960 views

Ramadan, Covid-19 dan Aktivisme Dakwah Digital

Sumber gambar: tebuireng.online

Ibn Ghifarie*

Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat (Hadis)

Selaku umat Islam, datangnya bulan suci Ramadan selalu disambut istimewa dan luar biasa. Pasalnya shaum Ramadan selama satu bulan penuh diyakini dapat memberikan limpahan berkah, rezeki, amalan bagi mereka yang menjalaninya.

Serba digital menjadi salah satu berkah terdalam di tengah upaya memutus rantai wabah pandemi Covid-19 dalam mengatur urusan belajar, bekerja, hingga beribadah.

Kejutan Digital

Idi Subandy Ibrahim, menjelaskan memang dalam setiap krisis kemanusiaan selalu ada pihak yang memanfaatkan keuntungan. Akibat wabah Corona ini melahirkan dua kejutan komodifikasi: depresi digital sekaligus narsisisme digital. Kejutan komodifikasi dari kapitalisme digital telah merambah ke semua ranah komunikasi dan menciptakan tekanan baru. Semakin krisis, semakin sering berbagi video, citraan, foto diri dan pesan tentang dirinya kepada sesama warganet. Walhasil, semakin krisis malah semakin narsis.

Generasi saat ini sangat tergantung pada teknologi komunikasi untuk membangun “koneksi” dengan orang lain agar tidak merasa sendirian di dunia. Gejala ini menggambarkan modus keberadaan komunikasi generasi milenial berpusat pada dunia digital.

Kemajuan teknologi (media sosial), mencerahkan masyarakat saat ini dengan persepsi yang salah tentang rasa “terus terhubung”. Internet adalah berkah luar biasa yang membangun efisiensi dalam interaksi dan komunikasi di seluruh dunia. Namun, situs-situs web dan media sosial tertentu, dengan cepat telah memunculkan rasa takut akan kesepian bagi penggunanya.

Meskipun teknologi telah mencegah kita merasa terisolasi, tak jarang kesendirian sangat penting bagi kesehatan makhluk hidup. Kesadaran akan humanisme digital tak sepenuhnya hilang di tengah kejutan dunia digital. Di tengah rasa khawatir dan optimisme itu, kita berharap kegandrungan akan dunia digital saat ini hanyalah pengganti sementara bagi individu-individu yang selama ini kurang merasa eksis di dunia. (Pikiran Rakyat, 23 April 2020).

Tantangan Ramadan

Untuk masyarakat Indonesia kehadiran bulan ramadan seakan-akan menjadi pasar perayaan digital yang ditandai dengan perilaku konsumtif. Dari data insight Facebook pada tahun 2016 menyatakan 1 dari 2 orang Indonesia menggunakan mobile untuk merencanakan aktivitas sosial selama bulan Ramadan. Sekedar untuk ‘keep up’ dengan acara televisi selama Ramadan yang makin meriah, 2 dari 3 orang Indonesia menggunakan smartphone untuk menonton TV.

Uniknya, bila kita biasanya lebih banyak menggunakan smartphone untuk media sosial, di bulan Ramadan, aktivitas terbanyak justru mencari informasi soal apapun, lebih banyak dari media sosial. Misalnya, Facebook, topik teratasnya: keluarga (48 persen), makanan dan minuman (16 persen), rumah tangga (10 persen), wisata (9 persen), berbelanja (6 persen).

Bandingkan dengan data dari Google di tahun 2016, Ramadan justru menjadi waktu untuk memperbaiki diri. Selama Ramadan penelusuran istilah terkait perbaikan diri melonjak tinggi. Orang Indonesia ingin tampil dan merasa lebih baik, tetap menjaga kesehatan, maka penelusuran resep, produk perawatan kulit dan busana Muslim semuanya meningkat selama bulan suci.

