2,323 views

“Catcalling”: Sanjungan atau Pelecehan?

Etik Purwaningsih*

Seringkali kita menyalahkan perempuan jika ada korban perempuan yang berani speak up ke publik, seperti dengan menjustifikasi bahwa yang salah perempuan karena berpenampilan yang menggoda atau memakai baju seksi, padahal alasan tersebut sangatlah tidak mendasar. –Etik Purwaningsih

Pernah mendengar istilah catcalling? Apa yang ada di benak kita, apakah kita berpikir tentang panggilan terhadap kucing atau suatu hal yang berhubungan dengan kucing? Tentu saja bukan sama sekali.

Mungkin istilah itu masih terdengar asing di telinga kita, padahal praktik dari istilah tersebut banyak terjadi di sekitar kita. Misalnya, apakah kalian (perempuan) pernah disiuli atau disapa dengan nada genit?, seperti “Hai cantik, mau kemana?”, “Suit suittt, sendirian aja cantik?”, “Sini abang anterin!”, “Assalamualaikum ukhti!” (dengan nada nyinyir, karena ketidaksukaannya pada penampilan kita).

Mungkin kebanyakan dari kita menganggap kalimat-kalimat di atas itu hanya sebatas candaan atau ada yang menganggapnya sebagai pujian.

Bukan, itu bukan hanya sebuah candaan semata, kata-kata di atas itulah yang disebut dengan tindakan catcalling.

Menurut Oxford Dictionary, catcalling adalah sebagai siulan, panggilan, dan komentar yang bersifat seksual dan atau tidak diinginkan oleh pria terhadap wanita yang lewat.

Dapat diartikan bahwa catcalling adalah suatu bentuk pelecehan seksual secara verbal dengan memberi komentar yang bernada seksis terhadap perempuan saat berada di ruang publik. Tindakan catcalling juga biasa disebut dengan verbal street harassment.

Mayoritas dari kita tidak menyadari jika hal tersebut masuk dalam pelecehan verbal. Padahal, mungkin sebagian dari kita pernah mengalami hal tersebut. Namun, kita tidak menyadari atau kita merasa bingung hendak membalas dengan cara apa, karena banyak orang menganggap jika hal tersebut adalah hal yang wajar.

Umumnya, kebanyakan dari kita menganggap remeh tindakan tersebut, menganggapnya hanya sebatas candaan. Padahal tindakan tersebut membuat perempuan merasa tidak nyaman, namun mereka tidak tahu harus bagaimana jika mengalami hal tersebut.

Kebanyakan dari mereka melakukan catcalling hanya iseng atau bercanda. Mereka berkelit dengan menyalahkan korban dengan berbagai alasan seperti memakai pakaian yang ketat atau karena make up nya terlalu powerfull.

Semua hal itu hanyalah alasan belaka, karena banyak perempuan yang memakai pakaian tertutup bahkan syar’i tetapi tetap saja diganggu dengan kata-kata nyinyir yang bernada seksis tersebut, “Assalamualaikum ukhti!”.

Pelaku catcalling sering kali membuat perempuan sebagai obyek bercandaan. Obyektifikasi pada perempuan terjadi karena mereka memandang perempuan seperti suatu benda yang bisa dinikmati atau dimanfaatkan.

Hal itu didukung pula dengan pola pikir patriarkis, yang beranggapan bahwa perempuan hanya dinikmati secara fisik semata, laki-lakilah yang memegang kendali atas perempuan karena menganggap perempuan itu lemah.

Kenapa sih catcalling termasuk dalam pelecehan seksual? Mungkin pertanyaan itu muncul di benak kita, karena kita cenderung menganggap jika pelecehan seksual itu hanya tindakan fisik seperti memegang atau meraba bagian tubuh tertentu, dan masih banyak lagi.

Sebelumnya mari kita pahami dahulu definisi dari pelecehan seksual?

Menurut Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Komnas Perempuan, Pelecehan seksual adalah segala tindakan sentuhan baik fisik maupun non fisik yang diarahkan ke organ seksual atau seksualitas korban. Hal itu mencakup siulan, tatapan mata yang tidak biasa, kalimat bernada seksis, sentuhan atau meraba bagian tubuh tertentu, isyarat yang bersifat seksual yang mengakibatkan si korban merasa tidak nyaman dan direndahkan.

