi di acara hajatan pernikahan yang diberitakan sebelumnya. Mengapa sanksi yang diberikan begitu lemah? Bagaimana para pelanggarnya bisa jera kalau semacam ini.

Melihat fenomena tersebut harapan saya semoga hal demikian tidak terulang lagi. Mari kita jadikan fenomena ini sebagai pembelajaran bagi kita semua. Jika memang hajatan pernikahan itu tidak bisa ditunda lagi maka kita jalankan pelaksanaannya sesuai anjuran pemerintah daerah masing-masing. Ada tiga hal yang perlu kita perhatikan sebelum kita menggelar hajatan pernikahan. Pertama, konsep hajatan pernikahan seharusnya disesuaikan dengan protokol kesehatan covid-19. Kedua, dari konsep yang telah dibuat seharusnya ada simulasi terlebih dahulu, sebelum pelaksanaan hajatan itu dilaksanakan. Ketiga, panitia penyelenggara harus lebih memperhatikan situasi dan kondisi acara tersebut. Agar acara tersebut bisa berjalan sesuai dengan rencana konsep awal sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Berhubung dalam kasus yang diberitakan diatas sudah terjadi, maka sebaiknya dilakukan tes swab kepada para tamu undangan yang merasa hadir pada acara tersebut. Karena dikhawatirkan dari kejadian itu menjadi klaster baru penularan virus covid-19.

(Visited 1 times, 1 visits today)