Ihwal berbelanja online, justru perilaku ini sangat meroket. Karena lebih dari 27 persen kegiatan berbelanja selama setahun terjadi pada saat bulan suci Ramadan (Juni). Ini bisa kita lihat dari peningkatan volume penelusuran pada lima kategori belanja: pakaian (+29 persen), travel atau tiket mudik (+30 persen), smartphone (+17 persen), telekomunikasi atau paket data (+19 persen), dan barang elektronik (+24 persen).

Rupanya arus digital selama Ramadan ini sangat mempengaruhi perilaku Muslim di Indonesia. Mulai dari Tadarus Alquran, tak lagi dengan mushaf fisik, tapi mengaji dengan menggunakan aplikasi Quran Pro, sampai platform online yang menyediakan fasilitas untuk beribadah (zakat), aplikasi Muslim Pro yang menyediakan kumpulan doa selama Ramadan.

Hasil penelitian Google dengan lembaga riset Asian Consumer Intelligence menunjukkan kecenderungan perilaku masyarakat Indonesia selama Ramadan 2018 mengalami peningkatan. Terutama untuk konten-konten populer seputar kuliner, resep, tempat rekomendasi.

Apalagi ketika platform belanja online memberikan diskon besar-besaran berupa barang-barang, pakaian perayaan Idul Fitri ludes langsung diborong. Pencarian tiket mudik secara online turut menyumbang angka kenaikan perilaku konsumtif masyarakat Indonesia selama Ramadhan. (Merdeka,  15 Juni 2017 00:01 dan Harian Nasional, 10 Mei 2019 07:00)

Geliat Aktivisme

Dalam konteks sekarang, suasana Ramadan di tengah upaya memutus mata rantai pencegahan penyebaran wabah pandemi Covid-19 memang berbeda dan luar biasa. Pasalnya, lebih banyak imbauan untuk beribadah (shalat wajib, Jumat, tarawih) dilakukan di rumah. Sesuai surat edaran Kementerian Agama terkait panduan ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di tengah pandemi wabah Covid-19.

Namun, di sisi lain justru kita menemukan geliat aktivisme dakwah di era digital terjadi peningkatan pada saat Ramadan datang di tengah virus Corona. Pasalnya, kehadiran internet dengan media sosialnya (Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram) dapat mengisi ruang-ruang kosong kesepian untuk terus belajar, mencari ilmu, pengetahuan, memperbaiki diri, meneguhkan keimanan dan kepercayaannya.

Ini bisa kita lihat dari berbagai kegiatan kolaborasi dan berbagi selama bulan Ramadan: Sekolah Digital (Pesantren Al-Aqobah Jombang), Pesantren Digital Ramadan 1441 H/2020 M (Nahdatul Ulama Kota Bandung), Pesantren Kilat “Ramadan Bersama Alquran” secara online (Yayasan Askar Kauny Jakarta), program Kajian Ramadhan Virtual (Pemerintah Kota Depok), Tadarus pagi dan lomba Sholawat sore secara daring (Pemerintah Provinsi Jawa Timur), Pasar Beduk Online (Jambi), E-Ifthar/Ceramah Virtual Ramadhan 1441H/2020 (KBRI London, KIBAR, PC Nahdlatul Ulama, PC Muhammadiyah Inggris), Pesantren Digital Pemrograman Android (Masjid Raya Jakarta Islamic Centre), Pesantren Virtual Ramadhan 1441 H (SMAN 1 Rumpin Kabupaten Bogor), Pesantren Ramadan Virtual  (Universitas Muslim Indonesia, Makassar), Ngobrol Ramadan Bersama Haidar Bagir “Beragam di Masa Corona: Mengembangkan Teologi Ikhtiar” (PUSAD Paramadina dan Gerakan Islam Cinta), Program #ramadanbulancinta (Gerakan Islam Cinta), Ramadan bersama Narasi #KebaikanTanpaSekat “30 Hari Cerita Baik, Shihab & Shihab, Narasi x Ceritera dan Kartu Lebaran hasil kolaborasi dari Kreator Narasi & Author” (Narasi TV), Ceramah Tarawih (Cetar) Ramadan 1441 H secara offline melalui akun YouTube (Pikiran Rakyat, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung Pesantren Daarul Qur’an), program #RamadhandiRumah (Pimpinan Pusat Muhammadiyah), imbauan Shalat wajib, Tarawih dan Idul Fitri di rumah (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).

