1,584 views

Melihat Kuasa Patriarki Pada Film Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak

Khorik Saifulloh*

Entah mantra apa yang disematkan pada film ini, hingga tulisan ini saya tulis terhitung sudah ke lima kalinya saya menonton karya epik sutradara lokal ini. Mouly Surya sebagai sutradara dalam film ini setidaknya memberikan gambaran yang sangat gamblang mengenai posisi subordinasi perempuan yang ia sematkan baik pada plot, angle kamera ataupun simbol tertentu dalam film.

Secara rigid film ini membagi dirinya menjadi empat babak, setiap babak dalam film ini setidaknya secara tersirat menggambarkan kuasa patriarki dilakukan. Dalam setiap babak itu pula keterhubungannya disambung dengan rapih, sehingga tidak menghilangkan nuansa kental isu yang diusung.

Babak pertama The Robeery (perampokan),dalam babak pertama ini suasana hening dan sepi digambarkan dengan jelas. Rumah Marlina persis berada atas bukit kecil. Jangan membayangkan rumahnya seperti yang ada di desa-desa pada umunya, rumah tetangga sendiri terpantau jauh dari rumahnya, sebelah kanan dan kiri rumah dihimpit oleh ilalang khas daerah timur juga berwarna kuning kecoklatan.

Posisi Marlina sebagai seorang wanita yang lemah ditunjukkan melalui keberadaannya yang jauh dari perlindungan keluarga khususnya suami, pasalnya sang suami pada film ini sudah ditampakkan tidak ada atau sekurangnya ada namun sudah meninggal, duduk menelungkup di ruang depan. Perampasan ruang privat dilakukan secara brutal dan ditunjukan secara terang-terangan melalui adegan masuknya Markus di rumah Marlina.

“Selamat siang”

“Bapak da keluar ?”                                                          

“Ada sirih, kopi ? Saya ni tamu !”

Tanpa banyak adegan interaksi di antara keduanya, Markus berhasil duduk di ruang tengah rumah Marlina memainkan Junggo dengan sedikit melirik mayat suami Marlina yang duduk anteng. Kedatangan Markus bukan tanpa tujuan, ia datang ke rumah Marlina dengan maksud menagih hutang uang penguburan yang belum lunas. Dalam scance dengan latar ruang tengah, Markus menekan posisi Marlina sebagai seorang perempuan yang tak berdaya, pelecehan verbal disajikan melalui beberapa pernyataan juga pertanyaan yang bersifat privasi.

“Mau ambil kamu uang, semua kamu ternak, kalau masih ada waktu tidur bersama dengan kau, semua bertujuh.”

Su berapa laki-laki yang kau tiduri ?”

Beberapa kalimat tersebut divokalkan dengan nada datar dan tanpa membentak, tapi bukan berarti hal tersebut tidak berpengaruh kepada psikologis Marlina sebab memang relasi kuasa yang terjalin di antara keduanya jauh dari kata seimbang. Kemudian sosok Franz yang bertugas mengangkut ternak Marlina ke truk memperlihatkan bagaimana struktur kuasa bekerja. Layaknya seorang suami kepada istrinya sendiri ia masuk ke dapur ketika Marlina sedang memasak makanan untuk makan malam teman-teman Markus.

Pembelaan Marlina sebagai seorang wanita yang jauh dari kata aman patut saya akui sebagai pembelaan yang heroik, pasalnya di tengah posisinya yang terhimpit dan terancam ia harus melakukan tindakan yang menyelamatkan martabatnya. Empat teman Markus berhasil ia bunuh dengan memasukkan racun pada makanan yang mereka santap. Setelah adegan tersebut, babak pertama ini ditutup dengan adegan pemerkosaan yang dilakukan oleh Markus kepada Marlina. Ketika adegan tersebut semakin memanas, Marlina berhasil membela dirinya dengan menebas kepala Markus hingga putus, jatuh, dan mengelinding pula nampaknya.