Jadi, meskipun catcalling sering dianggap remeh, tindakan tersebut juga masuk dalam kategori pelecehan seksual, karena candaan yang dilontarkan oleh subyek membuat si obyek tertekan, malu, atau bahkan sampai ketakutan. Si korban tidak merasa bahagia atau tidak membalas dengan ekspresi senang ketika dilontarkan kalimat bernada seksis tersebut. Karena, jika hal itu adalah suatu candaan mestinya akan membuat senang bukan malah membuat tertekan.

Tindakan catcalling dapat terjadi di manapun, oleh siapapun, dan kapanpun. Biasanya hal itu terjadi di keramaian, di bus atau kendaraan umum, bahkan hal tersebut juga sering terjadi di lingkungan akademik seperti sekolah dan perguruan tinggi.

Saya akan mengambil contoh di lingkungan perguruan tinggi, ketika para mahasiswi tengah lewat di depan kerumunan mahasiswa mungkin mereka akan digoda dengan kalimat yang kurang membuat nyaman, meski ucapan salam sekalipun.

Karena, mengucapkan salam dengan nada yang merendahkan seperti “Assalamualikum, ukhti” dengan tatapan yang genit atau kurang menyenangkan tersebut akan membuat perempuan takut untuk melewati atau berjalan sendirian di jalan yang biasanya terdapat tongkrongan para laki-laki.

Jika dilihat dari sudut pandang feminisme radikal, fenomena catcalling adalah produk dari budaya patriarki. Di mana perempuan dipandang sebelah mata dan di bawah kontrol kaum lelaki.

Feminisme radikal merupakan salah satu dari aliran feminisme yang berjuang melawan penindasan dan eksploitasi perempuan pada kondisi sosial budaya yang bias gender.

Menurut feminisme radikal, ada beberapa sebab yang membuat terjadinya ketidakadilan gender, seperti sistem penindasan terhadap perempuan oleh kaum lelaki (patriarki) yang selalu memandang sebela mata perempuan, kekerasan dan kontrol laki-laki terhadap perempuan, pengabsahan penindasan terhadap perempuan melalui hukum, agama, dan lembaga sosial lainya, objektifikasi tubuh perempuan, eksploitasi perempuan melalui pornografi dan prostitusi.

Tindakan catcalling terjadi karena mereka memandang perempuan hanya sebatas obyek yang bisa dinikmati. Laki laki merasa punya kuasa untuk memperlakukan perempuan seenaknya. Mereka merasa bahwa kedudukan perempuan berada di bawahnya.

Padahal, baik laki-laki taupun perempuan memiliki kedudukan yang setara, tidak ada yang lebih tinggi maupun rendah. Baik laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama yaitu, merasa aman saat berada di ruang publik. Namun, hal itu tidak didapatkan oleh hampir sebagaian dari perempuan karena mereka merasa takut saat berada di ruang publik.

Tindakan catcalling sebaiknya tidak dianggap remeh, karena yang namanya pelecehan seksual apapun bentuknya tetap pelecehan seksual. Seharusnya ada edukasi dari berbagai elemen untuk setidaknya mengurangi tindakan tersebut.

Selain itu, kita juga harus merubah pola pikir kita terhadap perempuan. Seringkali kita menyalahkan perempuan jika ada korban perempuan yang berani speak up ke publik, seperti dengan menjustifikasi bahwa yang salah perempuan karena berpenampilan yang menggoda atau memakai baju seksi, padahal alasan tersebut sangatlah tidak mendasar.

Kita seharusnya memandang perempuan sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk berkarya dan berekspresi di ruang publik dengan rasa aman, bukan menganggapnya sebagai individu yang lemah.

Apapun alasannya, suatu tindakan yang membuat orang merasa tidak nyaman adalah perbuatan yang salah.

Mari kita mulai dari pribadi kita masing-masing untuk tidak melakukan tindakan tersebut, karena perubahan yang besar dimulai dari perubahan yang kecil. Saling menghargai dan menghormati terhadap sesama adalah kunci dari kesetaraan.

(sumber gambar: watyuting.com)


*Etik Purwaningsih adalah mahasiswi Sosiologi Agama IAIN Kediri angkatan 2018 dan Pegiat Lingkar Studi Perempuan

(Visited 3 times, 1 visits today)