Penggunaan delapan aplikasi android (Muslim Pro-Ramadan 2020, Alquran Tajwid, Buku Saku Ramadan, Marbel – Panduan Puasa Ramadhan, Zakat Calculator, Menu Buka Puasa, Lagu Ramadhan 2020 Offline, Awadah Dakwah, platform belajar agama online digagas Yenny Wahid) yang menunjang beribadah puasa era digital selama bulan Ramadan.

Kehadiran aktivisme dakwah digital dengan menggunakan aplikasi ini merupakan salah satu bukti nyata tentang internet yang telah menjadi lebih dari sekedar media yang memfasilitasi dan memerantarai pertukaran informasi seputar Islam. Justru internet telah menjadi sebuah lingkungan baru yang dapat mewadahi ekspresi umat Islam dalam konteks global, sebagaimana pula ditemui pada agama-agama lain. Umat Islam melihat internet sebagai wahana baru bagi aktivisme dakwah Islam yang lebih konstruktif.

Sungguh apa yang dilakukan mereka merupakan salah satu gerakan sosial dengan motif agama yang muncul dalam konteks cyberspace. Wikotorowics menyebut fenomena semacam ini sebagai aktivisme Islam, semua bentuk gerakan dengan tujuan mendukung segala kepentingan kaum muslim. Sebagai ruang sosial baru, internet memiliki peluang yang sama dalam memfasilitasi gerakan-gerakan sosial, termasuk gerakan sosial keagamaan.

Dalam khazanah Islam, gerakan sosial kegamaan diperlihatkan melalui etos dakwah. Oleh sebab itu, membicarakan aktivisme Islam sebagai gerakan sosial pada dasarnya selalu berhubungan dengan konteks dakwah yang memang memiliki agenda utama untuk melakukan perubahan sosial. Dengan demikian, aktivisme Islam pada tataran praktisnya tidak lain merupakan aktivisme dakwah.

Dengan didasari keyakinan bentuk-bentuk interaksi sosial di internet yang direpresentasikan melalui situs portal, media sosial, blog, aplikasi berbasis smartphone telah meneguhkan pandangan internet bukan lagi sesuatu yang dianggap sekedar media dalam arti conduits yang mengantarkan pesan dari satu pihak ke pihaka lain.

Mengingat internet merupakan sebuah ruang ekspresi, rumah, perpustakaan, toko buku, bioskop, televisi, tempat rekreasi, ruang komunitas dan ruang sakral. Dengan demikian, internet dapat menjadi salah satu ruang perantara seseorang untuk–meminjam istilah Althusser–mematerialisasikan ideologi yang dianutnya, aktivisme dakwah salah satunya. (Moch. Fakhruroji, 2017: viii, 186-187).

Bila kita kuat memegang protokol pencegahan dan penanganan Covid-19, adab dan akhlak berinternet ria , media sosial niscaya suasana puasa di bulan ramadan ini akan diisi dan dibanjiri konten-konten yang mengajak kesejukan, mengajarkan tentang kebaikan, kebenaran, kecintaan hidup rukun, damai, toleran.

Dengan demikian, kehadiran puasa Ramadan di tengah Covid-19 ini menjadi momentum yang tepat 犀利士 pengendalian diri untuk menyebar luaskan segala bentuk aktivisme dakwah Islam digital, bukan malah ikut memproduksi berita hoaks, fitnah, hasutan dan ujaran kebencian. Semoga.

*IBN GHIFARIE adalah pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

(Visited 1 times, 1 visits today)