Babak Kedua The Journey (perjalanan) dibuka dengan sort kamera yang menunjukkan Marlina menenteng kepala Markus, bagi saya ini adalah sebuah sarkas. Kuasa laki-laki yang amat dekat dengan kita dilawan dengan adegan ini. Kepala yang erat kaitannya dengan simbol kuasa laki-laki seperti sebutan kepala keluarga, kepala desa atau kepala negara menjadi sedikit tergoyahkan juga dipertanyaakan. Ketika Marlina sedang menunggu truk untuk melaporkan kejadian yang menimpanya ia bertemu dengan Novi yang sedang mengandung. Perbincangan mereka tak jauh dari pengakuan dari kedua belah pihak, tentang rasa nyeri yang sedang dirasakan Novi juga tentang pemerkosaan yang telah menimpa Marlina. Dalam bagian ini lanskap perbukitan panjang ditunjukkan keindahan Sumba benar-benar menjadi candu dari pengambilan gambar ini. Jalan panjang serta hanya ada satu truk yang melintas yakni truk yang ditumpangi oleh Marlina menjadi pemandangan yang bikin saya tertodong juga tertampar sebab jika berandai-andai jalanan panjang dan berdebu ini seakan menunjukkan bahwa peradaban yang ada di sana sedikit tertinggal, di mana hal ini berbuntut pada bagian ketiga film ini.

Babak Ketiga The Confession (pengakuan)

Sesampainya di kantor polisi, Marlina hendak melaporkan kasus pemerkosaan yang telah menimpanya, tentu dengan harapan ia mendapat keadilan dari institusi pemerintah ini, setidaknya ia mendapat kemenangan perlawanan atas dirinya tapi tidak untuk stereotipnya. Seperti yang sudah saya andaikan di atas bahwa ketika jalan yang dilewati oleh Marlina dianggap sebagai simbol peradaban, maka jelas kiranya hal tersebut menunjukkan keterbelakangannya, pun antonimnya jika jalan aspal adalah juga sebagai simbol kemajuan peradaban maka jelas kiranya jika kebebasan perempuan menyampaikan ekspresi seksual selalu terkait dengan peradaban modern. Pada akhirnya kebebasan tersebut benar-benar tercermin sesuai gambaran jalan yang disajikan pada babak kedua, institusi yang seharusnya mampu memberi akses aman dan pelayanan kepada mereka dan kepada Marlina, khususnya tidak dapat memberikan keamanan dan keadilan untuk kasus yang sudah menimpa Marlina, terlebih victim blaming atau kebiasaan stereotip buruk yang diletakkan misoginis pada perempuan, prasangka bahwa korban selalu membiarkan pemerkosaan terjadi, tanpa perlawanan atau bahkan juga ikut menikmatinya.

“Kalau dia tua dan kurus, kenapa kau biarkan dia perkosa kau ?” pertanyaan yang dilontarkan seorang polisi ini membuat Marlina kehilangan kepercayaan untuk membela dan mengklarifikasi bagaimana kejadian sebenarnya terjadi. Kebohongannya patut dilihat sebagai keadaan yang sangat tidak memadai dan terpojokkan. Terlebih bagaimana ketersedian alat visum tidak bisa langsung diakses, setidaknya baru bisa difungsikan haruslah menunggu satu bulan padahal untuk melakukan visum korban dilarang untuk mandi kalaupun harus menunggu satu bulan tanpa mandi bahkan tidak ada jaminan apakah bekasnya masih tertinggal di tubuh Marlina ditambah lagi pemerkosaan yang dilakuan tidak begitu brutal.

Babak keempat The Birth (kelahiran), keadaan kandungan Novi yang sudah lebih dari sembilan bulan namun belum juga melahirkan membuat suaminya geram. Ia mengira bahwa anak yang dikandung Novi benar-benar bukan dari berhubungan badan dengannya. Pertengkaran di antara keduanya tidak dapat dihindarkan, tak kurang dua tamparan menghujam telak di wajah Novi hingga ia tersungkur.

Kekerasan yang diterima Novi tersebut tak pelak membuatnya terhindar dari ancaman bahkan setelah ia tersungur, Franz yang melihat kejadian tersebut segera menghampirinya, tepat setelah Franz berada di dekat Novi telepon berbunyi sedang di sana Marlina ingin memastikan keadaan Novi baik-baik saja. Hal ini dilihat sebagai kesempatan berharga oleh Franz guna membalaskan dendamnya kepada Marlina. Dengan segera ia menyuruh Novi untuk mengangkat telepon dari Marlina tersebut dan mengatakan sudah berada di rumah Marlina. Sesampainya di rumah Marlina menyerahkan kepala Markus kepada Franz guna diletakkan di lehernnya seperti semula. Meskipun di dalam rumah Marlina tidak sendiri melainkan juga bersama Novi, namun kekerasan atas kuasa yang tidak seimbang tetaplah terjadi. Franz memaksa Marlina untuk menemaninya sedang Novi harus memasak sup ayam untuk makan malam Franz. Adegan terpenggalnya kepala Franz ketika sedang mencoba menyetubuhi Marlina menjadi klimaks dalam babak keempat ini.

(Visited 1 times, 1 visits today)